19.

2K 85 0
                                    

"Dan lo tau, gue selalu dapatin apa yang gue mau."

Setelah mendengar hal itu, untuk seperkian detik Revan hanya diam menatap saudaranya dengan tatapan yang sulit di artikan. Sesaat, Revan ingin tertawa karena Ravin terlihat begitu marah padanya.

"Kenapa harus Bunga?" tanyanya dengan nada sehalus mungkin.

Ravin terkekeh ringan. Mulai mengingat hari dimana Bunga menjenguk Papanya di rumah sakit. "Karena dia menarik. Bukan hanya dari wajahnya tapi karakternya. Gue tergila-gila sama dia. Dan lo gak usah sok jadi pahlawan dihadapannya. Lo itu gak berhak dapetin cinta dari cewek seperti Bunga. Dia itu terlalu baik buat lo yang kayak iblis," tandasnya sembari menunjuk dada Revan diujung katanya.

Revan tersenyum masam. Tatapannya tertuju ke arah langit yang gelap. "Selama gue hidup gue gak pernah minta apapun dari lo dan Papa. Bahkan disaat gue jatuh dititik terlemah sekalipun, gue gak pernah minta kalian ada buat gue. Gue selalu usahain semua sendiri." Ia kembali menatap Ravin di hadapannya. "Dan sekarang, lo mau ambil Bunga dari gue. Silahkan aja, kalau cewek itu mau," tandasnya seraya mengangkat bahu.

Ravin mendengus. "Tentu dia mau."

Revan mengangkat satu alisnya.

"Suruh dia menjauh dari lo. Mudah kan?" Ravin tersenyum begitu melihat saudaranya bergeming. "Dari dulu. Lo hidup untuk mengalah dari gue. Dan sekarang pun masih sama," ujarnya dengan raut angkuh.

"Mengalah bukan berarti kalah," balas Revan dengan seringai di wajahnya. "Gue gak peduli kalau lo mau rebut semua yang gue punya di dunia ini. Tapi jangan pernah rebut alasan gue untuk tetap hidup."

Revan balas menatap saudaranya dengan senyuman. Namun senyum yang terlihat mengerikan.

"Dan sayangnya, alasan hidup gue saat ini adalah, Bunga Anatya."

Setelah mengatakan hal itu Revan berbalik menuju mobilnya. Meninggalkan Ravin yang mulai menendang-nendang ban mobil melampiaskan kekesalannya.

"Gue gak akan tinggal diam! Bunga tetap akan jadi milik gue sialan!" Ravin menyorot tajam pada mobil Revan yang barusaja berlalu melewatinya. Sifat arogan yang tertanam dalam diri cowok itu telah kembali menguasai. Sejak kecil, Ravin terbiasa dengan Revan yang mengalah untuknya dalam hal apapun. Dan hari ini duplikatnya itu dengan terang-terangan menentangnya. Ravin menggeram kesal. Ia akan melakukan seribu cara untuk mendapat cintanya.

Dan Revan jelas lebih tahu tentang itu.
....

Tepatnya di rooftop sekolah, Revan menunggu kehadiran cewek yang memang memintanya untuk datang kesini. Entah kenapa, Revan yang dulu tidak suka diperintah oleh sembarang orang kini malah patuh-patuh saja pada gadis cerewet bernama Bunga.

Ia berdiri dibalik tembok pembatas yang tingginya hanya sebatas perut. Memandang ke area lapangan dengan mata yang menyipit karena terik mentari yang menyengat.

"Halo kak!"

Revan menoleh, mendapati gadis berwajah ceria yang tersenyum manis padanya. Ia kembali mengalihkan pandangannya ke depan.

"Gue gak suka liat lo senyum."

Bunga mencebik. Ikut menatap ke arah lapangan dimana para anak lelaki dari kelas 12 IPA tengah bermain basket. "Kenapa? Senyum kan ibadah."

"Kalau senyum ke cowok bukan ibadah. Tapi caper," balas Revan ketus.

Bunga menatap Revan dari samping. "Aku gak caper. Kakak aja yang kegeeran." Lalu memalingkan wajahnya lagi. Kesal.

Revan hanya mendengus. Tak lagi menjawab ucapan gadis disampingnya. Hingga akhirnya terjadi keheningan dalam beberapa saat. Mereka seolah tengah menikmati pertandingan yang terjadi dibawah. Padahal sebenarnya, mereka tengah sibuk dengan pikiran masing-masing.

Lesion (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang