32. Sekuntum Bunga dan Sebuah Lubang

14 1 0
                                    


Merpati melangkah maju untuk memeriksa bunga itu lebih dekat, meninggalkanku yang termangu di tempat. Gelang di pergelanganku mendadak terasa hangat, menyengat kulitku.

Ayah tidak pernah mengatakan apa-apa tentang asal muasal gelang ini, kecuali bahwa ini dahulu diberikan olehnya kepada mendiang Ibu. Pulasan licin benda ini memang memesonaku. Gelang ini nampak terbuat dari logam, padahal bahan bakunya adalah batu andesit, menandakan betapa mendiang Ayah memang pengrajin batu yang luar biasa mahir. Gelang ini membuatku merasa dekat dengannya lagi, dan dengan sosok Ibu yang tidak bisa kubayangkan seperti apa wujudnya.

Namun aku tidak pernah menyangka bagaimana setiap rincian gelang ini benar-benar tiruan yang bisa dikatakan sempurna, tanpa cela, dari pola tanaman sulur yang meliputi pohon raksasa seukuran bukit kecil ini.

Apakah Ayah pernah ke sini?

Sulit kupercaya jika seorang Ayah, atau Ibu, yang kutahu menghabiskan nyaris seumur hidup mereka di kaki Bukit Beliung, bisa tiba-tiba ada di tempat ini. Sebuah tempat asing yang hanya bisa dicapai lewat perjalanan yang menghabiskan entah berapa purnama.

Namun, tidak mungkin ini hanya kebetulan. Aku mulai menyisiri setiap kenangan tentang Ayah di kepalaku, mencoba mengingat apakah Ayah pernah menyinggung tempat ini. Atau setidaknya, bagaimana dia bisa mendapat gagasan akan bentuk gelang yang dia persembahkan untuk Ibu sebelum mereka menikah ini.

Nihil.

Tertatih-tatih, aku mencoba menyusul Merpati, mendekati bunga itu. Semerbak wanginya sungguh luar biasa. Nyaris memabukkanku. Aroma ini belum pernah kuhidu sebelumnya, seumur hidupku.

"Aneh," gumam Merpati di sebelahku. "Aku tidak ingat pernah ada bunga di batang Pohon Dwisangga. Apalagi sebesar ini."

Kuurungkan niatku untuk memberitahunya bahwa penampakan bunga ini bak pinang dibelah dua dengan gelang yang sedang kukenakan. Ditelan rasa penasaran, kuulurkan tanganku perlahan untuk menyentuh bunga itu.

Merpati mencoba mencegahku. "Lebih baik kau jangan—"

Terlambat. Jemariku sudah terlanjur mengelus lembut kelopaknya yang lebih halus dari beledru.

Dan seketika, kesadaranku sirna.

*

Jagad mendekat penghujung kala

Lesat sengangkar merobek angkasa

Syair itu. Nyanyian itu. Kukenal baik sejak aku kanak-kanak.

Tapi mengapa bergema sekarang?

Lalu, erang kesakitan.

Tetesan merah yang membuat tanah seolah bermandi genangan lendir.

Semesta mandi meruah berma.

Napas yang terhela sekuat tenaga, demi pertahanan nyawa yang nyaris tiada.

Sesosok makhluk hitam serupa ular, melata pergi dengan tergesa-gesa, setengah menggelepar. Kulitnya yang hitam legam bersimbah cairan merah, dengan ukuran nyaris setinggi dan setebal batang pohon di belakangnya. Sesuatu mencuat dari kepalanya, mengalirkan darah segar. Tidak lama, dia pun menghilang di balik rapatnya pepohonan dan kentalnya cairan hujan.

Burung tanah lindungi yuwana.

Seorang perempuan lanjut usia tengah merintih, telentang bersimbah darah. Keringat yang melekatkan rambut panjang kelabu di pelipis dan tengkuknya. Lelah dan kesakitan nyata terpancar di wajahnya, bagai sembilu yang mengiris pembuluh nadi.

Pandangan perempuan itu sempat jatuh padaku, yang kecil dan belum berdaya, baru saja mengecap udara dunia, masih berada di selangkangannya.

Aku sempat menatap langit yang masih saja deras mencurahkan tangis darahnya, dan menangkap sekelebatan bayang-bayang burung raksasa yang mengitari awan gelap di atasku.

Semesta AlaskafacaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt