BAB 38

343 64 2
                                    

READY FANBOOK NIGHT DOLL dengan harga Rp. 250.000,-. Fanbook-nya cuma sisa satu ya, karena cetaknya dilebihkan satu. Kalau ada yang mau adopsi bisa hubungi aku di nomor ini: 0851-5634-8981, (harga belum termasuk ongkir ke kota kalian).

NIGHT DOLL FANBOOK: 

1. Buku berukuran 13x19
2. 500hlm
3. 10 Ilustrasi NaruHina berbentuk panel manga.
4. Cover tebal

✿ Happy membaca ✿

■□■□■□■□■

Seminggu yang lalu, pernikahan meriah itu berlangsung, tetapi efeknya sampai hari ini, ucapan selamat dan hadiah terus berdatangan dari kerabat yang tak bisa hadir atau rekan bisnis keluarga masing-masing mempelai. 

Sebagian hadiah-hadiah itu terdiri dari furnitur untuk pengantin baru, paket liburan ke luar negeri, sampai-sampai boks bayi yang besar yang masih dipikirkan mau diletakkan di ruangan mana—pengantin wanita hamil, mereka tahu harus memberikan apa untuknya.

Naruto baru saja membantu para pelayan yang didatangkan langsung dari rumah untuk membenahi tata letak ruangan, di mana rumahnya yang baru selesai direnovasi, butuh sedikit saja disulam menjadi lebih nyaman dan menarik. Dia baru membantu setengah jam, sekarang sudah kelelahan dan sedang makan es krim di cuaca yang mulai panas mendekati siang hari.

Ruang bawah tanah masih menjadi tempat favorit dan tidak diubah. Di sebelah ruang bawah tanah itu ada ruang terbuka yang nyaman akan dibuat untuk menikmati teh sore atau membaca buku dengan suasana pedesaan. Dibuat seperti itu atas saran Hinata. Dengan permadani Turki yang nyaman, bantalan empuk, dan meja kayu buatan tangan. 

Naruto tak pandai mendekorasi apalagi membuat kerajinan tangan. Sepanjang hari dia masih menggeluti pekerjaan yang dirahasiakan demi keamanan bersama. Untuk yang satu itu, dia benar-benar punya batasan kepada siapa pun,bahkan istrinya tidak boleh sampai tahu. Ini tentang keamanan negara. 

Beruntung sekali Naruto punya istri seperti Hinata, yang menata semua agar tampak layak, di mana dibuka studio khusus membuat kerajinan kayu yang juga berada di bagian sudut yang sama.

"Lihat, kau baru saja bergerak tetapi sekarang malah makan es krim yang kubeli."

Naruto mengamati es yang ada di tangannya, lalu dia menyerahkan kepada Hinata. "Kau mau?"

"Tidak. Ibu hamil tidak boleh makan es krim banyak-banyak."

"Kenapa?"

"Tidak usah tanya kenapa. Cepat habiskan, dan bantu mengangkat lemari bayi ini ke kamar anak kita."

Pria itu langsung memasukkan es krim itu ke mulutnya, dan mengunyah sambil mengernyit karena merasakan dingin. Namun dia tidak mengabaikan perintah Hinata. Dia tidak boleh membuat Hinata bekerja berlebihan karena perut wanita itu semakin membesar.

Saat malam hari, menyisakan lelah yang membuat mereka menderita satu sama lainnya. Keduanya pun menghabiskan waktu sambil menikmati susu hangat di tempat favorit yang dikagum-kagumi. Dari sana mereka dapat mengamati bintang di langit malam. 

Cuaca akhir-akhir sangat panas meskipun malam hari. Bunyi berisik dari perkotaan, kadang membawa kedamaian dan menjadi candu secara bersamaan. Rumah kecil yang ditata dengan baik itu menciptakan sudut yang menarik. Semua sudut diisi oleh cinta untuk keluarga kecil mereka yang baru dibangun. 

Masih mendengarkan kebisingan kota dan suara kayu yang terbakar, Naruto tiba-tiba bertanya—sesuatu yang ingin ditanyakannya sejak jauh-jauh hari ketika dia tahu anak pertamanya adalah anak laki-laki.

"Apa Hinata sudah menemukan nama yang bagus untuk anak laki-laki kita?"

"Aku belum memikirkannya."

"Kalau Hinata setuju, aku ingin merekomendasikan nama yang bagus untuknya."

"Sudah ketemu? Memang mau diberi nama seperti apa?"

"Boruto," Hinata terdiam ketika Naruto berseru. Suaranya serak suaminya sangat pas saat memanggil nama anak itu. Entah mengapa Hinata langsung menyukainya. "Namanya Boruto saja. Apa Hinata suka? Kalau tidak suka, nanti aku cari nama yang lain. Nama yang lebih bagus."

Hinata menggelengkan kepala dan tertawa kecil, tetapi air matanya tiba-tiba menggenang. "Aku suka."

"Hinata kenapa menangis?"

"Aku tidak tahu. Saat nama itu disebut, aku jadi suka sampai menangis. Nama itu sangat cocok untuk anak kita," lengannya menyeka air mata yang terus berjatuhan. "Aku akhirnya jadi ibu, dan aku tidak ingin menjadi ibu yang buruk baginya. Apa aku bisa? Aku takut. Benar-benar takut."

Naruto merangkak mendekati Hinata, sebab dia tahu situasi istrinya tentang masa anak-anak kurang baik oleh perlakuan ibunya yang protektif secara berlebihan. Mencoba mendandani dengan layak, berdalih karena kasih sayang. Kenyataannya, Hinata tidak nyaman diatur secara berlebihan. Wanita itu teringat dengan apa yang ibunya katakan kepadanya sebelum hidup mandiri, bahwa Hinata akan mengerti begitu menjadi seorang ibu nantinya. 

Orangtua berusaha melakukan yang terbaik demi anak-anak mereka, sekalipun tidak disukai dan keputusan mereka disebut-sebut sangat egois. Seorang anak adalah anugerah yang pantas dijaga dan dirawat sebaik mungkin.

Begitu tahu kekhawatiran Hinata, Naruto memeluk istrinya, tapi dia tidak mengatakan apa-apa selain menepuk punggung istrinya. Saat-saat seperti ini, dia jadi ingat temannya sering kali menasihati; diam saja karena akan lebih baik membuat istrinya senyaman mungkin berada di dalam dekapannya, sebab lebih baik dia mendengarkan semua keluhan yang muncul itu daripada berbicara yang tidak-tidak.

■□■□■□■□■

Hikari baru saja keluar dari dapur, melihat putranya berdiri di depan kolam. Anehnya putranya itu masih mengenakan mantel dan pakaiannya rapi. Dia berpikir anak itu paling-paling mau pergi kencan dengan Tenten, tapi ini sudah hampir larut malam, mengapa Neji masih berdiri di sana dan tidak segera pergi.

"Neji, apa yang kaulakukan di sana, Nak?"

Neji berlari menghampiri ibunya. Sudah satu jam dia berdiri dan bermondar-mandir di dekat kolam, sementara di dalam saku mantelnya, dia tengah menggenggam kotak cincin untuk melamar kekasihnya, tetapi masih tidak yakin. Neji sangat bingung, apakah sudah waktunya melamar atau belum. Kalau dia mengulur waktu, bisa saja hubungan mereka akan jadi lebih membosankan. Akhir-akhir mereka sering kali bertengkar karena hal-hal kecil.

"Ibu, aku berencana pergi bertemu Tenten."

"Baiklah, kalau begitu pergi. Apa yang sedang kau tunggu?"

"Masalahnya, aku pergi bukan sekadar untuk bertemu dengannya."

"Lalu?"

"Aku mungkin akan melamarnya malam ini," tangan Hikari langsung menutupi mulutnya agar dia dapat menjaga suaranya—dia tidak mau berteriak saking senangnya. "Apa itu keputusan yang bagus? Mungkinkah sebaiknya aku tunda saja? Menurut ibu bagaimana?"

"Tidak. Kau tidak perlu menunda hal baik semacam itu, Neji. Pergilah dan temui Tenten. Ibu bisa pesankan restoran makan malam untuk kalian. Tapi masalahnya, ini cukup larut untuk pergi makan malam romantis. Kau hanya perlu mendatanginya dan berikan cincin lamaran itu kepadanya."

Ibunya selalu berbicara hal mudah. Neji juga sudah memikirkannya sejak tadi, bahwa dia bisa segera pergi untuk melamar gadis pujaannya itu. Masalahnya, Neji tidak cukup berani, dia dengar ada banyak pasangan yang tidak terlalu menginginkan hubungan ke jenjang yang lebih tinggi, belum lagi Tenten tidak pernah menyinggung soal pernikahan.

"Kalau kau tidak cukup percaya diri, biar ibu yang menghubunginya."

"Tidak boleh. Aku tidak mau dianggap tidak becus. Aku akan pergi sekarang setelah Tenten membalas pesanku."

"Baguslah. Kau tidak harus berlindung di bawah ibumu ini. Kau adalah anak laki-laki yang baik, tampan, dan sangat menyayangi keluarga. Ibu yakin Tenten tidak akan menolakmu. Kalian sudah lama mengenal. Ibu bisa menilainya, kalau Tenten sangat menyukaimu dan berharap untuk hidup bersamamu sampai tua."

Nasihat atau pujian. Neji tidak peduli, mengingat dia merasa damai dan percaya diri dengan cepat. Ibunya seperti membacakan mantra, sejak kecil Neji selalu bersemangat, dia akan berhenti merasa tidak percaya diri ketika ibunya memberitahu Neji soal kelebihan yang dimilikinya sebagai seorang anak laki-laki dari Hyuuga. 

■□■□■□■□■

BERSAMBUNG

Marshmallow ✔Where stories live. Discover now