20. Di Tepi Sungai

15 4 0
                                    


Merpati, dia akan menemukanmu.

Suara itu datang lagi, bersamaan dengan rasa menyengat yang berasal dari tengkukku, tepat di tempat rajah Sang Devita pernah ditorehkan di sana berwarsa-warsa yang lalu. Naluriku menyuruhku untuk berjengit, tapi kutahan. Persis seperti waktu pertama tanda itu dibubuhkan ke kulitku menggunakan jarum membara, di hari aku beralih dari seorang bocah menjadi seorang laki-laki.

Aku menggosok kulit tengkukku dengan jari-jariku yang beku. Permukaannya masih sedikit terasa kasar seperti kulit pohon sejak rajah itu dilepuhkan oleh besi panas Kaum Durjana. Di kejauhan, seekor burung malam berkoak, disusul dengan lolongan sesosok binatang liar entah-apa.

Aku menghela napas dalam.

Mimpi-mimpi buruk itu tidak pernah meninggalkanku sendiri.

Seperti tidak cukup benakku mengulang-ulang kejadian ketika sahabatku dan guruku dibantai di depan mataku, kini mimpi-mimpiku ikut dipenuhi oleh adegan tentang Manikam dan si harimau bajingan itu, Heraringa. Aku memang tidak menyaksikan sendiri apa yang terjadi padanya, namun nampaknya benakku memutuskan untuk merangkaikan kejadian itu sendiri untukku.

Setiap malam, setiap aku mulai menutup mata, saat itulah aku melihat Manikam, dengan wajahnya yang penuh kebencian yang mendalam, dengan sorot matanya yang memancarkan tekad bulat, menghadapi sosok Heraringa yang menjulang di hadapannya. Di saat itulah, Heraringa menerkam gadis itu, menyabet tubuhnya hingga robek menjadi beberapa bagian, dan mengunyah serpihan-serpihan dagingnya di antara sela-sela giginya yang masing-masing setajam parang. Dan di tengah-tengah kesibukannya menyantap Manikam, Heraringa akan memutarkan kepalanya perlahan, seperti tengah mengendusku. Dia akan menemukanku yang telah menyaksikannya dalam mimpiku, memandang tepat ke arahku, dan menyeringai dengan moncong yang penuh berkubang darah, seolah-olah memberitahuku, Tunggu giliranmu sebentar lagi.

Bahkan setelah sepekan aku dalam pelarian (jika aku tidak salah hitung hari), aku masih saja merasa sewaktu-waktu akan disergap oleh Heraringa dari belakangku jika aku cukup lengah.

Lagi-lagi, tubuhku menggigil hingga gigiku gemeletuk. Api unggunku memang sengaja telah aku padamkan dengan menaburkan tanah di atasnya sebelum aku tidur tadi, agar tidak menarik perhatian satwa liar yang mungkin akan memangsaku. Namun akibatnya, dinginnya hutan di malam buta jadi tak bisa kuusir.

Sekelebat aku masih menangkap cahaya yang mirip kunang-kunang dari ekor mataku, meyakinkanku bahwa Halimun ada tidak jauh dari tempatku berada sekarang. Ingin rasanya aku memintanya untuk mendekat agar hawa panas yang menguar dari tubuh hewan itu bisa aku rasakan juga. Namun sejak Manikam memerintahkan hewan itu untuk membawaku melarikan diri kala itu, Halimun jadi seperti tidak mau menurut padaku, seberapa keras pun usahaku untuk membujuknya. Padahal dahulu, saat aku masih jadi cantrik Kuil Digdaya, Halimun termasuk salah satu kuda api yang paling dekat denganku karena aku sering mendapatkan tugas untuk memandikannya.

Aku menebak, hewan ini tengah berkabung, sama denganku. Dia telah kehilangan dua tuannya, Naedang Hismanus dan Manikam, dalam satu malam sekaligus. Aku paham perasaannya, meskipun aku tidak bisa berkomunikasi dengannya.

Kantukku sudah hilang sepenuhnya. Aku larut dalam lamunan, menekuri titik api ekor Halimun yang mengibas pelan, ketika berangsur-angsur aku teringat oleh suara bisikan yang tadi membangunkanku.

Merpati, dia akan menemukanmu.

Dan tepat di saat itu, pusaka Alaskafaca di balik jubah Manikam yang kujadikan selimut untuk tidur mulai berpendar, memancarkan cahaya hijau kebiruan.

