Seorang Pulung Andal

5 1 0
                                    

Usai menghadapi fakta bahwa ada sejarah mengenai raja spirit dengan pendahuluku sekarang aku jadi mengerti kenapa keluarga kami tidak akan pernah bisa pergi ke tanah suci atau berurusan dengan gereja. Darah kami selamanya akan memiliki mana yang artinya kami bisa sihir.

"Tunggu, jika leluhur kami pernah memiliki kisah dengan leluhurku. Dan terlebih ia yang mengutukku. Bukankah itu artinya aku masih bisa mencabutnya asal menemui raja Spirit dan memohon padanya mengingat pendahuluku pernah berhubungan dengannya?"

"Tidak bisa." Kael menepisnya dengan singkat sembai memakan kue kacang di hadapannya pada suatu hari di hari liburku.

"Justru katanya karena kalian lah. Raja spirit menutup akses dengan manusia mana pun dan hanya bisa berkomunikasi dengan pemimpin menara penyihir."

"Lagipula ini juga untuk keamanan spirit yang agar tidak dengan mudah diperbudak manusia, meski beberapa di antaranya ada yang menjalani kontrak dengan manusia secara sukarela."

Aku pernah mendengar demikian, terkadang ada beberapa manusia yang memiliki kontrak dengan spirit yang menjadi familiarnya dan biasanya mereka sangat berteman baik.

"Dan aku beberapa hari yang lalu--saat kau latihan, dipanggil raja untuk membicarakan soal dirimu yang menjadi muridku di menara penyihir."

Aku tak berani menatap matanya karena aku juga belum mengatakan apapun pada Kael.

"Percuma kau mengalihkan matamu. Aku masih bisa mendengarnya."

Aku kemudian kembali menatap matanya itu dan sayup sayup tidak ada pilihan lain untuk mengatakan maaf.

"Ma-maaf, harusnya aku membicarakannya terlebih dahulu padamu."

Dia sedikit tersenyum, "Kau sudah sedikit berubah ya."

Aku kini menatapnya tajam seolah menyesal mengutarakan maaf barusan aku melengos membuang mukaku.

"Kau dapat pergi ke sana saat usiamu 12 tahun. Sebelum itu, kau harus menyelesaikan semua yang ada di sini."

Aku terdiam, teringat dengan beberapa hal yang terjadi di masa depan. Kalau aku pergi, bagaimana aku mengatasi dan mencegah beberapa hal itu.

Rasanya kalau teringat itu aku akan menangis, meski kini tidak bisa. Tetap saja. Rasa sakit di dada itu ada.

"Akan kubantu. Sudahlah, kau jangan bersedih."

Kael tiba-tiba menyodorkan buket bunga primrose kuning di hadapanku. Aku menerimanya dengan kikuk yang padahal langsung memgubah suasana hatiku.

"Sebenarnya, kenapa buah tangannya bunga terus? Padahal bisa apapun?"

Aku melihat-lihat bunga cantik yang terbungkus buket rapi ini.

"Kudengar para gadis suka bunga, dan ya, di sekitar menara penyihir banyak bunga liar yang tumbuh."

Mendengarnya bunga liar, sedikit melorotkan kesenanganku. Namun, aku jadi terpikir itu berarti menara penyihir memiliki bunga-bunga liar dan yang cantik dan tak kalah dengan bunga di taman-taman ini. Aku jadi tak sabar ke sana.

"Kau harus belajar dasar dengan baik di sini dulu. Kalau kau tidak mau hanya sekadar jadi orang yang membersihkan saja di sana. Kau tahu sendiri kan. Aku baru saja suksesi, masih mengumpulkan orang lagi."

Dia tertawa bahagia setelah mengerti pikiranku, tetapi tiba-tiba ia mengubah sikapnya mendadak dan menatap ujung taman ini. Dari sana aku melihat Yang Mulia Ratu berjalan kemari diikuti beberapa pelayannya.

"Aku mendengar kalau Tuan Kael sedang berbincang dengan putriku. Wah, ini memang hari yang cerah untuk minum teh. Bolehkah aku bergabung Putri?" katanya begitu sampai di hadapan kami sembari pelayan di belakangnya menenteng tas yang kuduga adalah kue yang sudah dipersiapkan.

Don't Cry, WilhelminaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang