Bab 21. Gaji Pertama

180 35 8
                                    

Tidak banyak berubah dari hari-hari Karita sejak hari pertemuan dengan Rais waktu itu. Dia masih dianiaya oleh Ibram yang semakin lama semakin sensitif. Mungkin bawaan istrinya yang hamil atau memang dulu ibunya ngidam kulit durian saat mengandung Ibram jadi begitu lahir, seniornya itu hawanya mau nusuk orang lain saja.

Karita masih sering menitipkan bekal di Ibu kantin, tetapi Rais tidak mengambilnya. Mungkin pemuda itu memang serius dengan perkataannya hari itu. Statement yang mengatakan kalau Rais bukan gembel jadi tidak perlu subsidi bekal dari bawahan. Ya, bukan masalah sih. Katanya kan manusia hanya berusaha biar Tuhan yang menentukan.

Tidak banyak perubahan juga di rumah selain saat Karita akhirnya menerima gaji pertama. Ibunya mungkin sudah menyiapkan berbagai macam pilihan kalimat menohok dan menusuk untuk membandingkannya dengan kakak lelakinya yang bekerja sebagai pegawai negeri. Namun, ketika melihat uang yang diberikan Karita, ibunya urung bicara.

Ya, Karita bisa paham kalau ibunya kebingungan saat ini. Bisa jadi kata-kata menyebalkan yang tertenun di dalam pikirannya langsung buyar seketika. Mungkin ibunya berpikir kalau gajinya sebagai karyawan baru yang bahkan melewati masa probation pasti tidak akan jauh-jauh dari UMR. Karita juga mengerti perkiraan itu karena normalnya begitu dan dia sendiri juga mengira akan dibayar seukuran UMR, tetapi ternyata perkiraannya melenceng jauh. Gajinya bahkan hampir menembus dua digit.

Mengagumkan, bukan?

Sangat. Pencium ketiak ternyata dibayar sebesar ini. Awalnya dia tidak percaya. Dia sendiri sampai menghitung deretan angka di rekening miliknya, takutnya nol yang ada itu dibatasi koma saja. Akan tetapi, ternyata gajinya memang besar kok. Mungkin ini upahnya mengecup ketiak orang hampir setiap hari.

"Kamu sudah gajian?" tanya ibunya akhirnya setelah cukup lama terdiam. Matanya kini menatap lembaran uang berwarna merah di meja.

"Iya, Bu. Ini gaji pertama aku, jadi aku mau kasih ke Ibu dan Ayah. Buat uang belanja juga gak apa-apa," katanya.

Untuk pertama kalinya Karita bisa melihat ekspresi khawatir di wajah ibunya. Jadi, Ibu memikirkan uang transportasi dan uang makan selama bekerja hingga wajahnya benar-benar khawatir sampai seperti itu?

Karita nyaris terharu karena merasa diperhatikan. Ini pertama kalinya dia diperhatikan tanpa dibandingkan. Dia kemudian menggeleng perlahan.

"Gak kok, Bu. Karita masih ada sisa, jadi gak masalah uangnya Ibu pakai."

"Beneran?"

"Iya, Bu," kata Karita mantap.

"Tapi, ini banyak banget lho," kali ini Ayah menimpali.

"Gaji Karita lumayan kok, Yah."

Kening orang tuanya berkerut lebih dalam. "Bukannya kamu kerja sebulan?"

"Ya iya, makanya ini gaji pertama," sahut Karita enteng.

Namun, jawaban entengnya ternyata tidak disambut orang tuanya. Kedua orang tuanya sepertinya tidak percaya dengan kata-katanya barusan. Mereka kini memandanginya lekat-lekat.

"Kamu jujur sama Ibu, kamu bener kan, Ta?"

Karita langsung menyentuh pangkal leher kemudia memiringkan kepalanya ke samping. "Maksud Ibu, aku kerja gak bener?" tanyanya tanpa bisa menutupi kebingungan.

"Iya, Ta. Tidak mungkin gaji sebanyak ini kamu dapat dalam waktu sebulan. Dan kamu juga bilang kalau uang ini hanya sebagian, artinya gaji kamu lebih besar lagi," tanya Ibu tanpa basa-basi. Kelopak matanya juga menyipit penuh selidik.

Karita mengembuskan napas pelan kemudian mengambil kartu pegawai yang ada di tasnya. Dia kemudian menaruhnya di atas meja hingga orang tuanya bisa melihatnya secara langsung.

"Ini kartu karyawan. Aku kerja di Roxana. Kalau Ibu gak percaya, Ibu bisa telepon atasanku sekarang," tandas Karita. Dia juga tidak ingin berbasa-basi atau orang tuanya bisa makin curiga.

Ibu terdiam sejenak, sepertinya sedang mencerna informasi. Sementara Ayah kini meraih kartu karyawan dengan foto Karita beserta nama lengkap yang menempel di sana.

"Oke, Ibu percaya kalau kamu kerja di Roxana. Tapi, habis kerja, kamu langsung pulang, kan? Kamu gak macam-macam di luar, kan?"

Karita menghela napas panjang, kecurigaan ibunya ternyata belum selesai sampai di sini. Sepertinya dia memang harus menjelaskan panjang lebar—minus jobdesk-nya mencium ketiak cowok-cowok body sixpack yang bulunya badah dan menjuntai—kepada orang tuanya kalau tidak mau kecurigaan ini makin berlarut-larut.

"Bu, aku pulang kerja pukul lima sore. Pulangnya naik angkot dan macet jadi wajar kalau aku pulangnya malam. Kalau aku memang keluyuran maka aku gak akan sampai di rumah sampai tengah malam."

"Karita benar sih, Bu. Lagian, mungkin QC gajinya segitu."

Ibu berdecak sebal, sepertinya tidak senang dengan pembelaan yang diberikan Ayah barusan. "Ya bisa jadi emang segitu, tapi masa sih karyawan yang baru sebulan gajinya sudah sebesar ini. Arya saja gak sampai segitu kok."

Ayah mengangguk-angguk, entah karena setuju dengan perkataan Ibu barusan dan mulai meragukan pembelaannya sendiri atau hanya sekadar memahami argumen istrinya saja. Apa pun itu, Karita tidak tahu dan hanya bisa menebak-nebak saja. Meski begitu, dia memulai alasan ibunya terus-terusan mendesaknya soal gaji, alasannya ternyata karena kakaknya. Lagi-lagi tolok ibunya hanya kakak lelakinya. Ibunya mungkin berpikir kalau gaji anak sulungnya yang paling besar di jagad raya.

"Ya, Ibu boleh percaya, boleh enggak. Tapi, kenyataannya begitu kok. Bisa tanya HRD kalau enggak percaya," pungkas Karita sambil menyuapkan makan terakhirnya sebelum berangkat kerja.

Karita kemudian berdiri dan mengambil bekal yang sudah disiapkan ibunya. Dia memilih untuk berangkat kerja saja ketimbang memperpanjang perdebatan perkara gaji yang terlalu besar.

"Kamu ambil saja lagi uangnya, Ta."

Kini kening Karita yang berkerut. "Kenapa?"

"Ibu takut ini uang gak bener."

Karita kini menarik kartu pegawainya kemudian meremasnya dengan kuat. Kalau tidak kerja katanya beban orang tua. Kalau kerja, tetapi tidak memberikan bagian orang tua katanya tidak berbakti. Giliran sudah kerja dan diberikan uang saku malah dibilang uang 'gak bener'. Memangnya uang yang 'bener' itu seperti apa? Apakah jenis uang yang menuju jalan kebenaran dan kebijaksanaan? Atau gajinya perlu logo MUI biar dipastikan halal hingga ibunya bisa percaya?

Benar-benar serba salah, yang paling benar hanya Ibu dan Kak Arya saja di rumah ini.

"Bu, percayalah ini uang halal dan uang bener. Ini slip transfernya."

Karita kemudian membuka aplikasi mobile banking dan langsung menuju ke bagian mutasi. Dia menunjukkan uang masuk dari Roxana kepada ibunya. Ketika melihat jumlah gaji yang diterima Karita, Ibu makin melongo.

"Nah, Ibu percaya kan, sekarang?" kata Karita lagi. "Ini seratus persen uang bener, bukan hasil ngepet atau apa gitu, Bu."

Ibunya hanya mengangguk kaku kemudian berdeham pelan. Sepertinya perempuan paruh baya itu malu mengakui kesalahan dan memilih untuk diam saja. Tidak masalah, toh akhirnya ibunya percaya. Karita hanya menyesal karena tidak langsung menunjukkan buktinya pada ibunya. Ketimbang harus melalui perdebatan alot disertai dengan perbandingan antara dirinya dan kakaknya, seharusnya dia melancarkan serangan balik lebih cepat.



Note:

1. First draft jadi masih berantakan

2. Selamat membaca dan semoga suka.

AromaTherapyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang