Chapter 3 : Bintang Terindah.

80 11 0
                                    

Tiga minggu sebelum ujian tes tulis dimulai, Loid mulai menemani dan membantu Anya belajar. Hari ini adalah hari pertama Anya memulai belajarnya. Meskipun ia sempat beberapa kali menolak untuk dibelajar, Loid dapat membujuknya untuk belajar. "Anya gak bisa, Ayah... Anya gak ngerti, Anya gak suka belajar! Anya gak mau belajar!" rengeknya. Loid menghela nafasnya, ia mulai merasa kesal dengan rengekan Anya.

"Anya belum nyoba ya gimana bisa ngerti" ujar Loid sembari menyilangkan kedua tangannya. Dengan mata yang berkaca-kaca, Anya melihat ke arah tumpukan buku yang banyak. Melihatnya saja sudah membuat pusing. Kini Loid kembali memutar otaknya, apa yang harus ia lakukan sekarang? Berdebat seperti ini tidak akan menjadi penyelesaian. Sementara itu, Loid pun sudah terlanjur kesal pada Anya.

Loid pun mengacak-acak rambutnya, ia memilih masuk ke dalam kamarnya tanpa meninggalkan sepatah kata apapun pada Anya. Anya yang tentu saja sadar bahwa Ayahnya marah kepadanya merasa menyesal, ia menangis dan mengetuk-ngetuk pintu kamar Loid. Pria itu memilih untuk diam saja dan mengabaikan Anya untuk beberapa waktu.

"Ayah, maafin Anya... Ayah, buka pintunya!"

Anya masih terisak menangis sembari mengetuk-ngetuk pintu kamar Ayahnya tersebut, ia berusaha menghapus air matanya dengan kedua tangan kecilnya. Dilain sisi, Loid beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil sebuah buku. Ia membuka halaman tengah buku itu dan mendapati foto dirinya bersama seorang wanita yang bernama Irene.

"Rene... Kenapa dia mirip kamu? Mata yang indah, sifat yang sama... Kenapa dia mirip kamu, Rene?" gumam Loid. Sejak pertama kali ia bertemu dengan Anya, pikirannya langsung tertuju dengan Irene. Sempat terlintas dalam pikirannya, apakah Anya adalah anak kandung Irene? Apakah Anya memiliki keterkaitan dengan Irene?

Loid menggelengkan kepalanya dan menaruh kembali foto tersebut di halaman tengah buku itu. Dengan langkah yang mengendap-endap, ia berusaha mendengar suara dari luar kamarnya. Apakah Anya masih menunggunya membuka pintu atau justru Anya kembali ke kamarnya?

Setelah mengabaikan Anya selama tiga jam, Loid mengintip keadaan sekitarnya melewati lubang pintu kamarnya. Tak ada seorangpun diluar kamarnya, suasananya bahkan terasa sepi. Loid pun membuka pintu kamarnya dengan pelan, betapa terkejutnya ia ketika mendapati sebuah nampan yang berisikan roti dan teh di depan pintunya. Ia lalu mengambil secarik kertas dan membacanya.

───────────────────────────────

Ayah, Anya minta maaf.
Anya bikinin Ayah roti selai strawberry sama teh hangat, semoga Ayah suka.

───────────────────────────────

Loid lalu tersenyum setelah membaca kertas tersebut, ia lalu menaruh nampan tersebut di atas meja kerjanya. Ia lalu keluar dari kamarnya dan masuk ke dalam kamar Anya. Terlihat, Anya tertidur nyenyak dengan buku yang menumpuk di atas meja belajarnya. Ia kemudian menghampiri Anya dan mengusap rambutnya dengan lembut.

"Ayah..?"

"Terima kasih, Ayah makan rotinya."

Anya menggosok kedua matanya dan menguap. Loid pun duduk di samping kasur Anya dan menghela nafasnya. "Jadinya sekarang gimana? Anya mau belajar lagi demi Ayah?" tanyanya. Anya terdiam sesaat dan melihat ke arah tumpukkan buku-buku di meja belajarnya. Ia berkata, "Anya mau coba buat belajar bareng Ayah. Tapi kalo Anya gak nyaman, Anya pengen punya guru privat. Boleh?". Loid mengangguk, ia lalu mengajak Anya pergi ke ruang keluarga seraya membawa tumpukkan buku-buku mata pelajaran.

Tiga jam telah berlalu, mata Anya kini berkaca-kaca melihat latihan soal matematikanya. Batinnya terus bersuara, ia merasa latihan soal ini terasa sangat susah. Meskipun Loid mengajarkannya dengan sabar dan pelan, Anya masih saja tetap tidak mengerti akan penjelasan Ayah angkatnya tersebut. Dengan otak seadanya, ia lalu berusaha mengerjakan latihan soal tersebut.

Bunda. ¦¦ Anya Forger.Where stories live. Discover now