BAB 19

314 82 12
                                    

CATATAN PROMOSI:

Aku masih buka cetak ulang Fanbook Night Doll (3/4) dan Healing Love (4/4). Meskipun kuota sudah terpenuhi, tetapi kalian masih bisa pesan sampai akhir Juni, dengan pembayaran DP sebesar 50% dari harga buku.

✿ Happy membaca ✿

■□■□■□■□■

Sasuke sudah mencari ke seluruh ruangan. Terhitung sejak lima hari yang lalu. Setiap dia bangun tidur, dia akan mencari anggotanya yang berkurang satu. 

Naruto adalah orang yang hampir tidak pernah meninggalkan Aliansi, maka ketika pria itu tak terlihat semenit saja, sudah akan tampak mencurigakan bagi Sasuke Uchiha yang tidak menemukannya.

"Kupikir dia pulang ke rumahnya. Kau sudah tahu dia menghilang 5 hari, 'kan?"

"Iya, sudah tahu," jawab Gaara. "Bagaimana bisa aku tidak tahu kalau aku adalah orang yang selalu membereskan kamarnya." Sasuke mengangguk, lalu tidak mengatakan apa-apa lagi selain membuat kopi di dapur. 

Meskipun begitu, kadang Sasuke masih melirik Gaara yang termenung sambil mencicipi espreso sedikit demi sedikit, matanya pasti tidak jauh-jauh untuk melihat kaktus yang sedang dijemur, pikir Sasuke, dan itu benar. 

"Kau pasti belum tahu kalau dia sudah punya pacar, 'kan?" Gaara lebih terdengar seperti bertanya daripada berusaha memberitahu Sasuke.

"Panas!" pekik Sasuke, dia terkejut saat air panas menyiram tangannya secara tidak sengaja ketika dia sedang membuat kopi demi pagi harinya agar lebih berwarna. Tapi kabar dari Gaara menyebabkan otaknya tiba-tiba tidak berfungsi. "Bisa kau ulangi sebentar?"

"Dia punya pacar. Sekarang tinggal bersama pacarnya."

Sasuke tertawa, mengibaskan tangannya berulang kali seolah-olah sedang ada lalat yang mengitari wajah Gaara. "Lucu sekali. Kau pasti mencoba menghiburku karena aku baru saja bertengkar dengan Sakura," Gaara melirik Sasuke marah, tidak lama kemudian Sasuke terdiam seketika mengetahui bahwa itu bukan guyonan garing Gaara seperti biasanya. "Serius? Dia punya pacar? Siapa yang mau dengannya? Ah, maksudku, apakah gadis itu masih waras?"

"Bukan itu yang sekarang aku pikirkan."

"Lalu apa?"

"Hyuuga," gumam Gaara. "Bukannya calon tunangan Naruto yang dulu itu marganya Hyuuga? Aku baru ingat sekarang, waktu itu kita diberitahu kalau Naruto akan segera punya tunangan dari keluarga Hyuuga."

"Oh, apa maksudmu adiknya Neji Hyuuga?"

"Neji Hyuuga?"

"Kau tidak ingat? Pria yang punya potongan rambut panjang hampir sebokong?" Gaara mencoba mengorek sesuatu dari dalam kepalanya. Ia pernah bertemu pria dengan rambut panjang satu-satunya itu di keluarga Hyuuga saat mereka dipaksa untuk ikut upacara teh. Pria yang terlihat sedikit luwes untuk menyajikan teh bunga, apalagi sama sekali tidak lelah ketika harus duduk berjam-jam melipat kakinya. "Sudah ingat sekarang?"

"Sudah. Dia anak pertama keluarga Hyuuga. Kita berdua bertemu beberapa kali dengannya karena menghadiri Upaya Melestarikan Budaya, tema yang selalu ada setiap musim semi. Sudah lama kita tidak menghadirinya," gumam Gaara, yang malah ingat masa lalu ke belakang. Satu-satunya yang tidak pernah hadir adalah Naruto Uzumaki, lagi pula orangtua pria itu tidak pernah memaksa putra mereka datang. Kalaupun dipaksa akan berakhir tidak baik. Uzumaki tidak ingin menghancurkan  acara tersebut dengan kemarahan Naruto yang sama sekali tidak diharapkan oleh semua orang. "Kalau begitu, siapa nama gadis itu?"

"Hinata Hyuuga."

Kedua pria yang sedang menikmati kopi di dapur serempak menoleh ke arah asal suara. Sakura Haruno ikut bergabung, tetapi gadis itu sedang membuat teh panas daripada ikut menikmati kopi pagi bersama kedua orang yang lebih dulu menguasai dapur bersamaan dengan gosip-gosip paling spektakuler menurut mereka.

"Jadi maksudmu gadis itu adalah tunangan Naruto?" Sasuke berseru, hampir suaranya terdengar seperti orang panik.

"Iya."

Gaara membeku selagi dia masih memegang mug kopi agar tidak terjatuh. Tidak mungkin! Nama mereka kebetulan sama. Sakura melirik Gaara. "Pasti syok! Melihat wajahmu yang pucat, aku langsung tahu," Sakura seolah mencibir, dia lalu tertawa sendiri. "Aku pernah menemani Naruto ke Lawson—kebetulan aku ingin membeli sesuatu. Aku juga penasaran gadis itu. Aku berusaha memastikan, dan ternyata benar, gadis itu, dia yang mengaduk teh dengan anggun di rumah teh keluarga Hyuuga. Karena kalian masuk ke kelas anak laki-laki, jadi kalian tidak pernah bertemu dengannya."

Benar, kelas teh dibagi antara pria dan wanita di ruang yang berbeda. Tidak perlu diragukan lagi, Sakura benar.

"Semoga kalian bisa merahasiakan ini. Biarkan mereka tetap tinggal bersama sampai batas waktu tertentu, baru kita beritahu dia," saran Sakura. "Aku pikir, karena banyaknya anak perempuan yang menghadiri kelasnya, gadis itu tidak mengingatku. Terutama kau Gaara, jangan pernah memberitahu gadis itu juga. Kelihatannya gadis itu tidak tahu siapa Naruto—mereka hanya dua orang bodoh yang tidak pernah mengira kalau sebenarnya mereka pernah terlibat perjodohan!" Sakura terpingkal-pingkal, kemudian meninggalkan dapur.

Gaara masih di tempatnya, bergeming sampai Sasuke takut kalau terjadi sesuatu pada Gaara semisal dia meninggalkan pria itu. Maka dari itu, yang dilakukan Sasuke hanya menepuk pundak Gaara pelan-pelan. "Kau pasti kesal, aku paham."

■□■□■□■□■

Apakah ini sudah siang? Karena tidak ada jendela, aku tidak tahu. Hinata kemudian melirik jam digital, yang menunjukkan waktu sudah memasuki sore hari. Tempat yang nyaman dan sejuk, membuatnya tidur lebih pulas.

"He, kau sudah bangun?" Naruto berlutut setelah pria itu selesai bermain gim di depan komputernya. Hinata selalu bertanya-tanya, kapan pria itu akan istirahat, karena waktunya dihabiskan hanya di depan monitornya. "Hinata mau makan sesuatu?"

"Tidak."

"Kenapa?"

Hinata bangun dari tidurnya. Dia merasakan kepalanya pusing tak tertahankan, biasanya itu karena dia terlalu lama tertidur. "Aku hanya ingin obat pereda nyeri kepala," dia mengambil tas yang diletakkannya di pinggir kasur, mencari obat dari dalam sana, yang selalu dibawanya ke mana-mana, karena Hinata sering kali membutuhkannya. "Kenapa kau tidak membangunkanku?" tanya Hinata.

"Kau tidur nyenyak sekali, aku tidak berpikir harus membangunkanmu."

Naruto mengambil duduk di sampingnya dengan wajah yang terlihat cemas. Hinata hampir tidak memercayai hubungan mereka sebatas obsesif untuk saling membutuhkan—dia jadi teringat dengan teman Naruto, lalu bertanya-tanya pada dirinya sendiri, mengapa bisa-bisanya dia tinggal di sini hanya karena punya maksud lain atau menganggap semua yang terjadi itu kesempatan yang tidak akan pernah datang kedua kalinya. Kalau begitu, apa yang dimaksud kesempatan? Mengapa dia harus memaafkan pria mengerikan di depannya ini.

"Sepertinya aku punya pertanyaan untukmu."

"Mau tanya apa?"

"Kalau aku tiba-tiba pergi dari tempat ini, apa kau akan mencariku?" Naruto tertegun, wajahnya berubah masam. "Tidak, maksudnya, bukan kabur. Karena ada masalah keluarga—misal aku harus pulang ke rumah."

"Aku akan pergi ke rumah Hinata. Lalu aku bakal menjemput Hinata."

Hinata menahan tawanya. Dia sedang memikirkan Naruto beradu mulut dengan Neji yang tidak kalah protektif kepadanya. Apakah itu akan jadi petarungan yang menyenangkan?

"Aduh," Hinata mencolek perut Naruto. "Jangan begitu, apa kau tidak takut dengan kedua orangtuaku? Bisa saja mereka akan marah karena ada cowok yang tiba-tiba datang mencari putrinya. Apa kau tahu kalau kakakku itu menyeramkan?" namun sebenarnya tidak ada yang lebih menyeramkan daripada ibunya yang terlihat lemah-lembut dari luar. "Ya, baiklah. Kalau begitu, nanti ketika aku tidak pulang ke sini, kau bisa menjemputku."

Naruto menyentuh dadanya saat itu juga. Dia tidak tahu kenapa bisa berdebar-debar. Apa karena Hinata tidak membencinya dan malah mempersilakan untuk datang ke rumahnya? Itu berarti apakah dia bisa melamar gadis itu?

"Hinata! aku ingin menikah denganmu sekarang!"

"Apa?"

■□■□■□■□■

BERSAMBUNG

Marshmallow ✔Where stories live. Discover now