14.

2.2K 86 0
                                    

Akhir pekan tiba. Hari ini Revan sudah berencana menemui Arram karena ia sudah sangat merindukan anak kecil itu setelah beberapa waktu lalu terhambat dan tak memiliki waktu yang pas.

Tangan Revan sibuk mengancingkan kemeja birunya di hadapan kaca. Bibirnya menyungging, mengingat perkataan Ravin semalam yang mengajaknya untuk kabur dari rumah ini.

Itu adalah ide konyol yang tidak akan pernah ia lakukan.

Setelah selesai, ia mendekati kasurnya lalu meraih paperbag disana.

Ia tersenyum kecil menatap isi Paperbag tersebut. Pasti Arram akan senang kalau dirinya datang membawakan tas sekolah baru. Pasalnya tas sekolah Arram sudah terlihat usang dan robek-robek.

Bu Laras bilang tas itu hanya dipungut dari barang-barang bekas yang ada dipinggir jalan.

Tak berlama-lama kaki jenjangnya segera melangkah keluar kamar, mengayun menuju arah tangga. Bertepatan dengan itu, ia melihat Ganta berjalan dari arah berlawanan.

Revan memelankan langkah, begitu pun Ganta.

Keduanya saling menatap, cukup lama.

Revan memutus pandangan lebih dulu lalu segera berjalan menuruni tangga namun,

"Tunggu."

Suara Ganta menginterupsi. Revan menoleh ketika Ganta sudah berdiri satu tangga di atasnya.

"Apa kau sudah meracuni pikiran Ravin agar menentangku hah? Sikap putraku sekarang berbeda setelah bergaul denganmu. Aku sudah peringatkan berulang kali bahwa kau tidak boleh mendekati Ravin." Ganta menatap tajam. Menekan setiap perkataannya seolah tak ingin dibantah.

"Aku sudah menjaga jarakku dengannya. Aku melakukan itu selama ini."

"Jangan menjawabku. Kau tidak berhak bersuara di rumah ini setelah apa yang kau perbuat. Bersyukurlah aku masih mau menampungmu tinggal dirumah ini," hardik Ganta geram. Menurutnya Revan terlalu melampaui batas.

"Aku bukan anak orang lain, Pa. Aku anak Papa juga. Aku punya hak tinggal disini." Revan menatap bola mata Papanya dengan heran. Kata 'menampung' telah menyentil hatinya. "Aku tanggungjawab Papa sama seperti Ravin. Waktu Ravin kedapatan memakai narkoba Papa bisa memaafkan dia lagi. Tapi kenapa aku tidak? Kenapa Papa gak pernah berhenti benci aku?"

Ganta mendengus. "Jelas karena kau seorang pembunuh. Kau merampas Diandra dari hidupku!"

Revan berdesis. Lagi-lagi hal itu yang harus diungkit. "Memangnya aku tega membunuh ibuku sendiri?!"

Plak.

Tamparan kuat Ganta membuat tubuh Revan terhuyung nyaris jatuh namun dua tangannya dengan refleks berpegangan pada besi tangga dan juga tangan Ganta namun,

Hal diluar keinginannya terjadi ketika tubuh Ganta lah yang berakhir jatuh menggelinding hingga ke ujung tangga bawah.

Mata Revan membelalak. "Papa!"

Bertepatan dengan itu seseorang muncul dari pintu utama dan langsung berlari ke arah Ganta.

"PAPA!!" Ravin berteriak. Menguncang tubuh Ganta yang tak sadarkan diri. Darah mengalir dari batang hidung pria itu membuat Ravin semakin kalang kabut. "Papa bangun, Papa!!"

Revan telah berdiri di ujung tangga. Masih mematung kaku menatap tubuh ayahnya yang tak sadarkan diri.

Ravin mendongak pada saudaranya. Menatap penuh amarah. "Sialan lo!! Kenapa lo dorong Papa dari tangga?!"

Revan membisu.

"Kalau lo marah sama Papa gak gini juga caranya b*ngsat!!" Ravin beralih menatap Papanya sebelum kembali menatap nyalang pada adiknya. "Kalau sampai terjadi sesuatu sama Papa gue gak akan pernah maafin elo!!"

Lesion (END)Where stories live. Discover now