8. Upacara Penobatan

13 6 0
                                    


Esoknya, kami kembali menerobos gelapnya dan pekatnya bau tinja di terowongan menuju Malam Pertemuan kami. Kali ini Manikam yang ada di belakangku.

Tidak ada di antara kami yang mengeluarkan suara semenjak bertemu di pinggir sumur tadi, apalagi mengungkit pembicaraan kami malam sebelumnya. Kami hanya menelusuri tembok berlumut di sekeliling kami dalam diam, sedepa demi sedepa, menuju cahaya obor tunggal yang masih lumayan jauh di depan. Tapi di kepalaku, sebuah suara tak putusnya memarahi diriku sendiri habis-habisan. Suara yang persis sama dengan suara Jinar.

Dan kemudian, sedikit demi sedikit, sosok Jinar menjelma di antara kegelapan, di hadapanku. Seringai tengilnya menari-nari di pelupuk mataku, menggaungkan pesan terakhirnya yang ingin menitipkan Manikam padaku. Namun dengan cepat seringai itu berubah menjadi cibiran penuh ejekan, mencemoohku, mengataiku tak akan pernah pantas untuk perempuan seunggul Manikam.

Perasaanku berkecamuk. Mencoba mengabaikan bayangan tawa penuh ejekan mendiang sahabatku itu, aku pun akhirnya memilih menyibukkan pikiranku dengan menghitung langkah yang harus kutempuh hingga sampai ke tujuan kami. Tapi Manikam tiba-tiba bersuara, membuatku nyaris terlonjak dan membenturkan kepalaku.

"Lihat," bisiknya.

Obor penanda pintu menuju ruang Pertemuan seperti biasa masih berkobar kuat, namun aku terkesiap mendapati pintu yang biasanya hanya bisa kami masuki dengan mengucap kata sandi itu telah sedikit terbuka, seolah mengundang kami untuk masuk begitu saja.

Aku melempar pandang pada Manikam di sebelahku, menyangka dia akan sama bingungnya. Tapi dia hanya mempersilakanku untuk masuk lebih dahulu.

Aku mengenakan jubahku dan mendapati ruangan Pertemuan sudah terang. Obor-obor sudah menyala semua, menerangi para jemaat yang sudah berkumpul sebelum kami. Terdengar bisikan-bisikan gelisah di antara mereka, menandakan bahwa bukan aku saja yang merasa ada sesuatu yang janggal malam ini. Tanpa berkata apa-apa lagi, Manikam memisahkan diri dariku untuk bergabung dengan Arlang lainnya.

Adiluhung Naedang Hismanus melangkah naik ke mimbar, dan suara menggerisik di antara para jemaat berangsur mereda.

Selayaknya malam-malam sebelumnya, kami memulai Peribadatan dengan salam resmi dan Kidung Pujian. Namun aku tetap tidak bisa menyingkirkan perasaan mengganjal di hatiku. Seolah angin yang bertiup dari sela pintu ruangan di bawah tanah ini menghembuskan kabar buruk.

Setelah nada terakhir kami dendangkan, sang Adiluhung pun bersiap memberikan khotbahnya.

"Para Edang dan Arlang yang diberkati sang Devita," Naedang Hismanus memulai. Suaranya dalam dan jernih seperti biasa, namun terdengar agak lelah. "Malam ini adalah malam yang istimewa untuk kita semua. Malam ini, wahai Edang dan Arlang yang saya kasihi, adalah Malam yang sang Devita telah tentukan dari hari pertama saya diberikan kehormatan luar biasa sebagai seorang Naedang. Malam ini-lah waktunya saya undur diri dan mengangkat penerus saya."

Dengung gelisah khalayak jemaat mulai terdengar lagi. Naedang Hismanus mengangkat sebelah tangannya untuk menenangkan situasi. Firasat aneh tadi makin menggerogoti benakku.

"Tentu saja, saya tidak bisa sembarang menunjung Naedang yang baru. Nama ini saya dapat setelah persembahyangan yang khusyuk selama berpekan-pekan. Hingga akhirnya, Sang Devita Alaskafaça Yang Mulia sendiri yang mendatangi mimpi saya dan memberitahu saya siapa yang pantas menjadi pengganti saya. Sekarang, akan saya umumkan namanya."

Perputaran waktu seakan ikut berhenti bersama napas yang dihela oleh Naedang Hismanus, dan mulai berjalan lagi ketika napas itu berhembus untuk menyuarakan satu kalimat. Kalimat yang kemudian mengguncangkan setiap serat tubuhku.

"Pengganti saya, seorang Pendeta Agung yang telah Sang Devita pilihkan untuk kita semua... adalah Arlang Manikam."

Semua pasang mata, termasuk milikku, seketika menghujam Manikam. Aku menyangka dia akan menciut, atau setidaknya terlihat tidak nyaman dengan perhatian yang tiba-tiba tercurah padanya ini.

Di luar dugaanku, gadis itu malah berdiri tegak dengan wajah terbusung. Dengan mantap dia melangkah ke depan barisannya.

"Mohon Arlang Manikam bergabung dengan saya di mimbar depan," panggil Naedang Hismanus lagi. Perlahan tapi pasti, Manikam menurut, masih dengan kilau ketegaran di wajahnya yang membuatku semakin kagum padanya.

"Salut sembah, Adiluhung Naedang," katanya sembari menunduk.

"Arlang saya persilakan untuk menatap mata saya," ujar Naedang Hismanus, dan Manikam kembali patuh. "Untuk upacara penobatan ini, saya mohon bantuan sukarela dari salah satu Arlang yang ada di antara jemaat. Mohon maju ke sini."

Seorang perempuan paruh baya melangkah maju dan memperkenalkan diri sebagai Arlang Whigaya. Aku mengenalinya sebagai salah satu pedagang sirih pinang eceran pincang yang mondar-mandir di pasar, menyeret satu kakinya dengan kepayahan namun tanpa lelah sama sekali. Dia menjajakan dagangannya di dalam bakul anyaman, setengah wajahnya tertutup oleh lilitan kain putih. Jika bukan karena suaranya, dan cara berjalannya, aku mungkin tidak pernah menyadari bahwa mereka orang yang sama.

Aku kini ingat pernah melihatnya sebagai Arlang beberapa kali ketika Kuil Digdaya masih berdiri. Kala itu dia masih berjalan seperti biasa. Hatiku pedih, enggan membayangkan apa yang Kaum Durjana lakukan padanya hingga sebelah kakinya menjadi seperti sekarang.

Manikam mulai berlutut. Sesuai petunjuk Naedang Hismanus, Arlang Whigaya membuka jubah yang menutupi kepala Manikam dan menyentuh puncak kepala dan pipinya, karena seorang pendeta laki-laki jelas tidak boleh menyentuh pendeta perempuan kecuali dalam ikatan yang direstui Sang Devita. Dengan malu aku mengingatkan diriku sendiri tentang itu.

Naedang Hismanus mulai mengucapkan Ikrar Suci yang kemudian Manikam ikuti, kata per kata, dengan kesungguhan di setiap nadanya.

"Sebagai tanda bahwa Arlang telah resmi menjadi seorang Pendeta Agung, maka saya hibahkan Pusaka Alaskafaça yang harus Arlang jaga hingga napas terakhir meninggalkan tubuh Arlang. Tentu saya tidak perlu menjelaskan betapa berharganya pusaka ini. Pusaka ini akan memungkinkan Arlang untuk sewaktu-waktu didatangi oleh Sang Devita Alaskafaça sendiri lewat mimpi Arlang. Dengan bersumpah atas nama Devita Alaskafaça Sang Maha Kasih, sanggupkah Arlang mengemban kehormatan menjadi wakil-Nya di bumi ini?"

Aku mendengar kata-kata Manikam bergaung dengan mantapnya.

"Dengan bersumpah atas nama Devita Alaskafaça Sang Maha Kasih, saya sanggup, Naedang."

"Maka dengan begitu saya berikan pusaka dan tugas mulia ini kepada Arlang. Segala puja dan puji bagi Devita Alaskafaça, dan segala karunia semesta bagi Naedang Manikam, Naedang kita yang baru."

"Segala puja dan puji bagi Devita Alaskafaça, dan segala karunia semesta bagi Naedang Manikam," dengung para jemaat, diwarnai nada keraguan dan ketidakpercayaan di sana sini.

Manikam menggenggamkan tangannya di sekitar gagang pusaka itu. Bahkan dari tempatku berada jauh di sini, aku bisa melihat ukiran elok yang menghiasi sekujur permukaan benda keramat itu, bersulur-sulur selayaknya akar dan ranting yang saling menjalin, sewarna langit dan dedaunan. Ada pula rentetan tahta mutiara sewarna gading di tengahnya. Pangkalnya menyerupai kepala sebuah hewan magis yang hanya pernah kudengar lewat kisah di dalam lembaran-lembaran kitab suci. Itu kepala Kara Vhastu, kuda api tunggangan Devita Alaskafaça, yang membantunya menyebarkan ajaran kedamaian dan welas asih ke seluruh penjuru dunia.

Manikam mulai mendekati mimbar untuk menyapa para jemaatnya, untuk pertama kalinya, sebagai seorang Naedang. Sesuatu yang berat dan hangat melesak naik dari dadaku, mengaburkan pandanganku. Ingin sekali aku berlari ke depan, ke sisinya, dan menggenggam tangannya.

Dan kemudian, di tengah keheningan, sebuah suara yang sudah kuhapal benar, yang selama ini bercokol sudut tergelap mimpi burukku untuk sewaktu-waktu bangkit dan menghantuiku, terdengar membahana seolah menelan dunia. Suara yang hanya satu makhluk di seluruh jagat raya ini yang punya, yang sanggup membuatku mendadak lumpuh.

Suara aumanHeraringa.

Semesta AlaskafacaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang