Atapu 20. Mati atau beli bebek?

1K 97 9
                                    

"Emang tadi lewat sini?" tanya Lentara.

Kini Lentara dan Atapu tengah berjalan pulang dengan keadaan Atapu yang penuh lumpur meskipun sudah mulai mengering dan celana Lentara yang basah akibat mencuci kaki di sungai tadi. Tentu itu semua ajaran dari Ibu-Ibu.

Atapu yang tengah menggendong Jiro itu memutar bola mata malas. "Enggak. Tadi lewat jembatan shiratal mustaqim," jawabnya. Sepertinya Atapu akan mulai mengenali Lentara lebih jauh. Salah satunya Lentara mudah lupa dengan arah jalan yang baru pertama kali ia tempuh.

"Tobat, Ta, bentar lagi kiamat." Lentara menepuk-nepuk bahu Atapu dengan kerasnya.

"Bahu gue nggak gue pondasi. Jadi kalau lo gebuk sekuat itu bisa aja runtuh. Tapi kalau perkara lo nyender di bahu gue, insyaallah kuat, Mbak." Atapu berusaha mengimbangi sikap Lentara yang sering membuatnya tersenyum sendiri. Katakan saja, feedback.

"Alhamdulillah, gue masih bisa nahan beban kepala gue. Jadi lo nggak perlu repot-repot, Mas," balas Lentara.

Ucapan gadis itu sungguh membuat Atapu ingin merontokkan daun-daun pepohonan. Bukan jawaban itu yang Atapu harapkan.

"Tahu nggak, Tar?" tanya Atapu menoleh sekilas ke arah Lentara.

"Basa-basi orang Indonesia. Belum dikasih tahu, tapi lontarin pertanyaan tahu enggak?" Gadis itu berbicara dengan ekspresi biasanya orang nyinyir.

"Lo nyebelin, bego. Gue mau bales, lo," kesal Atapu.

"Bales apa?"

"Anu itu... Salting," ucap Atapu merasa ambigu.

"AHAHAHA, WAHYU!" Lagi-lagi gadis itu dibuat terbahak-bahak oleh Atapu.

"Gue Atapu, bukan Wahyu."

"Iya, Mas Ata, iya." Ucapan barusan mampu membuat Atapu menggaruk leher yang tidak gatal serta bibir yang berkedut menahan senyum. Kenapa cowok itu sekarang mudah sekali untung salah tingkah? Atapu sempat berfikir Lentara menggunakan pelet. Tapi setelah dipikir kembali, di kompleknya sana, hanya ada dukun beranak.

"Ata," panggil Lentara.

"Apa?" jawab Atapu tanpa menoleh.

"I love you more," bisik Lentara setelah berhasil menyetarakan tingginya dengan Atapu.

"MONYET KAU!" pekik Atapu pada seorang gadis yang kini sudah lari mendahuluinya dengan tawa yang membuatnya mirip orang gila berlarian. Kali ini Atapu tidak akan salah tingkah, melainkan geli.

Tidak berselang lama, Lentara menghentikan langkahnya, pun tawanya. Lentara memutar arah jalannya kemudian kembali menghampiri Atapu.

"Kenapa balik, hah!?" tanya Atapu dengan nada yang masih terdengar kesal.

"Jangan marah, gue lupa jalan pulang. Jalannya banyak belokan," balas Lentara dengan cengiran kuda. Kampung itu memang memiliki banyak belokan yang entah saling menyambung dengan lorong satu ke lorong lain atau tidak.

Plak!

Bukan Atapu yang memukul kepala Lentara, melainkan Jiro yang entah kenapa tiba-tiba memukul Lentara. Meskpun tangannya masih terbilang mungil diumurnya yang masih tiga tahun, tapi tetap saja sakit karena diselingi jambakan oleh bocah itu.

"Lo mau gue sate?" tanya Lentara dengan tatapan tak mengenakan. Rasa tidak sukanya pada anak kecil semakin menjadi. Kobaran jiwa keinginan menyate anak kecil mulai membesar. Apalagi rambut yang susah payah ia tata malah asal dijambak oleh anak kecil tanpa tahu apa masalahnya.

"Edan, lo! Jiro pasti cuma bela gue, iya nggak, Ro?" tanya Atapu.

"Iya, Mamas," jawab Jiro.

"Kalian memiliki jiwa kembar. Kembar nyebelin," lontar Lentara yang langsung mencubit kecil tangan Jiro.

Atapu Senja (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang