Kalimat Penguasa Kejam

11 1 0
                                    

Aku bangun dengan mendadak dan ingat sekali kejadian kemarin. Terutama suara menggema di kepalaku itu. Namun, karena hari sudah mengulang aku jadi sangat yakin kalau hal mengerikan yang kudengar kemarin tidak akan menjadi masalah.

"Tidak semudah itu. Sihir dari raja Spirit tidak akan terpengaruh dengan sihir kuno milik keluargamu itu."

Sebuah suara membuatku terjerembab dari kasur. Sofia menanyaiku yang kaget dan aku menanyainya mengenai suara barusan yang kudengar. Namun, ia tidak mendengar apapun.

"Dia tidak dapat mendengarku," katanya lagi.

"Sampai jumpa di pesta ulang tahunmu."

Lalu suaranya hilang bak angin telah lewat. Aku masih menganga di tempat, sampai Sofia memecahkan lamunanku dan menarikku untuk bersiap-siap. Pesta ulang tahunku kali ini membuatku banjir keringat. Kado dan ucapan yang sama seperti sebelumnya tidak berhasil membuatku tenang tak lain bukan karena ia mengantri memberikan hadiah, pula setelah kejadian seperti kemarin--memberikan doa yang kalimatnya sedikit berbeda dengan kemarin meski tetap berisi aku berjalan di jalan bunga padahal dia bukanlah pendeta suci, bisa bisanya ia memberiku sesuatu yang katanya doa--ia kini duduk di salah satu kursi tamu dengan menatapku lekat-lekat.

Rambut cokelat biasa, dan mata hijau membara yang kutahu itu karena mananya sangat banyak--tidak lain karena dia pemimpin menara penyihir sudah pasti mananya banyak. Selain dari hal biasa dan mencolok itu. Pakaiannya yang terlampui mencurigakan juga menjadi sorotan, jubah dan tudung hitam yang dilepas menampilkan dirinya yang tidak pernah melepas senyuman begitu mata kami berpapasan.

Pesta selesai ketika yang mulia raja, ratu beserta Ibuku meninggalkan tempatnya. Jadi, aku langsung menemui pemimpin menara penyihir itu.

"Tuan pemimpin menara penyihir, dengan segala hormat saya ingin mengundang Anda minum teh saat ini juga."

"Aku Kael, menerima undangan tuan putri," katanya yang membuatku geregetan karena ia tidak mengikuti tata krama Istana.

Harusnya ia mengucapkan sanjungan dulu untuk menghormatiku, lalu ucapan inti dan terimakasih sebesar-besarnya. Itu tata krama dasar di sini.

"Minnie. Kau mengenalnya?" kak Willy menjajari langkahku ketika aku berjalan pergi ke kediamanku. Seperti sebelum-sebelumnya aku diantar dan dijemput kak Willy ke sini, tetapi kali ini ada yang berbeda. Aku mengajak pemimpin menara penyihir untuk minum teh.

Raja dan Ratu tidak merasa aneh dengan kedatangannya, katanya, ia sudah mengirimkan surat konfirmasi kedatangan sebagai wujud diplomasi keeratan dengan kerajaan. Aku tidak tahu itu karena sepertinya itu baru terjadi kali ini.

"Aku mengenalnya kemarin,"kataku singkat yang membuat kak Willy terdiam tidak menjajari langkahku lagi yang terburu-buru ketika pelayanku sendiri juga kalang kabut mempersiapkan undangan minum teh sore hariku yang mendadak.

"Kau tidak kenal?" kak Willy menanyakannya sembari berdiri di tempat yang kemudian membuatku ikut diam dan menoleh.

Bohong kalau dibilang tidak kenal, meski aku juga memang baru mengenalnya kemarin.

"Itu rumit. Aku akan ceritakan suatu saat nanti," kataku kemudian yang beranjak meninggalkan kakakku yang entah termenung tak kumengerti.

Kembali di kamar aku langsung berganti gaun dan mendapat teguran Sofia. Aku meminta audiensi orang penting secara dadakan sedangkan persiapan tehnya sangat akan memalukan bila terlalu sederhana.

Aku mengacuhkannya karena memang bukan itu yang penting saat ini tetapi mengenai sihir yang ia maksud. Sihir raja spirit katanya.

"Bisa kau jelaskan apa yang kemarin?" kataku dengan gusar ketika usai mengusir pelayan agar tidak mendengar obrolan kami.

Don't Cry, WilhelminaWhere stories live. Discover now