Extra Chapter 10

988 125 5
                                    

Dalam keadaan lelah emosi biasanya mudah sekali terpengaruh. Jiwa-jiwa yang seharusnya merehatkan diri dari segudang kesibukkan seharian malah menjadi ajang adu debat. Entah dari mana asalnya berita mengenai keberangkatan gue ke Sentosa Island dan dipromosikannya gue menjadi Project Development Director sampai ke telinganya Syazani.

Awalnya dia masih terlihat biasa saja, sampai ketika tahu gue sudah rapi mimik wajahnya berubah. Sikap dinginnya naik sekian persen malam ini. Berawal dari menyuruh gue makan malam lebih dulu, dan gue kekeh akan makan setelah pulang dari airport. Kontras wajah kesalnya tak dapat disembunyikan lagi. Gue masih mencoba menjawab pertanyaannya tanpa nada tinggi. Namun ada hal yang membuat gue merasa tidak dihargai sebagai suami, yang mana dia mengatakan ingin resign dan sudah melamar ke beberapa perusahaan tanpa sepengetahuan gue.

Dalam hal ini gue sadar, gue belum bisa menjadi suami yang baik. Tapi tidak ada salahnya jika dia mengajak diskusi kalau memang sudah merasa tidak nyaman bekerja satu kantor dengan gue. Rasa lelah yang mendominasi, akhirnya membuat gue berhasil meninggikan suara. Dia boleh baik pada setiap orang, tetapi tidak juga dengan selalu mengedepankan kebahagiaan orang lain dibandingkan dirinya. Kalau memang ingin resign, bagi gue gak masalah karena gue masih mampu untuk membiayainya. Namun jika alasannya karena agar tidak menghambat karir gue, itu gak adil menurut gue. Kalaupun gue gak naik jabatan, it's oke. Lagi pula gue dan Lucas sedang mencoba membangun bisnis properti sendiri. Gue rasa tanpa naik jabatan pun gue bisa resign lebih dulu untuk tetap mendukung karirnya.

Jangan bermimpi untuk jadi lilin, yang hanya mampu menerangi orang lain tapi melukai diri sendiri.

Matanya menyalang diam-diam saat mengetahui gue akan pergi lagi. Dia masih duduk di sofa mengamati gue yang sedang bercermin sambil menyemprotkan parfum. Tadi Dyo mengabari gue meminta untuk dijemput di bandara. Sebagai sahabat yang sudah lama tak bertemu, mana mungkin gue bisa menolaknya. Lagi pula tujuannya hanya memperpanjang silaturahmi. Namun mood Zani kali ini benar-benar tidak mendukung.

"Aku gak ngerti Zan sama jalan pikiran kamu! Di mata kamu aku ini seolah bukan siapa-siapa."

"Nggak gitu El."

"Jelas begitu Zani!" Kata gue penuh penekanan, sontak membuatnya terhenyak.

"Terserah kamu deh Zan, bebas. Mau ngelakuin apapun tanpa seizin aku juga silakan." Gue berjalan menuju meja makan menuangkan satu gelas air agar dapat meredakan emosi yang meletup-letup.

Syazani masih mengekori gue. Dia berdiri tepat di belakang gue dengan kepala menunduk. Ada rasa tidak tega dan bersalah, tapi gue berharap dia juga paham kedudukan dia itu penting bagi gue. Bahkan jika dia yang dikeluarkan dari perusahaan pun gue yang akan mati-matian membelanya.

"Terus? Sekarang aku tanya tujuan kamu nikah sama aku apa?"

Dia menatap gue dengan tatapan iba.

"Ya... untuk ibadah." Jelas jawabannya sangat ragu.

"Yakin untuk ibadah? Tapi perilaku kamu sama sekali tidak menunjukkan untuk ibadah."

Gue membuang tatapan darinya, dan Syazani masih terlihat menunduk lesu.

"Terus, aku tanya bagaimana dengan kamu?"

Spontan gue menatapnya tak menyangka dia akan menanyakan hal yang sama.

"Apa tujuan kamu menikahiku El?" Ulangnya dengan suara bergetar.

Sial, kenapa sulit sekali gue mengutarakannya. Mulut gue seakan diolesi lem sehingga tertutup rapat. Lama tak mendapatkan jawaban dari gue, Syazani memilih pergi ke kamarnya. Dan gue hanya meratapi punggung yang perlahan menghilang dari pandangan gue.

Teras Kota (Overheard Beauty)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang