BAB 4

391 75 8
                                    

Buy me a coffee:
https://ko-fi.com/bukinyan
https://trakteer.id/bukinyan
If you enjoy my content, please consider supporting what I do. Thank you.

CATATAN PENULIS:

Aku mungkin bakal bikin beda dari 1 of 5, No. 1. Marshmallow di sana. Kalau mengikuti alur yang sudah ditentukan seperti sebelumnya, endingnya mungkin tidak bagus. Untuk beberapa bab ke depan Naruto lebih sensitif, tetapi hanya sebatas melukai karena kecemburuannya. 

✿ Happy membaca ✿

□■□■□■□■□

Hinata sudah tidak tahu lagi kenapa salah satu pelanggan di Lawson selalu memborong marshmallow. Padahal terlalu banyak manisan seperti itu tidak baik untuk kesehatan. Apakah pria itu tahu risikonya? Apakah kalau dia mengingatkannya, pria itu bakal menerimanya?

Di meja kasir, Hinata menghitung berapa banyak marshmallow dan cokelat di atas meja itu. Sebagai seorang yang cinta akan kesehatan jasmani, Hinata merasa terusik dengan ambisi pria itu yang perlu makan permen setiap hari. 

"Apa kau tahu, pemerintah menganjurkan dalam beberapa hari untuk mengonsumsi gula dalam batas tertentu?" pria di depannya berlagak seperti anak kecil yang pura-pura tidak mendengar orang mengomel di depannya. Menurutnya, bukan dari wajah saja gadis di depannya itu mirip ibunya, tapi caranya berbicara serta mengomelinya sama persis. "Kakak, kau mendengarkan aku, 'kan?"

"Aku hanya perlu bayar, 'kan?"

Hinata menghela napas, tidak dikiranya itu yang didapatkannya dari sang pelanggan. Pria itu jelas tidak ingin dikomentari. Lalu apa yang sudah dilakukannya harus susah payah membuat orang di depannya sadar. Hinata harusnya senang kalau tingkat penjualan permen meningkat hanya karena satu orang. "Kau perlu ambil ini juga."

Naruto melirik vitamin yang tiba-tiba dimasukkan ke dalam tagihannya. Walaupun begitu, Naruto tidak mencoba mengeluarkan benda yang tak pernah dibelinya itu dari kantong belanjanya. Dia tetap membawa vitamin itu sampai ke rumah dan diberikannya kepada Gaara yang paling bekerja keras di rumah karena dia seperti punya ambisi untuk menjadi bapak rumah tangga.

Tidak seperti biasanya, Gaara hanya memandangi serius bungkus vitamin yang menyerupai permen itu. "Kau tahu, aku tidak pernah suka asam," dia mencoba memprotes. "Kalau memang ingin membelikan sesuatu, kenapa tidak dibelikan kopi saja?" Gaara terus mengomel sampai dia masuk ke dalam kamar pria itu. "Wagashi, mungkin, kau lebih tahu aku suka yang manis daripada asam."

Tiba-tiba saja Naruto sudah mengenakan penyuara telinga. Saat Gaara melihat jam dinding, ini sudah jam sembilan malam, itu berarti waktunya main gim. Naruto selalu tepat waktu untuk melakukannya, dan sejak dia tinggal di rumah ini, semuanya menjadi serba terjadwal. Pria bodoh itu hanya mengerti itu, tapi kenapa waktu lalu dia datang-datang dengan bilang ingin menculik seorang gadis. Ya ampun, Gaara hampir melupakannya. Dia kemudian melihat vitamin yang ada di tangannya, juga kantong belanja yang tergolek di atas kasur.

"Apa dia baru saja bertemu dengan gadis itu?" Gaara dengan hati-hati berkomentar, dia juga keluar dari kamar Naruto tanpa mengusiknya, atau Naruto akan mengamuk karena diganggu. Mempertahankan ranting dalam permainan itu seperti visi dan misi hidupnya. Dia bahkan pernah stres hanya karena dikalahkan oleh pemain baru yang tiba-tiba menyerobot panggungnya. Kalau sedang iseng, kadang-kadang dia menggunakan pengubah suara untuk menggoda lelaki hidung belang di luar sana. Memang, kadang kalau dilihat-lihat oleh Gaara, keseharian Naruto tidak ada manfaatnya sama sekali. Sebagai seorang teman, kadang Gaara meratapi.

Sekeluarnya dari kamar Naruto, kembali ke dapur untuk membereskan peralatan makan, Gaara masih memikirkan semua kegilaan Naruto. Apa dia sebaiknya menghubungi Kushina, ibu Naruto? Tapi kalau wanita itu tahu masalah tersebut, pasti urusannya akan semakin besar. Dia tidak mau harus menjadi orang yang bertanggung jawab karena membuat Naruto sampai seperti itu, padahal Gaara merasa itu bukan kesalahannya.

Gaara pergi ke taman belakang di mana koleksi kaktus-kaktus tercintanya berada, walau taman itu kecil, setidaknya enak untuk dibuatnya merokok. Di sana Gaara membaca pesan masuk yang semuanya dari kakak bajingannya yang selalu menyerahkan pekerjaan dalam situasi yang tidak terduga, tetapi sebelum Gaara dapat membalas dengan mengomel, dia melihat Naruto memeluk bantalan marshmallow dengan raut wajah sedih.

"Kenapa mukamu seperti itu?"

"Gaara, apakah aku kurang tampan?" Gaara mulai membatin karena pertanyaan itu sedikit mengganggu. Sejak kapan Naruto mengomentari penampilannya dan berpikir bahwa dia harus lebih keren lagi. Naruto punya ciri khas sendiri untuk dikagumi sebagai seorang pria. Walau tampak kekanak-kanakan, kalau suda mengenakan setelan necis, pria itu seperti ayah gula yang pantas dicintai—karena uangnya, tentu saja. "Sepertinya aku harus beli pakaian yang lebih bagus. Aku melihat ke dalam ponselnya, dia mengoleksi banyak foto pria-pria tampan."

"Apa maksudmu?" Gaara berusaha mencerna, dan baik-baik saja dalam batas tertentu dia mendengarnya sampai dia menyadari kebiasaan Naruto kalau penasaran pada sesuatu. "Jangan bilang kau meretas ponselnya?" suara Gaara menggema, rokoknya sampai terjatuh dan membakar rumput di halaman belakang. "Kau gila, ya?"

Naruto masih menganggap itu hal biasa saja, bahkan saat Gaara terlihat marah, dia sama sekali tidak terpengaruh. "Pokoknya besok aku akan pergi berbelanja pakaian."

"Naruto, tunggu sebentar," dia perlu mencegah Naruto untuk bersikap jauh lebih agresif. Gaara tak dapat membayangkan bahwa Naruto akan menjadi seperti ini. Naruto menoleh dengan malas ke arah Gaara, dan malah hanya duduk memeluk lututnya yang ditekuk. "Jadilah dirimu sendiri. Kau tidak harus menjadi orang lain agar gadis itu menyukaimu."

"Oh, benarkah?" matanya tiba-tiba berbinar. Saking banyaknya sikap Naruto yang acak, Gaara jadi tidak dapat memikirkan apa yang akan selanjutnya dilakukan oleh Naruto hanya demi mendapatkan perhatian dari gadis Lawson itu.

Keesokan harinya pun, saat Hinata baru saja berganti sif dengan temannya, dan berjalan ke bagian kasir, Hinata termenung tidak percaya dengan penampilan baru dari Mr. Marshmallow yang aneh. Dia meyakini kalau penampilan itu sebenarnya tidak aneh. Hanya dia tidak menyangka, setelan necis seperti eksekutif muda, dikenakan oleh pria itu, yang sebelumnya hanya mengenakan setelan seperti orang pengangguran bangun tidur.

"Kau akan pergi ke acara penting?" kalau diamati lebih serius, rambut pria itu yang pirang acak-acakan kini dipotong rapi. Lebih dipangkas mengikuti tren masa kini. "Terlihat tidak biasa."

"Aku memang ada beberapa urusan, tapi aku perlu membeli kopi untuk temanku."

Kenapa logat berbicaranya makin jadi aneh? Pikir Hinata. "Oh, hanya ini saja pesanannya?"

"Iya."

"Tumben tidak beli marshmallow?"

"Ah, apa Hinata setuju kalau aku beli marshmallow lagi?" wajah pria itu kembali berbinar seperti biasa, kesan kerennya tiba-tiba hilang, seakan ada dua orang yang berbeda. "Kalau begitu aku beli lagi."

"Setop!" Hinata mengangkat tangan, memerintahkan pria itu untuk berhenti. "Sebaiknya, kau beli ini dulu, mungkin saja temanmu akan menunggumu."

"Hinata benar, Gaara pasti akan marah kalau aku tidak tepat waktu."

Siapa pula itu Gaara, Hinata bahkan tak peduli kalau temannya marah hanya karena pria itu tidak datang cepat-cepat. Penampilannya yang cukup nyentrik daripada biasanya, membuat Hinata mencurigai daripada biasanya.

Sampai akhirnya Mr. Marshmallow meninggalkan Lawson, Hinata masih tidak mengerti dengan perilaku pria itu.

"Bukankah orang itu hampir setiap hari ke sini?"

"Iya, pria aneh."

"Benar, tapi penampilannya kali ini lumayan."

Hinata bahkan terlihat tak peduli sedikit pun. 

□■□■□■□■□

BERSAMBUNG

CATATAN KAKI:

*) Wagashi adalah istilah bahasa Jepang untuk kue dan permen tradisional Jepang. Istilah wagashi digunakan untuk membedakan kue tradisional Jepang dengan kue dan permen dari Barat yang diperkenalkan orang Eropa ke Jepang sejak zaman Meiji.

Marshmallow ✔Where stories live. Discover now