9. Takut

6 2 2
                                    

Gerimis mengguyur kota sejak 2 jam yang lalu. Aku berdiri di depan jendela kantor dengan secangkir teh hangat di tanganku. Pekerjaanku sudah selesai namun Soojin masih membantu operasi dadakan yang dilakukan oleh salah satu profesor bedah saraf di sini dan aku akan menunggu sampai operasinya selesai.

Usai menghabiskan secangkir teh aku menutuskan keluar dari ruang kerja untuk sekedar berjalan-jalan. Beberapa petugas rumah sakit menyapaku saat kami berpapasan, beberapa orang terlihat ceria bersama keluarga mereka akan kesembuhan yang mulai dirasakan dan beberapa lainnya terlihat sedih karena beberapa alasan. Aku berjalan menyusuri koridor untuk menghilangkan sedikit rasa bosan hingga aku tiba di depan ruang operasi.

Seorang wanita duduk di ruang tunggu dengan pandangan kosong. Tunggu, aku seperti mengenalnya. Wanita itu menoleh ke arahku dan benar saja aku mengenalnya.

"Jihyeon.."

"Hui.."

Aku memutar tubuhku membelakanginya bersiap untuk pergi dari sana tapi aku mendengar suara lutut yang beradu dengan lantai, aku menoleh ke belakang tanpa memutar tubuhku mendapati Jihyeon berlutut dengan kepala menunduk. Sial, pertemuan macam apa ini.

"Maaf untuk segalanya."

Sejenak aku terdiam lalu menghela nafas panjang. "Maafmu aku terima."

Tanpa menunggu apapun, aku melangkahkan kaki keluar dari area itu meningglakan Jihyeon yang menangis terisak. Entah aku jahat atau tidak, tapi kurasa hal itu tak sebanding dan bukan apa-apa atas apa yang telah dilakukannya padaku.

***

Aku memutar jari telunjuk di atas gelas berisi air mineral. Mood ku menjadi buruk setelah aku bertemu dengan Jihyeon beberapa jam yang lalu.

"Kenapa ga dimakan?"

Aku merespon omongan Soojin hanya dengan menatapnya sekilas. Setelahnya aku menyandarkan tubuh di kursi dan melipat tangan di dada dengan mata terpejam.

"Lagi ada masalah ya?"

Masih tak kuhiraukan pertanyaannya. Aku memdengar Soojin menghela nafas panjang lalu dia berjalan menuju wastafel membereskan bekas makan malam kami.

"Kalau capek istirahat, tidur tuh di kamar jangan di kursi."

Malas berkomunikasi dengan siapapun aku meningalkan Soojin di dapur. Aku juga tak tau suasana hati seperti apa yang sedang kurasakan. Aku juga merasa aneh setelah bertemu Jihyeon.

Aku menutup pintu dan mematikan lampu kamar lalu mengambil posisi tidur. Ingin rasanya aku tidur cepat dan berharap saat bangun besok suasana hatiku sedikit membaik.

Suara pintu kamar terbuka, kurasa itu Soojin. Aku membelakanginya dan pura-pura tidur karena masih tak ingin mengucapkan banyak kalimat lalu dia membenarkan selimut yang kupakai. Setelahnya kudengar dia menarik nafas dalam dan menghembuskannya.

"Pasien usia 2 tahun yang ada di ruang operasi itu anak Jihyeon. Aku tau kamu datang dan kalian ketemu. Sekarang aku ga tau kamu marah karena harus ketemu lagi dengan orang yang udah ninggalin kamu, atau kamu sedih karena pada akhirnya kamu bersama aku bukan dengan dia."

Sejenak Soojin memutus kalimatnya.

"Aku mungkin orang yang selalu di sisi kamu, tapi dia juga mungkin orang yang selalu di hati kamu."

Kudengar isak tangis kecil Soojin. Segera aku merubah posisi menjadi duduk dan memeluknya.

Tak ada kalimat apapun yang kukatakan. Entah aku tak tau harus berkata apa, atau memang yang Soojin katakan benar adanya. Aku bahkan tak tau bagaimana perasaanku, dan rasa bersalahku terhadapnya semakin besar atas ingatan masa lalu yang kembali muncul.

"Hui... aku takut."

Daisy - [Pentagon Hui - Seo Soojin]Where stories live. Discover now