Januari, 1998

33 4 2
                                    

Amita, aku tak ingin terjebak di rasa sakit yang sama. Kamu benar, kita semua berhak menjadi manusia-manusia yang berharga tanpa perlu membawa ketakutan dan kekhawatiran di kepala", Baskara.

Di lorong-lorong sempit itu seorang gadis bertubuh kecil meringik kesakitan. Kepalan kedua tangannya diborgol hingga memerah. Tangan-tangan bejat memukulinya tanpa ampun. Wajahnya memar, kulitnya melepuh disiram air mendidih, seri-seri bibirnya bergetar tak karuan.
Ketakutan!, itu yang ia rasakan sekarang. Suara-suara nyaring bergema di lorong sempit itu, tubuh-tubuh berserakan di setiap ruangan. Nafasnya serasa berhenti di kerongkongan...

"Tolong aku", suara wanita bergema dalam pikirannya.
"Tolong, hiks (suara tangisan)", lagi-lagi suaranya terasa sangat keras, sampai-sampai...

"Amita!", teriak Baskara terbangun dari bunga tidurnya.

"Ah (ia berdengus), ternyata hanya mimpi" (gumamnya sembari memejamkan kedua matanya sambil mengusap wajahnya).

"Amita, bagaimana saya bisa lari, saya ingin lari, saya benar-benar ingin berlari, (jantungnya berdegup dengan kencang )", dahinya berkerut dan ketakutan yang terus terbayang-bayang.

Pemuda itu bangkit dari ranjang tempat tidurnya, lalu melangkah menghampiri kaca dan melihat dirinya seolah-olah seperti seorang "pecundang".

"Sial, manusia seperti ku hanyalah seorang pecundang!, Maaf Amita, maaf, maaf (air matanya berderai)", Baskara mengacak-acak rambutnya dan mengepuk-epuk pipinya dengan keras.

"Benar kata mereka, hak mu harus diperjuangkan", ucapnya mengepal kedua tangannya dengan erat.





"Ring, ring, ring"(suara telepon berdering)!.
Perempuan itu bergegas melangkah mendekati deringan telepon.

"Halo", ucap seseorang dalam telepon.

"Iya", timpal perempuan itu.

"Maaf mengganggu waktunya, apakah saya berbicara dengan reporter Salma?", tanya nya jelas menanyakan Salma.

"Iya, ini dengan saya sendiri", Salma menimpali ucapan orang itu kembali.

Salma, gadis semester akhir di tingkat perkuliahannya. Ia mengambil prodi Jurnalistik sekaligus sebagai wartawan muda. Untuk memenuhi tugas skripsi terakhirnya ia berani mengambil langkah yang terlalu jauh. Ya, ia sudah terjebak dalam kejadian penzarahan 1998.

"Saya Baskara Putra, saya mendapatkan nomor anda dari teman saya Christi, katanya anda ingin bertemu dengan saya", orang itu mengungkapkan identitasnya, dan ya orang itu tak lain adalah Baskara.

Salma tak bisa melepaskan rasa bahagianya dan langsung saja menimpali nya dengan ucapan yang keras "Pak Bas-Baskara!!!",
begitu girangnya Salma bahwa ia kini telah ditelepon Baskara orang yang sudah ia nanti dari 2 tahun yang lalu. Tak bisa menahan rasa bahagianya, lantas ia menawarkan diri untuk langsung bertemu dengan Baskara.

"Pak, maaf saya lancang bolehkah kita langsung bertemu saja (Salma memohon)?".

"Boleh, tapi sepertinya besok",
"Tidak apa-apa pak (tegas Salma dengan cepat), nanti saya atur pertemuan kita", cakapnya kembali.

"Baik, saya tutup telponnya", ucap Baskara.

"Terima kasih pak telah menghubungi saya".
Dialog terakhir mereka di telepon.

Baskara menutup saluran telponnya sesekali memejamkan mata,
"Amita, aku tak ingin terjebak di rasa sakit yang sama. Kamu benar, kita semua berhak menjadi manusia-manusia yang berharga tanpa perlu membawa ketakutan dan kekhawatiran di kepala", Baskara.



Jendela 1998Onde as histórias ganham vida. Descobre agora