12.

2.5K 113 2
                                    

Revan menjadi pusat perhatian ketika ia menginjakkan kaki dirumahnya setelah pulang dari rumah sakit bersama Mbak Yuni. Rumah yang biasanya selalu sepi, kini tampak ramai. Sebab keluarga besar Errando sedang berkumpul diruang tengah untuk merayakan hari ulang tahun Ravin ke 17 tahun.

Kakek Haris, nenek Hera, Tante Rania dan semua saudara dekat hadir. Mereka tak perlu pusing menanyakan kabar kembaran Ravin karena mereka tak peduli.

Mereka membenci anak itu. Tentu karena alasan yang sama, kematian Diandra.

Keramaian yang tercipta harus hilang semenjak mereka menyadari kedatangan Revan di pintu utama. Masing dari tatapan mereka, menunjukan ketidaksukaan yang kentara. Kebencian itu, masih melekat di hati mereka.

"Jadi anak itu yang sudah membuat keponakanku seperti ini?" sindir Rania keras. "Seharusnya kak Ganta gak biarin mereka dekat. Liat kan keponakanku malah terluka."

"Anak itu memang menyusahkan dan tidak tahu malu. Liat saja dia berani kembali ke rumah ini setelah yang dia lakukan," ujar Ganta.

"Kenapa dia harus datang dihari bahagia ini? Aku jadi teringat menantuku yang pergi karenanya," timpal ayah Ganta yang bernama Haris, tampak menatap tajam.

Revan masih saja mematung dengan tatapan lurus ketika kalimat-kalimat menyakitkan itu bersahutan padanya. Tiba-tiba seorang wanita tua bangkit dari sana, dengan senyumnya berjalan ke arah Revan.

"Cucuku, bagaimana keadaanmu, Nak?" tanya Hera. Satu-satunya orang yang tak pernah berpihak pada keluarga Errando. Nenek Hera tidak pernah menyalahkan cucunya atas kematian Diandra. Dia tahu itu sudah jalan takdir.

"A-aku baik, Nek," jawab Revan terbata. Tanpa kata lagi ia langsung memeluk tubuh wanita tua itu. "Aku kangen sama Nenek. Revan kangen banget."

Hera tersenyum. "Maaf Nenek meninggalkanmu sendirian disini, cucuku."

Sejak hari kematian Ibunya, Revan menjadi tersangka utama yang tak seorang pun mau meraihnya meski dirinya berulang kali mengatakan maaf. Hanya Hera lah yang sadar dan mengerti. Hera pun merawat Revan kecil di rumah besar itu karena Ganta tak pernah mau menyentuhnya. Namun itu hanya bertahan sekitar tiga tahun, karena setelah itu Hera terpaksa pergi karena harus pindah ke Aceh untuk tugas yang penting.

Hera adalah seorang politikus.

Semua orang di ruang tengah menatap jengah pada Hera. Mereka tahu Hera akan menjadi pahlawan lagi untuk pembunuh itu.

Ravin sendiri hanya bisa diam menatap sendu kala adiknya dijadikan pusat makian. Selama bertahun-tahun, semuanya tak pernah berubah. Membayangkan bagaimana Revan memendam semuanya sendirian Ravin semakin marah.

Marah padanya dirinya sendiri karena telat menyadari dan selalu tak bisa berbuat apa-apa.

.....

Cucu laki-laki tampan yang Hera rindukan kini duduk disampingnya. Keduanya tengah berada di area taman yang sepi karena mereka tahu rumah bukan teman aman bagi Revan untuk saat ini.

"Selamat ulangtahun cucu nenek yang tampan. Semoga semua doamu dikabulkan Tuhan secepatnya," ucap Hera seraya membubuhkan ciuman manis dikening anak itu. Revan tersenyum lebar, sangat lebar sampai matanya menyipit.

"Amin. Terimakasih, Nek."

"Ini hadiah untukmu." Hera memberikan kunci mobil yang membuat Revan mengenyit kaget.

"Mobil?" Revan menatap Hera tak percaya. Hadiah ini terlalu besar menurutnya.

"Ravin juga punya mobil. Masa kamu nggak?"

"Revan masih anak SMA, Nek."

"Iya Nenek tahu. Tapi kamu butuh kan? Biar kalau pulang sekolah gak kehujanan kalau lagi musim hujan."

Lesion (END)Where stories live. Discover now