Aku memandangnya dengan takjub. Sampai sekarang, aku masih belum berani menyentuh pusaka itu dengan tangan telanjang. Selalu aku balut sebelumnya dengan kain jubah Manikam. Aku rasa aku bukan orang yang pantas untuk memegang pusaka keramat itu--siapa lah aku, hanya seorang Edang muda rendahan yang bepura-pura ingkar pada agamanya demi menyelamatkan nyawanya.

Tapi kini, entah mengapa, ada dorongan yang sangat kuat untukku untuk menyentuh pusaka itu. Jari-jariku mulai kuulurkan di atasnya. Pendar pusaka itu seperti berdenyut mengundangku untuk terus mendekat.

Sebelum aku berubah pikiran, kugenggamkan tanganku pada pusaka itu.

Seketika dunia meledak dalam cahaya.

Bumi bersimbah merah. Darah turun deras dari langit. Jeritan seorang perempuan yang disusul dengan tangisan melengking seorang bayi yang baru lahir.

Burung-burung yang berkicau di atas kepala seorang bocah kecil yang tergelak seiring iramanya. Dia tengah duduk di atas sebuah gerobak yang ditarik oleh seorang lelaki renta.

Sebuah gubuk sederhana dengan sesosok patung Devita Alaskafaca di salah satu sudutnya. Kedua mata patung itu menyala, hijau dan biru.

Api membumbung tinggi ke angkasa, menelan gubuk kecil tadi.

Seorang gadis melangkah pergi.

Dan sebuah nama. Yang berulang, yang bergema.

Adha.

Adha.

Adha.

Dia akan menemukanmu.

Aku merasakan diriku menarik tanganku dari pusaka itu, dan seketika dunia menjadi gelap lagi. Aku kembali berada di tengah-tengah kegelapan hutan yang pekat, dengan bunyi gemerisik dedaunan dan semak-semak dan suara sayup berbagai macam binatang di kejauhan.

Pusaka itu berhenti berpendar.

Jantungku berdegup kencang. Degupnya sampai terasa hingga ke ubun-ubunku.

Apa itu tadi?

Mimpi kah? Tapi aku yang rajin bermimpi buruk ini tahu betul rasanya sebuah mimpi tidak seperti tadi. Halusinasi? Mungkin, tapi selama ini halusinasiku pasti berisi pengalaman-pengalaman paling tidak mengenakkan dalam hidupku. Jika benar itu halusinasi, mengapa aku tidak mengenal orang-orang yang ada di dalamnya? Hidup mereka begitu nyata... tapi di saat yang bersamaan, begitu asing denganku.

Kepalaku kian berdenyut seperti mau pecah memikirkannya. Aku memutuskan untuk menyingkirkan bayangan-bayangan tadi jauh ke sudut kepalaku. Satu hal yang pasti, aku tidak akan pernah lagi berani menyentuhkan kulitku ke pusaka keramat itu.

Di kejauhan, setitik cahaya bintang pagi mulai terbit di cakrawala, pertanda fajar akan segera tiba. Aku mulai membereskan jubahku untuk bersiap pergi dari sana. Aku tidak pernah berlama-lama di satu tempat, karena khawatir orang-orang suruhan Kaum Durjana akan menemukanku. Belum lagi Heraringa...

Kutemukan Halimun tengah mendengkur halus di antara dua pohon yang berjarak beberapa belas langkah dariku. Aku mengelusnya pelan. Selembut mungkin, aku coba berbisik padanya bahwa kita harus pergi. Halimun menatapku dengan tatapan yang sepertinya kesal. Mungkin dia masih mengantuk. Tapi tetap saja dia menundukkan kepalanya, mengizinkanku untuk naik ke punggungnya.

Langit sudah mulai terang ketika aku dan Halimun mendengar suara derasnya air yang mengalir. Aku menuntunnya ke sebuah tepi sungai yang jernih namun beraliran cukup kencang. Aku turun dari punggungnya, dan dia mulai minum dengan rakus. Aku pun ikut meneguk air sungai itu dari telapak tanganku, membiarkan tetesnya berlama-lama membasahi kerongkonganku. Rasanya segar dan sedikit manis.

Tiba-tiba, tanpa peringatan, terdengar suara berdebam yang telah sangat kuhapal. Suara itu... aku tidak mungkin keliru, karena bulu kudukku langsung serta merta berdiri. Aku telah mendengarnya ribuan kali, sejak Malam Merah, selama aku menjadi kacung di istana, dan terakhir kali ketika Malam Peribadatan kami diserbu tiba-tiba.

Suara sepatu beralaskan kawat ciri khas para Kapi penjaga istana.

"Di sana kau rupanya," ujar seorang laki-laki. "Sudah aku cari kau ke mana-mana."

Semesta AlaskafacaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang