Happy reading...Di tengah lapangan Anzel masih terdiam. Tubuhnya terpaku, logika dan batin masih berperang. Tubuhnya sibuk menetralisir degup jantung yang seakan menggila. Mereka berdetak seperti tak akan ada hari esok untuk tetap hidup.
Sudah bermenit-menit yang lalu Taqi dan Anzar meninggalkannya-tentu saja Anzel yang mengusir mereka- tapi tubuh dan hati belum sinkron, tubuhnya masih diam di tempat dan otaknya masih berkeliaran mencari ketenangan.
Sensasi pedas tamparan tangan Najma yang menyentuh pipi masih tercetak jelas di ingatan. Anzel bukan mengingatnya karena sakit ataupun karena malu. Cuma ada sesuatu lain yang Anzel sendiri belum memahami. Biasanya kalau kulitnya bersentuhan dengan orang lain-lawan jenis khususnya. Anzel sering merasakan jijik. Jijik yang teramat sangat, jika Anzel bersentuhan dengan orang lain tubuhnya akan bereaksi lebih cepat dibanding otak. Kadang Anzel gak sadar apa yang dilakukannya. Tubuhnya sudah memberi komando terlebih dulu, dan otak menjadi pendukung yang setia. Jadi tak jarang Anzel melakukan kekerasan meski sebenarnya Anzel tak benar-benar ingin melakukannya. Bangsatnya logika suka membenarkan tindakannya dengan alasan untuk pertahanan diri.
Hipotesis Ray memang benar. Anzel memiliki phobia skinship atau lebih dikenal dengan istilah haphephobia, adalah rasa takut berlebih jika bersentuhan dengan orang lain, terutama dengan lawan jenis. Seperti cerita yang klise, Anzel mendapatkan phobianya karena trauma masa kecil. Juga saat dia masih duduk di bangku SMP, Anzel pernah mendapat perlakuan tidak senonoh dari sekelompok siswi SMA karena wajahnya. Makanya kadang Anzel berpikir wajah adalah awal dari semua bencana yang menimpa.
Tak jarang Anzel membenci wajahnya. Wajah yang dipuji orang-orang karena ketampananya. Wajah jenius yang diinginkan hampir semua orang. Wajah yang selalu menjadi kebanggaan Ibunya. Wajah yang selalu jadi ikon saat perkumpulan keluarga. Wajah yang juga telah menghancurkan hidupnya.
Tak jarang juga dia bangga dengan wajahnya. Karena wajah Anzel banyak disukai orang. Karena wajah juga Anzel bisa berinteraksi dengan orang lain meski tanpa bersentuhan.
Anzel baik-baik saja. Selalu. Dia baik-baik saja tanpa memperlihatkan seberapa depresi dia karena phobianya. Bahkan puluhan kali Anzel mencoba mengakhiri hidup. Sungguh, Anzel sangat membenci dirinya. Jika saja Anzel gak lemah, kejadian tersebut tidak akan pernah terjadi. Dan andai saja waktu itu Anzel punya sedikit keberanian untuk melawan. Kehidupan Anzel tak akan berakhir seperti ini. Tak harus mengalami semua ini.
Anzel juga normal. Anzel selalu iri pada orang lain yang bisa berinteraksi dengan bebas. Anzel ingin seperti orang lain bermain bersama teman, berkencan dengan gadis yang disukai, melakukan skinship dengan leluasa tanpa harus mengkhawatirkan phobianya ketahuan. Tapi semua hanya menjadi angan saja. Tak pernah ada kejadian baik jika dia bersentuhan dengan orang lain. Emosinya langsung memuncak dan refleks bertindak kasar, perut mual, serangan panik juga mendominasi, tubuhnya bergetar dan kondisi terparahnya dia mungkin pingsan. Keadaan itu sungguh membuat menderita, sebisa mungkin dia menghindari skinship, meskipun dengan cara yang kasar.
Tapi ada yang beda dengan Najma. Sentuhannya tidak sampai membuat Anzel ingin muntah. Dia merasa seperti orang normal, hanya merasakan emosi kesal saat cewek itu mendaratkan tamparan mulus di pipinya. Kepalanya dipenuhi pertanyaan kenapa bisa? Kenapa sentuhan Najma tidak membuatnya bereaksi berlebihan? Ada apa dengan wanita itu? Apa dia semacam marijuana yang bisa membuatnya candu? Dan banyak pertanyaan lain yang tidak bisa Anzel temukan jawabannya.
Anzel perlu memastikan sesuatu. Ya dia harus memastikan.
Anzel pergi ke kelasnya, dia mendapati guru sedang mengajar. Entah karena Anzel sedang kalut atau memang attitude yang berantakan, dia masuk tanpa mengetuk pintu dan melewati guru begitu saja. Satu tujuannya. Bangku tempat Kana berada. Dia harus memastikan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Najma Sagara (END)
RandomKarena kekeliruan dalam mengenali presensi tubuh, Najma salah memeluk sembarang orang. Kesalahan itu menjadi alasan garis hidup Najma bersinggungan dengan Anzel, seorang badboy yang mengidap haphephobia. Banyak hal rumit terjadi setelah tragedi itu...