1. Midnight Shot

112 19 19
                                    

Magnus berdiri gusar dalam kegelapan, di luar jangkauan sorot lampu sudut bagian depan Teater Jean-Paul Starter. Udara dingin pada dini hari musim panas di Alegra membuatnya menggigil ketika sesekali harus mengeluarkan tangannya dari dalam saku mantel hangat untuk melirik arloji. Sudah dua menit tiga puluh enam detik, Magnus Harr, aktor papan atas yang tengah naik daun itu harus menunggu kedatangan Ruelle Delaney Carter, managernya. Ruelle adalah tipikal manager yang kompeten, tetapi menyetir jelas bukan bidang keahliannya. Gadis itu terlambat dan membuat Magnus dongkol setengah mati.

Andai saja Magnus tidak perlu berlatih dengan Baron malam ini atau dengan siapa pun yang tidak selevel dengannya, ia pasti sudah terbang ke Las Vegacia untuk bersenang-senang. Salah satu kebiasaannya mengisi waktu kosong, mengisi hatinya yang kosong. Akan tetapi, pertunjukan amal terkutuk untuk ulang tahun wali kota Alegra dua bulan ke depan telah memilihnya sebagai pemeran utama drama maha karya Heinrich Mitchel, membuat keseluruhan hari itu terasa begitu buruk. Ralat, sangat buruk. Ditambah lagi dengan keterlambatan Ruelle. Menjadi aktor papan atas rasanya tidak pernah semenyebalkan ini!

"Sialan! Terkutuklah kau, Ruelle!" desisnya ketika hanya mendapati sorot lampu mobil murahan rongsok yang baru saja melewatinya. Magnus refleks mundur lebih jauh ke dalam sudut gelap agar sorot lampu itu tak menjangkaunya. Tidak ada tanda-tanda kedatangan Ruelle. Pun tidak ada tanda-tanda keberadaan Limousinenya yang datang menjemput. Masyarakat Alegra begitu tergila-gila pada Magnus Harr. Jika pengemudi mobil tadi melihatnya di bawah cahaya, maka barangkali dia harus meladeni acara foto-foto dan jumpa fans tambahan. Lagi pula, ini sudah pukul 2 dini hari, sudah melewati jam kerja, harusnya, tetapi bukankah aktor bekerja sepanjang waktu, bahkan ketika kau sedang bermimpi dalam tidur.

Magnus menyeka anak rambut yang jatuh di keningnya dengan kasar seraya mendengkus. Kulitnya terasa berminyak, begitu pula rambut gelap gondrongnya yang saat ini dicepol separoh ke atas. Magnus merasa ia harus membuat jadwal ke klinik kecantikan privat besok karena hari ini begitu menguras energinya hingga ke pori-pori. Meski tak melihat cermin, Magnus tahu ketampanannya telah berkurang sedikit. Dormeuil Vanquish II yang dikenakannya sepanjang latihan terasa lengket di atas kemeja vercase yang telah begitu kusut. Magnus merasa jijik pada dirinya sendiri dan berjanji, begitu pulang ke apartemenya, dia akan langsung membuang pakaian ini ke tong sampah. Tidak ada kata cuci ulang bagi aktor papan atas sekelas Magnus Harr. Segala sesuatunya hanya sekali pakai, kecuali Ruelle, yang selama 10 tahun bekerja padanya tanpa satu kesalahan pun, kecuali malam ini. Ruelle terlambat, jadi, haruskah Magnus membuangnya juga seperti pakaian yang dikenakannya?

Kesabaran Magnus sudah habis dan Ruelle sama sekali tidak bisa dihubungi. Sempat terlintas di dalam benak lelaki jangkung itu untuk mulai berjalan saja, karena salah satu apartemen mewahnya terletak tidak jauh dari gedung teater, ketika bayangan seseorang mendekatinya, melintasi jalanan aspal di hadapannya yang sudah mulai sepi. Magnus bersedekap seraya mundur lebih jauh ke sudut gelap hingga punggungnya membentur pagar luar teater. Asumsinya, kegelapan itu sudah cukup untuk menyembunyikan identitasnya dari mata awam. Lagi pula, orang asing itu sepertinya bukan apa-apa, tetapi entah mengapa Magnus tetap merasa resah.

Magnus mencoba mengabaikan sosok itu dan kembali menarik tangan di dalam saku untuk melihat pergeseran waktu. Akan tetapi, kegusarannya mendadak berubah menjadi firasat ketika langkah orang bertopi kupluk itu tiba-tiba menjadi cepat. Orang asing itu setengah berlari ke arahnya. Magnus refleks mengangkat wajah. Bahkan, di dalam kegelapan paling gelap sekali pun, pandangannya tetap terang benderang. Magnus tahu, sosok itu kini sedang menatap tajam ke arahnya.

Orang asing itu berhenti di bawah kegelapan bayang-bayang pohon Ek yang tumbuh menjulang di sisi kiri Magnus. Jaraknya terukur agar Magnus tidak dapat mengenalinya, tetapi orang itu jelas-jelas tidak mengenal Magnus. Dalam gerakan cepat, orang asing itu merogoh sesuatu dari dalam saku jaketnya. Sesuatu yang berat, dingin, dan mengandung aroma bubuk mesiu.

Senjata, pikir Magnus. Lalu, salah satu sudut bibir sang aktor tertarik ketika orang asing itu menodongkan senjata ke arahnya tanpa sepatah kata pun. Orang asing ini jelas-jelas tidak mengenalnya.

"Yang benar saja!" cetus Magnus nyaris tertawa ketika moncong senjata yang telah dibidik tepat ke keningnya meletus, memecah sunyi Teater Jean-Paul Starter dan lingkungan sekitarnya.

Peluru itu melesat cepat, tetapi di dalam penglihatan Magnus gerakannya begitu lambat dan menggelikan. Tidak ada angin yang dapat mendistorsi bidikan presisi serupa itu. Jika Magnus tidak salah menduga, orang asing itu pastilah seorang pembunuh bayaran profesional. Namun, orang asing itu jelas-jelas tidak mengenalnya dan jelas-jelas bukan tandingannya.

Dalam sepersekian detik, Magnus mengangkat sebelah tangannya yang dilingkari Patek Philippe. Jarum-jarum jamnya memberitahu Magnus dalam diam jika Ruelle telah terlambat tiga menit dua puluh tiga detik. Kemudian, telapak tangannya yang bersarung satin itu terbuka ke arah peluru yang melesat ke arahnya. Dalam jarak tidak lebih dari tiga puluh centimeter, peluru itu berhenti sebelum jatuh menghunjam aspal. Peluru yang melesat cepat itu berhenti seolah menghantam dindin tak kasat mata.

Tembakan kedua meletus serampangan, di luar bidikan terbaik si pembunuh bayaran. Magnus dapat mencium kepanikan memenuhi udara di sekitarnya, sebelum peluru kedua juga jatuh menghantam aspal dengan kekuatan telekinesisnya di posisi yang sama. Magnus berharap ada tembakan ketiga, keempat, dan seterusnya, tetapi orang asing bersenjata api itu telah melarikan diri terbirit-birit. Mungkin lelaki malang itu akhirnya menyadari dengan siapa dia berhadapan.

Magnus pun akhirnya melompat dari sudut gelap persembunyiannya, dan dengan langkah gegas mengejar si orang asing. Tungkai panjangnya membelah jalanan aspal Alegra dengan kecepatan di luar batas wajar kekuatan fisik manusia. Magnus seolah berlari di atas angin, menembus gelap, dengan langkah minim suara dan gerakan yang nyaris serupa bayangan.

Hanya dalam hitungan detik, Magnus berhasil meringkus si penembak dan menyeretnya ke dalam lorong sepi di sisi kanan teater. Tidak ada siapa-siapa di sekitar tempat itu, setelah sekilas Magnus mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.

Dengan kasar, Magnus mendorong tubuh lelaki kekar itu hingga punggungnya menghantam aspal. "Katakan, siapa yang mengutusmu?!" geramnya dengan nada dingin.

Topi kupluk abu-abu tua telah terlepas dari kepala si penembak, memamerkan wajah berewokannya yang dipenuhi ketakutan. Lelaki itu menggeleng lemah, stengah menunduk. Sedetik kemudian, tubuhnya terangkat di bagian leher hingga tungkainya menendang-nendang udara.

Magnus berjalan pelan, mendekatinya bak kucing mengintai mangsa. Dengan kekuatannya, sang aktor telah mengangkat tubuh lelaki malang itu tanpa perlu menyentuhnya.

Alih-alih mendapatkan jawaban, sedetik kemudian, tubuh lelaki itu menegang di udara. Sepasang mata kelabu gelapnya membelalak, sementara wajahnya memucat. Tenggorokannya menimbulkan suara tercekik yang memuakkan.

Magnus yang kaget, refleks melepaskan tubuh malang itu hingga terhempas ke aspal. Sesuatu yang buruk telah terjadi pada si pembunuh bayaran, tetapi bukan Magnus pelakunya.

Di atas aspal gelap, tubuh lelaki itu menggelinjang disertai suara patahan tulang. Tubuhnya memelintir dengan tidak wajar, sebelum buih putih disertai cairan kental merah mengalir dari sudut bibirnya. Lelaki itu telah mati.

Dengan kekuatannya, Magnus memeriksa lelaki itu tanpa beranjak sedikit pun dari posisinya. Sang aktor mengangkat sedikit tubuh mati itu untuk memperbaiki posisinya. Seseorang, sebelum ini, pasti telah meracuni atau memasukkan sesuatu ke dalam tubuh si pembunuh bayaran. Namun, siapa pun pembunuh dan pengurusnya, Magnus harus membereskan kekacauan ini sebelum pagi menjelang.

Dengan langkah ragu, Magnus mendekati tubuh kaku itu, ketika tiba-tiba terdengar beberapa kali bunyi 'klik' samar yang sangat familier. Magnus menghentikan langkahnya, menoleh panik ke bayang-bayang gelap pohon Ek tua yang menaungi lorong itu. Tubuhnya menegang waspada. Sementara itu, tubuh mati si penembak kembali terhempas di atas aspal, ketika kilatan cahaya menyadarkan Magnus jika dia tidak benar-benar sendirian di tempat itu. Seseorang sedang mengawasinya di balik kegelapan.

"Sial! Sial! Sial!"










Pontianak, 15 Mei 2023
Pukul:
NB:

Dear para penggemarku, ayo tinggalkan jejak kalian di lapak ini😌

With Love, Magnus 'Perfect' Harr

LOKI; The Actor of Mischief (END)Where stories live. Discover now