12. Hujan Darah

12 8 0
                                    


Dengan menggunakan beliungnya yang setia, Beriang berhasil mencungkil sebongkah gamping halus yang memiliki pola samar yang berjaring-jaring dan saling berkelindan. Beriang ingat pernah melihat batu yang bercorak seperti ini suatu hari di pasar kota. Batu itu batu pualam, dan hanya bisa sampai di negeri ini berkat pertukaran barang dagangan dengan negeri sebelah. Makanya batu itu dihargai dengan sangat mahal. Beriang pernah mendengar bahwa Kuil Digdaya di Gankasha Prana, kota suci di seberang lautan sana, punya patung Sang Devita setinggi empat kali orang dewasa yang sepenuhnya terbuat dari batu pualam. Impiannya adalah mengumpulkan cukup banyak uang, agar suatu saat nanti dia bisa membawa Kamali dan anak mereka untuk berziarah ke Gankasha Prana, dan melihat patung itu dengan mata kepala sendiri.

Beriang pun memasukkan batu itu ke keranjang di punggungnya dengan hati riang. Tentu batu yang mirip pualam tadi itu bisa terjual dengan harga lebih tinggi setelah diukir menjadi patung yang indah.

Pandangannya yang makin terselubung membuat Beriang mendongak menatap langit. Aneh, langit masih saja gelap kelabu, ibarat diselimuti asap. Seperti tidak ada setitik pun cahaya matahari yang sanggup menembus pekatnya awan. Sementara itu, angin berbau aneh itu pun terus berhembus.

Berusaha menyingkirkan firasat aneh yang terus menghantuinya, Beriang mulai menyanyikan sebuah lagu. Irama yang dia pelajari sejak masa kanak-kanaknya, tanpa dia benar-benar tahu artinya.

Jagad mendekat penghujung kala

Lesat sengangkar merobek angkasa

Semesta mandi meruah berma

Burung tanah lindungi yuwana

Percik api pancar cahaya

Dampingi dara pergi kembara

Burung kecil ada untuk tiada

Beriang lanjut bersiul sambil berjalan ke lokasi lain yang agak terlindung dari langit yang mulai bergemuruh. Dia memutuskan untuk beristirahat sebentar sambil membuka bekal buatan Kamali. Sagu, kedelai kukus, parutan kelapa kering, dan tidak seperti biasanya, ada ubi jalar rebus. Makanan kesukaannya.

Ubi memang makanan yang tergolong mewah untuk Beriang. Biasanya, Beriang hanya akan mendapatkan beberapa koin tembaga dari hasil penjualan patung-patung buatannya ke kuil di desa sebelah, yang kemudian akan dia tukarkan dengan bahan makanan untuk dia dan istrinya selama beberapa hari ke depan. Namun sepekan yang lalu, ada salah satu pendeta kuil yang bermurah hati memberikan satu karung penuh ubi jalar untuk Beriang. Dia bilang ada jemaat yang menyumbangkan ubi dalam jumlah terlalu banyak, dan kuil kecil tersebut kewalahan menampungnya.

Kamali gembira sekali ketika suaminya pulang membawa karung tersebut. Dia langsung ambil dan simpan di dapur, katanya hanya akan ia masak "untuk saat-saat yang istimewa".

Mungkin Kamali menganggap hari ini istimewa, pikir Beriang sambil melahap makan siangnya.

Langit tiba-tiba menggelegar kencang, membuat Beriang terlonjak. Dia beringsut mengencangkan caping dan kain penutup tubuhnya, yang dia anyam sendiri dari jalinan akar tumbuhan. Beriang memutuskan untuk melanjutkan makan sambil bersiap menunggu hujan turun. Perutnya masih agak lapar.

Di atas bagian dalam ubi yang baru termakan setengahnya, ada setitik noda merah. Beriang menatap titik itu sambil mengerutkan kening. Seingatnya, ubi mana pun tidak punya bercak merah seperti itu. Lagi pula, sepertinya tadi titik ini tidak ada...

Setetes air jatuh dari caping anyamannya dan mengalir turun ke pangkuannya. Menyadari hujan sudah mulai turun, Beriang bersiap merapikan bekalnya. Sampai dia menyadari air hujan tadi warnanya merah.

Sedetik kemudian, kabut merah mengepungnya dari segala arah dan memenuhi seluruh pandangannya dalam bentuk hujan darah.

-

Kamali mulai merasakan nyeri di bagian bawah perutnya, mulanya samar, kemudian semakin kuat. Kamari mengelus perutnya sembari mengatur nafas. Inikah saatnya? pikir Kamali. Kamali bangkit dengan agak susah payah dari bangkunya untuk beranjak masuk ke rumah, ketika ia melihat makhluk itu bergerak meliuk.

Ukuran ular itu setebal betis Kamali, dan panjangnya bisa jadi lebih dari tiga depa. Ujung tubuhnya yang melintang tidak terlihat karena tersembunyi di semak-semak. Mata dan bagian bawah tubuh makhluk itu merah menyala, sementara bagian atasnya hitam mengilat seperti batu kali yang licin oleh terpaan air.

Panik langsung mencengkram Kamali di sela-sela rasa nyerinya. Dia menahan erangan yang mengancam keluar dari mulutnya sambil terseok mundur, sepelan mungkin. Selama puluhan tahun dia dan suaminya tinggal di gubuk itu, dia tidak pernah didatangi binatang buas. Paling hanya sesekali ada musang liar atau anjing hutan mencoba masuk ke dapur, tapi itu pun bisa dihitung dengan jari. Apalagi ular semengerikan ini. Kamali tahu jika ia mencoba lari, dia akan kalah gesit dari makhluk itu.

Ular itu mengangkat kepalanya sampai sejajar dengan perut Kamali, seperti sedang menatap janin yang dikandungnya dengan penuh rasa lapar. Lidahnya yang hitam keluar masuk mencicipi udara di sekitarnya, dan mungkin juga sambil mencicipi ketakutan Kamali. Matanya yang serupa manik-manik merah berkilau layaknya titik api di tengah malam, seolah memerintahkan Kamali untuk menyerah saja dan merelakan diri untuk dia santap.

Kamali menyadari bahwa dia masih memegang alat pahat di tangannya. Ia genggam cukil itu seerat mungkin, seerat mulutnya yang terkatup menahan sakit di perutnya. Kemudian, Kamali bisa merasakan sesuatu yang basah mengalir turun ke pahanya dan jatuh ke tanah. Ketubannya telah pecah.

Ular itu kembali berdesis dan merayap sedikit demi sedikit menuju Kamali, tubuhnya kini tegak sepantaran dada Kamali. Kamali menggeserkan kakinya mundur seiring gerakan sang hewan. Ular itu terlihat tenang namun mengancam. Kamali diam-diam bertanya kapan permainan saling tatap ini akan berakhir, ketika ular itu mendadak membuka rahangnya lebar-lebar, seolah menyombongkan kehebatannya sekaligus mencemooh kelemahan manusia ringkih di hadapannya itu.

Langit mulai bergemuruh kencang seiring degup jantung Kamali. Perempuan itu bergeser sedikit demi sedikit, mengacungkan cukil tajam di tangannya yang gemetaran. Ular itu tetap bergeming dengan matanya yang menyala, menanti dengan sabar.

Petir di langit pecah menggelegar, dan ular itu melesat maju lebih cepat dari kilat yang menyilaukan bumi. Kamali berhasil menghindar di sepersekian detik terakhir, namun dia masih kurang cepat. Ular itu berhasil mematuk pahanya. Makhluk itu belum sempat memompakan racunnya, namun Kamali bisa merasakan darah mulai mengalir dari luka yang ditorehkan taring ular itu. Erangan kesakitan berhasil lolos dari rahang Kamali yang terkatup erat menahan nyeri. Sakit apa pun sudah tidak penting, yang penting janinnya selamat.

Kamali bisa merasakan sesuatu yang panas dan kental turun di antara pahanya yang bukan berasal dari luka yang ditorehkan sang ular. Tetesan merah lain mulai menerpa dahinya.

Langit mengeluarkan darah.

Kamali memekik dan terjerembab ke belakang, terpeleset tanah yang licin karena kentalnya hujan. Ular itu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan kembali melancarkan serangannya. Kamali dengan sigap berguling ke kiri. Ular itu meliukkan kepalanya dan menyasar leher Kamali, rahangnya menganga, tapi Kamali sudah tahu apa yang harus dia lakukan. Secepat yang dia bisa, Kamali menghujamkan cukil di tangannya tepat ke rahang bawah sang ular.

Ular itu mengangkat kepalanya, mendesis kesakitan. Mungkin jika dia bisa mengeluarkan suara, Kamali bisa mendengar lolongan kemurkaannya. Ular itu mulai menggeliat mundur dengan cukil masih tertancap di mulutnya. Dengan nyeri di perutnya yang semakin berlipat ganda, Kamali bersusah payah menyeret tubuhnya agar bisa menghindar sejauh mungkin dari makhluk itu.

Namun ular itu sepertinya sudah terlalu kesakitan untuk menyerang lagi. Dia beringsut mundur dan membalikkan badannya, perlahan kembali menghilang di kegelapan hutan. Hujan merah itu meninggalkan jejak mengilat di kulitnya yang hitam kelam. Kamali memperhatikannya pergi dengan terengah-engah dengan pandangannya yang kian kabur.

Akhirnya sakit di perut Kamali sudah tidak tertahankan lagi. Dengan sedikit sisa tenaga yang ia miliki, ia mengejan sekuat yang ia bisa, hingga napas terakhirnya.

Di belakang sebuah gubuk sederhana di kaki bukit yang sepi itu, di atas kubangan merah yang berbaur dengan cairan berwarna sama dengan yang tumpah dari langit, jerit tangis seorang bayi membelah awan, sebuah kehidupan baru menggantikan kehidupan lain yang telah padam.

Semesta AlaskafacaWhere stories live. Discover now