BAB 36

247 64 4
                                    

READY FANBOOK NIGHT DOLL dengan harga Rp. 250.000,-. Fanbook-nya cuma sisa satu ya, karena cetaknya dilebihkan satu. Kalau ada yang mau adopsi bisa hubungi aku di nomor ini: 0851-5634-8981, (harga belum termasuk ongkir ke kota kalian).

✿ Happy membaca ✿

■□■□■□■□■

Hiashi mengamati putrinya dengan teropong yang dibelinya beberapa waktu lalu, mengingat putrinya sering keluar malam, untuk duduk-duduk di taman yang tidak jauh dari rumah mereka. 

Taman kompleks yang sepi membuatnya khawatir. Dia tidak bisa tidur kalau putrinya keluar rumah larut malam, takut kalau anak itu kabur dengan kondisi hamil. Sedangkan istrinya merajut pakaian bayi setiap hari, tidak seperti Hiashi yang penasaran tentang putrinya dan daripada memberikan hadiah kejutan untuk calon cucunya, dia malah seperti pengintai kurang kerjaan.

"Dia datang, dia datang," kata Hiashi, antusiasme yang luar biasa itu membangkitkan istrinya yang sedang duduk tenang bersenandung saat merajut. "Pria itu datang, pacar Hinata datang, dia membawa ayam dan minuman yang katanya boba atau apa itu, aku tidak mengerti selera anak muda," Hikari merampas teropong itu, padahal awalnya dia tidak suka suaminya membeli itu karena terlihat seperti pria cabul. "Datang, 'kan?"

"Aku tidak suka mereka bertemu di taman, makan di sana, seperti pasangan yang tidak punya rumah."

"Kan mereka memang tidak punya rumah," Hikari melirik tajam suaminya. "Kau juga tidak usah kolot. Biarkan mereka serumah meskipun tidak menikah. Pasangan muda zaman sekarang melakukannya—bahkan yang sudah menikah tetap tinggal di rumah masing-masing. Itu bukan hal yang aneh lagi. Biarkan mereka meyakinkan diri sendiri untuk urusan berumah tangga."

"Jadi, kau membela anak-anak itu?"

Hiashi mendekap istrinya agar tenang. Ketika melihat wanita itu marah, berarti dia sudah keterlaluan. Hikari adalah wanita kalem, yang dikenalnya sebagai wanita sejati, padahal, kalau marah sama saja seperti ibu-ibu yang siap melayangkan sandalnya ke putra-putri mereka yang sudah kelewatan membuatnya naik pitam.

"Lanjutkan saja menyulamnya, cucu kita lebih senang kau melakukan hal itu ketimbang marah-marah dan menggunakan teropong itu."

"Jaga ucapanmu ya, jangan sampai Hinata mendengar ucapanmu yang tadi, karena jika terdengar olehnya, itu seperti kau mendukungnya. Pernikahan itu penting! Masa kau mau ditertawakan leluhur kita, putri kita mirip gundik yang disimpan daripada dinikahi."

"Astaga, kau juga jahat sekali. Ini kan hanya soal waktu saja."

Setiap hari, rumah Hyuuga dipenuhi oleh pertengkaran semenjak putri keluarga itu mengalami masa-masa radikal di luar dari bayangan mereka selama ini—bukan lagi seputar minggat dari rumah—ini lebih dari itu, tak pernah membayangkannya seperti kucing betina yang akan pulang ketika bunting saja.

Neji yang akan masuk ke ruang keluarga jadi enggan melakukannya, sebab dia sudah bosan mendengar ibu dan ayahnya bertengkar. 

Menjadi orangtua memang sangat sulit. 

Neji menghela napas, karena dia merasa lelah sendiri atas kelakuan adiknya. Dia memilih keluar dari rumah, tidak berpamitan. Bertemu Tenten di salah satu bar pinggiran kota yang ramai, dan teman baiknya itu sudah ada di sana, menunggunya dengan sebotol sake yang dipesan. Ya ampun, Neji bahkan tidak bilang kalau dia mau minum malam ini.

"Ayo kita mabuk!"

Baru saja duduk, Neji menuangkan sake itu ke gelas Tenten. "Aku tidak sanggup menggendongmu kalau kau mabuk," kata Neji, yang cocok disebut menggerutu. "Apa kau tahu hari ini adikku pun lagi-lagi bertemu dengan pacarnya di luar rumah. Anak itu memang sulit dibilangi, aku capek."

"Tapi kau sudah tenang, kalau pacar adikmu bertanggung jawab?"

"Iya, sudah," jauh lebih tenang, dan Neji tidak kepikiran lagi masalah utama yang membuatnya lebih terguncang, di gudang yang kini lebih rapi, dan memastikan adiknya tidak menggunakan tempat itu untuk berbuat yang tidak-tidak. "Apa sebaiknya aku mengaku saja ya, kalau aku pernah melihat dia dan pacarnya bercinta di gudang? Tapi kalau adikku tahu, aku tidak yakin bisa hidup. Ah, tetapi aku tidak merasa terbebani lagi ketika hubungan adikku sudah diungkapkan."

"Biar saja. Tidak usah diungkit lagi, karena semuanya sudah beres."

Neji lebih memahami ucapan Tenten. Dia tidak lagi memikirkan soal mengungkapkan hubungan rahasia adiknya itu, lagi pula hubungan keduanya sudah tampak jelas. Dan sudah masa lalu yang tidak perlu diceritakan. Biarlah dia yang menyimpan aib adiknya sampai mati. Sialan, aku ini memang kakak yang paling baik di dunia, tidak ada seorang kakak sebaik aku, iya, 'kan?

Semalaman, Neji menghabiskan waktu bersama Tenten. Mereka menceritakan kisah-kisah remaja mereka yang selalu bersama-sama dengan seorang teman arkeolog narsis yang kini lebih peduli sebuah penemuan daripada pertemanan. Begitu sama-sama mabuk, Neji mengantarkan Tenten pulang ke rumah. Dia tidak mungkin membiarkan Tenten berjalan sendirian, rawan terjadi sesuatu apalagi pagi buta.

"Kau mau pulang?" tubuh Tenten merosot, tangannya masih meremas mantel Neji tepat mereka berhenti di depan pintu apartemen Tenten. "Tidak menginap saja?"

"Haruskah aku menginap?"

"Masuk saja."

Tenten menarik Neji masuk ke dalam rumah. Sama-sama mabuk, mereka tidak menyadari gebrakan nafsu menghasut keduanya untuk saling melucuti pakaian masing-masing. 

Kalau saja Neji tidak mabuk, dia tidak akan berani melakukannya. Hubungan mereka bahkan baru dibangun, apalagi Neji belum benar-benar mengungkapkan isi hatinya. 

Setiap kali dia ingin membicarakan perasaannya kepada sang ibu, tidak ada waktu, karena ibunya sedang sibuk mengurus adiknya yang terlalu banyak merampas seluruh perhatian orang-orang di rumah.

Keesokan paginya, Neji termenung di tempat tidur dengan selimuti menutupi tubuhnya. Apa yang terjadi? 

Pertanyaan itu menguasai kepalanya. Dia tidak mungkin melakukan seks dengan Tenten, 'kan? Kenapa dia tidak ingat? 

Bangun-bangun dengan bertelanjang dan tubuhnya hanya ditutupi oleh selimut, beruntung masih mengenakan celana dalam. Neji tak melihat Tenten di mana pun, tapi tak lama kemudian, dia mendengar pintu kamar mandi Tenten terbuka.

"Selamat pagi."

"Apa yang terjadi? Kita melakukannya?"

Tenten terdiam selagi mengamati tubuh Neji, sedangkan Neji tiba-tiba menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Tidak, tenang saja, tadi malam kita sama-sama mabuk dan muntah. Setelah itu aku tidak bisa tidur karena perutku tidak enak."

"Lalu, kau yang melepaskan pakaianku?"

"Tentu saja, memang siapa lagi? Adakah orang lain di rumahku?"

Neji merengut sambil kedua matanya tertutup rapat. Dia berusaha mengingat, hanya ada bayangan mereka berciuman begitu masuk ke rumah, dan saling melepaskan pakaian. Setelah itu, Neji tidak ingat apa-apa. "Kita berciuman?"

"Ehm, benar."

"Kenapa kau tampak biasa saja?"

"Bukankah kita resmi berpacaran?" muka Neji memerah. "Aih, apakah jadi masalah karena kita berciuman saat mabuk?" Tenten menghampiri, duduk di samping Neji yang masih bermuka merah dengan tampilan yang berantakan. "Mau aku beri ciuman selamat pagi?"

"Tidak, tidak, tidak!" Neji mundur, tetapi Tenten menangkapnya. "Tidak, Tenten, tidak!"

Sekalipun dia malu dan merasa tidak becus sebagai seorang laki-laki yang harusnya lebih menguasai seluruh permainan itu, dia masih saja tidak berani menerima kenyataan dari serangan Tenten yang membuatnya bingung. 

Tenten mencium bibirnya, kemudian mendorong Neji untuk tidur di atas kasur. Sampai akhirnya Tenten duduk di perut Neji.

"Haruskah kita melakukannya?" tanya Tenten, dia melepas baju tidurnya, lantas Neji memalingkan mukanya, melihat dada Tenten yang padat. Masalahnya di luar dugaan, bahwa Tenten meraih tangannya, dan memaksanya menyentuh dada tersebut. "Seperti ini!" bisik Tenten. 

Tuhan, katakan bahwa ini hanya mimpi liarku saja?

■□■□■□■□■

BERSAMBUNG

Marshmallow ✔Where stories live. Discover now