Rumah Yang Paling Aman?

24 3 0
                                    

"Amita, matahari yang tak pernah redup".

Baskara melipat kertas lusuh itu di setiap lembaran diary Amita. Baskara bingung, sampai kapan cerita ini akan selesai. Ia tak tahu bagaimana cara menutup cerita yang tak kunjung usai.


"Terima kasih sudah mengantar saya sampai sini", ujar Christi.

"Sama-sama",

"Jangan lupa setelah selesai kau harus datang ke Cafe "Biru". Teman-teman sudah menunggu kita disana", Lanjut Baskara.

"Baiklah, cepat kau juga harus ke sana sekarang", Christi mencubit lengan Baskara dengan gelakan tawa keduanya.

Baskara memutar balik badannya sambil melambaikan tangan ke arah Christi. Christi membalas lambaian tangan itu kembali dengan tawa kecil di pipinya hingga lesung pipit kecilnya terlihat.

Christi menatap Baskara pergi hingga tubuhnya tak terlihat lagi.
Lantas ia berjalan memasuki gereja, ia merasa tenang berada di rumah Tuhan dan rumah pulang yang paling aman baginya. Beberapa orang jemaat juga datang untuk berdo'a. Namun, Christi terheran tidak biasanya jemaat sebanyak ini.

"Rumah Tuhan memang yang paling aman", Christi menatap sekeliling.

Hari Minggu, jemaat berkumpul dengan bertukar cerita di ruangan surga dunia, pendeta berjalan menaiki tangga untuk memberikan khotbah di Minggu yang mulia ini. Baru saja, saat pendeta memulai khotbah "Firman Tuhan Minggu ini..." tiba-tiba ia terhenti.
"Dorrr", suara pelatuk menjeritkan telinga setiap orang.

Pendeta tersungkur menahan rasa sakit peluru yang menembus dadanya. Semua yang di ruangan itu terdiam. Sampai jeritan salah satu diantaranya mengacaukan keheningan.

"Arkhhh", teriakan itu membuat semua jemaat pontang-panting lari kesana kemari berburu mencari pintu keluar.

Christi yang berada di jajaran paling depan  berlari menghampiri tempat Khotbah.
Ia segera menahan darah yang bercucuran dari tubuh pendeta dengan tangannya.

"Jangan menyerah, ini demi Tuhan..." suara serak pendeta dengan nafas terengah-engah, selang berbicara ia meninggal.

Christi memukul kecil tubuh pendeta, "sepertinya pendeta masih bisa selamat".

Jemari Christi memegang nadinya tapi pendeta benar-benar sudah tak bernyawa. Christi menangis.
Ia memejamkan matanya melirik ke arah salib yang terpampang dihadapannya.

"Tuhan", suara desakan tangis Christi.

Orang-orang berjingkrak lari dan menyingkir, sebagian menyepi. Bahkan, yang terkena pelatuk meraung-raung kesakitan di bawah meja.
Api membakar setiap bangunan gereja, lonceng gereja terus bergetar keras seakan-akan membungkam teriakan manusia-manusia itu.
Christi mencoba berdiri menatap mereka.
Tubuhnya bergetar, ia melihat seseorang menarik pelatuk tepat di bahu biarawati.
"Ka-u....", sebuah peluru menembus tubuh biarawati itu.

"Arkhhh", teriakan jemaat yang semakin keras.

Jemaat lari tak karuan, mereka berlari mencari pintu keluar, namun lagi-lagi peluru itu mengintai tubuh mereka. Bahkan, salah satu peluru menembus kakinya hingga terpincang.

Christi menangis, sesekali ia memejamkan matanya, tangannya memegang telinga, suara peluru itu sungguh mengerikan.

"Oknum-oknum bahkan menzarah tempat ibadah. Lantas dimana lagi tempat yang aman bagi kami Tuhan?, Christi terjatuh.

Christi menangis histeris. Lama-lama suara peluru mengepung ke segala penjuru ruangan, hingga meruntuhkan sebagian atap gereja. Christi menatap sekeliling, ia kira melawan hukum tak semengerikan ini. Christi tersungkur dan tak sadarkan diri.





Jendela 1998Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang