4. Dia yang manja

10 2 4
                                    

Hari ini jadwalku tak terlalu banyak hingga aku bisa pulang 2 jam lebih awal dari biasanya. Aku berjalan dari ruang kerjaku menuju ke lantai 5. Sesampainya di sana aku mengetuk pintu ruang kerja Hui lalu masuk dan mendapati dirinya sedang sibuk dengan beberapa berkas laporan dan komputer yang menyala. Dengan kacamata yang menempel di wajahnya juga lengan kemeja yang digulung setengah membuat dia terlihat mempesona.

Aku duduk di sofa yang tersedia di sana, bertopang dagu memperhatikannya yang terlalu serius dengan pekerjaannya.

"Suka banget ngeliatin aku kayak gitu." Ucapnya tanpa memalingkan pandangannya daru monitor di depannya.

"Suami aku ganteng soalnya." Godaku menjawab omongannya.

"Kerjaan kamu udah selesai?"

Aku mengangguk lalu menyandarkan tubuh di sofa. "Menurut kamu aku pulang duluan untuk nyiapin makan malam atau aku tunggu kamu kita makan di luar?"

Hui tak menjawab, jari-jari tangannya masih menari di atas keyboard sebelum akhirnya dia melepas kacamatanya dan menutup lembaran berkas yang ada di depannya. Hui mengambil jas yang tersampir di kursi lalu berjalan ke arahku dan duduk di sampingku.

"Kalau orang nanya tuh dijawab dong." Omelku saat dia mengabaikan pertanyaanku.

"Pengen kayak gini aja." Dia menidurkan kepalanya di atas pahaku dan memejamkan matanya. Aku tersenyum lalu mengusap usap rambutnya.

"Capek ya?" Tanyaku.

"Capeknya hilang setelah liat kamu."

"Gombal banget." Aku mencubit hidungnya lalu dia menahan tanganku dan mengecup pergelangan tanganku hingga beberapa kali.

"Buruan selesaiin kerjaannya, ntar kemaleman."

"Udah selesai. Mau pulang sekarang?" Tanyanya dengan mata yang kini sudah terbuka.

"Ayo pulang."

***

Seperti inikah rasanya berkencan? Pacaran atau apa kalian menyebutnya. Aku sama sekali tidak pernah merasakan hal-hal seperti itu sebelum menikah. Semuanya kurasakan sejak aku menjabat status sebagai istri seseorang dari 2 tahun yang lalu.

Aku berjalan membawa peralatan makan yang kotor bekas makan malam ke wastafel. Kami pada akhirnya memutuskan untuk makan malam di rumah. Hui memelukku dari belakang saat aku berdiri di depan wastafel, ah laki-laki satu ini manja sekali.

"Ntar basah kena cipratan air tuh." Ucapku agar dia berhenti memelukku. Tapi nyatanya dia malah mengeratkan pelukannya. Aku menghela nafas malas dan tetap melanjutkan aktivitas meski sedikit kesulitan akibat Hui yang menyandarkan dagunya di bahu kananku.

Selesai dengan cucian piring kotor aku hendak membalikkan tubuhku menghadap Hui tapi dia menahannya.

"Soojin."

"Hm?"

"Aku mau keluar kota lagi."

"Lama?"

"Kayaknya gitu."

Aku tersenyum lalu menghadapnya.

"Terus kenapa? Takut kangen berat sama aku?"

Dia mengangguk dengan memanyunkan bibir bawahnya, lucu sekali suamiku ini.

"Kan bisa komunikasi, sayang."

"Pengennya bisa meluk kamu terus."

"Manja banget."

"Ga boleh emangnya manja sama istri?"

Aku terkekeh lalu menangkup wajahnya dengan telapak tanganku. "Boleh banget. Ntar pulang dari sana kan bisa peluk aku sepuasnya."

"Pengen kamu bisa ikut."

"Ga bisa, sayang. Aku juga ada bimbingan ke anak-anak residen."

"Sedih banget." Ucapnya lagi dengan mimik wajah yang dibuatnya seperti anak kecil, menggemaskan.

"Kamu lucu tau."

Hui tersenyum lalu melepaskan rangkulannya dari pinggangku.

Setelahnya kami memutuskan untuk duduk di balkon rumah menikmati hembusan angin malam dengan secangkir kopi diiringi petikan gitar milik Hui dalam suasana sunyi yang menenangkan.

Daisy - [Pentagon Hui - Seo Soojin]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon