Ketandusan dan Debu di Perbatasan

22 4 0
                                    

"Kenangan itu mengepung dinding pikiranku, kini rerimbun itu menjadi ribuan, memaknai beribu-ribu aksara", Baskara.




Hari Kemarin. Peristiwa itu tetap berputar diingatan Baskara. Pemuda itu mengayuh sepeda tuanya menapaki setiap jalan melihat kembali Gereja Santa.
Di sana, ia terdiam melihat sebagian orang membersihkan sisa-sisa bangunan yang runtuh, lalu menaruhnya ke mobil angkutan. Suara riuh warga sekitar membuatnya berpikir,
"Kemana mereka kemarin?", ucap Baskara diantara rerimbun bekas tubuh di sekitarnya.

Namun, pandangannya teralihkan dengan seorang wanita yang tak asing baginya.
Gadis bertubuh kecil itu menggandeng tas dan tangannya memegang sebuah kamera saksi di tahun 1998. Ia menggiring kamera berputar merekam aksi pemberontakan kemarin.

Baskara mengerutkan dahinya, memutar kembali ingatan per halaman di hari-hari sebelumnya.

"Wanita itu berambut sebahu dengan serpihan rambut-rambut kecil menutup dahinya".

"Di cafe?", tak lama ia tersadar wanita yang ada di hadapannya adalah seseorang yang ia temui di cafe.

Wanita yang mampu mengalihkan pandangan Baskara.

Lantas, pemuda itu menaruh sepedanya di pinggiran tepi dan berjalan menghampiri wanita itu.
Wanita itu, Amita.

Tiba-tiba saja, seorang gelandangan tua berteriak, memecah keheningan pikiran Baskara.

"Jangan pernah memimpin jika tak punya uang!kau bisa mati!, gelandangan itu memarahi gadis itu.

Gadis itu berhenti merekam, selangkah lebih dekat ke arah gelandangan tua itu,
"Pak, kau tak boleh membeli daging jika kau seorang vegetarian".

Ia melanjutkan,"Begitupun sebaliknya, jika bapak seorang jenderal jangan merubah dirimu menjadi seorang buruh. Berhentilah mengoceh jika kau takut untuk mati", Amita menatap pria tua itu.

Gelandangan tua itu menghentakkan kakinya dengan sangat keras, mendekati gadis itu.
Ia tak terima dengan jawaban gadis itu.
Padahal, menurut sisi pikiran pria tua itu mencoba menyelamatkan gadis itu, namun jawaban gadis itu membuat dia marah.

Pria tua itu berjalan mendekatinya dan menarik kerah baju gadis itu. Sontak saja hal itu membuat Baskara bergegas menghentikan keributan itu.
Sesaat tangan pria itu ingin memukul kepala gadis itu, seorang pemuda menahannya.

"Dia wanita dan kau laki-laki, berhenti bertingkah seperti anak kecil", ucap Baskara membela Amita.

Amita menengadah menatap sosok Baskara, pemuda yang menolongnya itu.

Gelandangan tua itu tetap tak terima, ia membungkuk mencari pecahan-pecahan bangunan yang masih tersisa.
Dirinya ingin memukul Baskara dengan sebuah kayu, namun orang-orang disana mengurumuninya.

Sontak saja semua orang yang ada di sana mengepung mereka mencoba menghentikan pertengkaran.
Alih-alih mencegah pertengkaran lagi, Baskara menarik tangan Amita. Memaksanya berlari menjauhi keriuhan itu.

Baskara berlari dengan cekatan meraih sepedanya, "Cepat!". Ia menaiki sepeda itu.

Amita kembali menoleh kerumunan itu.

"Cepatlah!", tegas Baskara.

Amita bergegas naik di belakang jok sepeda.

Baskara mengayuh sepeda tuanya dengan cepat. Amita yang ketakutan memegang erat tubuh Baskara.
Baskara menunduk melihat kepalan tangan Amita yang ketakutan.

Dirasanya ia sudah mengayuh sepeda dengan jauh.
Ia berhenti di jalanan sepi, di jembatan.

Mereka turun dari sepeda. Amita turun dari sepeda, ia penasaran kenapa pemuda ini membawanya ke sini.

Baskara menatap gadis itu, "kita berhenti dulu di sini".

Gadis itu melihat-lihat jembatan dengan sungai yang begitu dalam. Saat melihat ke bawah matanya langsung terperanjat, menengadahkannya ke atas kembali. Ia takut melihat sungai dalam itu.
Gemercikan air sungai itu sungguh keras.
Sungai itu kotor, bahkan ia tak bisa melihat keindahannya.

Baskara dan Amita saling menatap.

"Banyak sekali korban yang sudah dibuang ke sini", ucap Baskara.

Amita terkejut. Kakinya melangkah mundur.

"Sungai ini melahap nyawa mereka juga?", tanya Amita.

Baskara hanya tersenyum. Amita bingung.
ia menatap Baskara yang terus memandangi sungai itu.

Mereka diam sejenak, tak bersuara.

"Kau seorang wartawan?", Baskara bertanya memecah keheningan diantara keduanya.

"Iya", Amita mengangguk.

"Dan, kau?", Amita bertanya kembali.

"Saya seorang mahasiswa...,
Amita menghentikan jawaban Baskara.

"Dan seorang aktivis?", Amita menebak.

"Ya, aktivis tanpa uang", Baskara tertawa kecil.

"Berjuang itu tak butuh uang, bahkan Marsinah saja memimpin hak buruh tanpa uang", Amita tersenyum membalas jawaban Baskara.

Baskara terpana mendengar ungkapan dari Amita.
Ia terkejut dengan keberanian dari sosok gadis ini.
Sosok wanita yang tentu saja membuat hidupnya berubah.
Amita, yang hingga kini tak lepas kenangannya dari ingatan Baskara.

"Suasana negeri ini sangat mencekam, yang berani bersuara dibuang ke tepian laut, ke pinggiran sungai, bahkan parit yang bahkan tak bisa ditemui lagi", tutur Baskara lagi.

"Bagiku, ini adalah sebuah perang. Perang melawan saudara sedarah",

"Mereka terganggu dengan suara ringkikan yang terus mengepung dinding pembatas", Amita mencoba tenang menatap sungai deras itu.

Ia merogoh tas kecilnya mengambil sebuah kamera yang tadi ia pegang.
"Tidak ada kawanan, keluarga, pengungsi, tidak ada suara anak-anak tertawa lepas, tidak ada yang menangis, bahkan tidak ada mayat yang kedinginan di foto ini", ia memperlihatkan kamera yang gambarnya ia ambil di gereja santa tadi.

"Hanya tersisa debu di perbatasan ini", tuturnya.

Baskara terdiam mendengar gadis itu berbicara.

Ia lantas merogoh tasnya mengambil selembar koran.
Ia mengulurkan telapak tangannya memberikan selembaran koran pada gadis itu.

"Perjuangan di hari kemarin", katanya.

Amita mengambil selembaran koran itu di telapak tangan Baskara,
ia menengadah menatap raut wajah Baskara sesekali mengangguk dan tersenyum membalas ungkapan rasa terima kasih,
"Terima kasih sudah berjuang bersama mereka".

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 09, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Jendela 1998Where stories live. Discover now