Extra Chapter (2)

1.1K 161 20
                                    

Gue masih duduk di tepi kasur menanti Syazani kembali. Dari memakai celana panjang sampai gue berganti ke sarung. Suhu udaranya benar-benar dingin padahal cuaca sedang baik. Di ponsel tertera temperaturnya berada di suhu 29 derajat celsius.

Sepertinya mematikan AC juga bukan sebuah solusi, nyatanya gue benar-benar masih merasa dingin. Tak lama pintu pun dibuka Syazani sambil membawa dua baju yang masih tergantung di hanger.

"Cobain dulu aja, mana yang pas!" Katanya menyerahkan dua baju itu.

Gue menerima salah satunya yang berwarna abu. Belum sempat bajunya gue coba sebuah bantal sudah lebih dulu melesat ke tubuh gue. Refleks gue menangkapnya. Syazani melemparnya saat gue menyingkapkan baju.

"Anda mau buka baju di sini?" Omelnya seraya menutupi mata oleh tangan kirinya.

"Memangnya kenapa?" Gue iseng ingin tahu reaksinya.

Dia berdecak lanjut menghela napas. "Ck, kan ada walk in closet. Kalau nggak juga anda bisa ke kamar mandi dulu."

"Harus?"

Lagi-lagi Syazani menghela napas panjang. Sepertinya dia mulai naik darah menghadapi gue. Perempuan mana yang melempar bantal ketika melihat suaminya ganti baju? Sepertinya hanya Syazani. Keunikan yang membuat gue rela bertarung dalam doa dengan orang yang dia harapkan.

"Bebas. Saya mau bersih-bersih dulu di bawah." Dia pun pamit namun gue belum puas sampai melihat rona merah di pipinya.

"Kamu gak ingat kata ibu?" Gue menjedanya.

"Kita bisa gantian pakai kamar mandinya. Sekarang saya udah selesai, silakan kalau mau pakai."

"Siapa bilang mau mandi? Saya mau bersih-bersih rumah bukan mandi." Katanya agak nyolot lalu melengos keluar dari kamar.

Wallahi, sebahagia ini gue bisa satu rumah dengannya. Sikap kami mungkin tidak seperti pasangan pengantin lainnya, tapi gue bisa memaklumi sikap Syazani. Gue paham dengan apa yang dia rasakan saat ini. Bukan hal mudah untuknya menjatuhkan hati pada seseorang yang tidak dia harapkan.

Setelah selesai berganti pakaian gue pun turun. Ibu dan juga Syazani terlihat duduk santai di depan TV. Ketika melihat gue Syazani langsung berdiri. Kedua sudut bibir gue melengkung melihatnya.

"Masjidnya gak jauh kan?" Bisik gue pada Zani.

Jika masjidnya jauh gue siap untuk meminjam motor supaya tidak ketinggalan berjamaahnya. Gue ingat banget pesan Eyang Kakung dulu, "El, laki-laki itu shalatnya di masjid bukan di rumah. Kalau kamu maunya di rumah shalatnya ikut Eyang Putri pakai mukena". Karena gue gak mau diledek lagi, semenjak itu gue mulai shalat berjamaah di masjid. Tapi selama gue mengejar gelar S2 waktu shalat seringkali bentrok dengan jam belajar. Mau gak mau gue shalat sendiri, atau kadang berjamaah dengan teman sekelas yang sesama muslim juga.

"Anda mau pakai motor?"

"Jauh atau nggak?"

Syazani menggelengkan kepala.

"Ya udah saya jalan aja."

Tak ada respon lebih. Syazani hanya balas mengangguk.

Gue memicingkan tubuh melihat ke arah ibunya yang sedang duduk di sofa.

"Bu, saya berangkat ke masjid dulu ya?"

"Iya. Eh... kok malah pamitnya sama ibu? Kan istrimu ada di depan."

Selepas ibu mengatakan hal itu rasanya tawa gue ingin meledak melihat wajah Syazani. Kentara sekali antara malu dan kesal. Syazani hanya membuang muka saat gue menatapnya lagi.

Teras Kota (Overheard Beauty)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora