Bertempat di Hati

20 2 0
                                    

Mungkin ini sudah ke-enam kali atau barang kali tujuh. Aku tak ingat. Sofia membangunkanku untuk persiapan pesta ulang tahunku yang ke-10. Kujalani hari itu dengan tidak bersemangat karena aku sudah melewatinya beberapa kali. Entah karena Willy yang kelewat peka padaku, atau aku yang tidak bisa mengendalikan mimik wajahku, ia menanyaiku perihal mengapa aku lesu seperti ini.

Aku teringat dengan baik kejadian kemarin, ketika aku sendiri tidak bisa menemuinya atau pun Ibu dan hanya mendapatkan tatto kecil di telapak tangan. Jadi, aku hanya memeluknya tanpa berkata apapun dan masuk ke kamarku usai dia mengantarku ke kamar.

Istana punya mata dan telinga. Itu yang kupelajari dari permasalahan kemarin. Dan kali ini aku akan memutuskannya sendiri. Kutulis hal-hal besar yang kuingat di buku diari yang kemarin masih berisi omelanku mengenai pesta ulang tahunku yang kurang megah.

Kehancuran ini dimulai dengan pertunangan kak Johan dengan putri Duke yang bernama Juliana.

Tapi apa yang dapat putri di bawah umur lakukan?

Rasanya mungkin akan lebih mudah ketika menceritakannya pada Ibu atau Willy. Namun, aku tahu, itu tidak bisa. Berkaca dari kejadian kemarin. Semua sangat buruk. Dan aku tidak mau mengalaminya lagi, separah itukah Ayahku tidak percaya padaku.

Jadi, kuputuskan aku akan mengikuti hal yang pernah kulakukan sebelumnya. Tanpa terkecuali, meski berakhir dengan kehancuran istanaku sekali lagi di depan mataku. Meski kini aku sudah tahu lebih jelas. Apa dan siapa akar dari masalah ini.

"Kak Johan...."

Dia di depanku, tetapi seperti ia tidak mengenaliku. Dengan bilah pedang di tangan kirinya yang kidal. Baju baja berwarna hitam pekat. Dan rambut serta mata hitam yang tidak mungkin tidak kukenali meski memakai penutup kepala yang telah pecah separuh.

"Aku tidak mengerti," kataku sebelum ia berlari cepat dan menghunuskan pedangnya padaku di lorong sepi menuju ruang kerja Ayah.

Sakit. Tentu saja. Tapi semua itu sudah terasa kebas, karena lebih sakit hatiku dengan apa yang sebenarnya terjadi.

"Ka-kak...," panggilku terakhir sebelum aku jatuh ke kegelapan.

Aku tidak mengerti sudah berapa kali aku melakukannya karena ketika hal buruk terjadi, aku menangis, dan semuanya kembali berulang di pagi hari pesta ulang tahunku.

Tidak semudah menangis seperti aku merindukan seseorang. Kini aku bisa menangis cukup dengan hal-hal yang menyakiti hatiku. Meski lama kelamaan aku cukup tahan berganti dengan kejadian-kejadian yang masih tidak bisa kuterima. Seperti halnya kejadian itu, kejadian bagaimana Kak Johan membunuhku. Ketika aku menatapnya saat memberikan kalung permata pink di pesta ulang tahunku. Aku tidak habis pikir. Apa yang ada di pikirannya ketika melihatku saat itu. Ketika saat ini ia menatapku penuh kasih sayang.

Aku pun mengalihkan pandanganku dan berterimakasih padanya.

Pada saat pesta usai, kak Willy yang entah kini seperti sudah jadi templatenya, menanyai keaadanku yang lesu usai pesta. Ya, memang betul, aku sudah mulai lesu saat perulangan ke-tujuh dan sekarang entah aku sudah melakukan perulangan ke berapa. Jadi aku cukup biasa dengan pertanyaannya. Sampai pada satu titik aku mengatakan hal yang tidak harusnya kukatakan setelah entah berapa kali perulangan lagi karena aku menangis.

"Andai saja, aku bisa mati tanpa menangis."

Beberapa kali aku mati terbunuh saat pemberontakan itu. Di tangan Kak Johan, Prajurit, atau pun ayahku sendiri sebelum pemberontakan terjadi dan itu memiliki banyak variabel.

Aku tidak sekuat itu untuk dapat menghentikan masalah besar yang dialami kerajaan. Yang bisa kulakukan adalah menangis dan ya mengulang itu semua. Lalu biarkan aku menikmati semua kemungkinan variabel yang bisa kulalui sebelum pemberontakan itu terjadi. Karena umurku selalu tidak pernah melewati kejadian itu.

"Minnie, kau bisa menceritakannya padaku, termasuk bagaimana dengan sihirku yang bisa menempel dengan kuat padamu itu."

Aku hanya tersenyum tanpa menangis karena sudah lelah. Itu juga salah satu templatenya. Aku sendiri  juga tak paham fungsi dari tanda sihir di telapak tanganku ini. Karena ia tidak pernah menunjukkan tanda sihirnya. Meski ia tetap di sana ketika aku melakukan banyak perulangan. Namun, yang jelas....

"Kak Willy tidak perlu tahu apapun karena itu tidak baik. Biarkan saja aku hidup sesuai apa yang kumau. Sampai pada satu titik. Aku bisa mati tanpa harus menangis."

Ya, kupikir itu lebih baik. Aku sudah tahu takdirku. Jadi aku akan terus mengulang dengan menangis sampai aku merasakan bisa mati tanpa menangis.

Namun, sesuatu ada yang berbeda di entah perulangan ke berapa ini.

Begitu kak Johan menyingkir, ada seseorang lagi yang mengantri di belakangnya dan bergerak maju. Ia setinggi kak Johan, tetapi tidak setua kak Johan dan berpakaian serba hitam ketika semua orang di sini menggunakan pakaian cerah. Aku cukup heran. Aku ingat betul tidak ada orang lagi yang akan memberiku hadiah selain ketiga kakakku dan yang mulia Raja, yang mulia Ratu, serta Ibuku di awal tadi.

Kurasa sebenarnya tidak hanya aku yang terkejut di tengah-tengah tempat ini karena ia muncul bak asap dan tiba-tiba sudah ada di belakang kak Johan lalu maju ke depan.

"Aku Kael, pemimpin menara penyihir yang baru, memberi salam hormat pada Yang Mulia Raja, Yang Mulia Ratu, Pada pangeran dan putri serta bangsawan di sini."

Ia membungkuk menggunakan tata krama kerajaan yang salah untuk memberikan salam. Namun, bukan itu yang menjadi highlight kekagetan semua orang di sini. Akan tetapi fakta bahwa ia pemimpin menara penyihir yang baru dan datang pada pesta ulang tahunku ketika aku sendiri tidak pernah ingat kalau aku pernah bertemu dengannya. Bahkan ketika kerajaan ini diserang pemberontak, ia tidak pernah sekali pun kelihatan atau terdengar desas-desusnya.

Ia kemudian langsung bergerak mendekatiku dan menatapku tajam. Aku tahu mimik wajahnya yang ramah sedari tadi berubah drastis penuh mengancam ketika menatapku.

Dan di kepalaku aku mendengar suara. "Si Cengeng, sialan! Kau tahu apa yang telah kau perbuat dengan tangisanmu itu? huh!"
Aku tersentak ketika ia sendiri juga tersenyum padaku. Senyuman sinis yang membuatku ngeri dan ketakutan setengah mati. Aku tidak menyangka ada seseorang yang tahu mengenai hal tangisanku ini. Sekali pun mereka tahu, aku hanya membicarakannya pada orang yang kukenal dan ketika aku melakukan perulangan tidak ada yang mengetahuinya lagi.

"Izinkan saya memberi berkat di hari ulang tahun Putri, agar ia tidak perlu menangis lagi di kemudian hari dan berjalan penuh di jalan bunga."

Aku tidak terlalu mendengar suara yang ia kemukakan di mulutnya itu, karena di kepalaku ... Aku mendengar suaranya yang lain.

"Kukutuk kau tidak bisa menangis lagi selamanya!"

Dia menadahkan tangannya di depanku dan serbuk kelap kelip yang tak nyata muncul lalu mengenaiku.

Namun, itu lebih lambat dari air mataku yang telah mengenang dari tadi dan akhirnya jatuh.

Dan semuanya gelap.

...

1047 kata

Don't Cry, WilhelminaWhere stories live. Discover now