Bab 6: Wild Jasmine and Mint

17 3 2
                                    

Waktu kecil, Najmi menyukai suasana pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Waktu kecil, Najmi menyukai suasana pagi. Apalagi jika sinar mentari menelusup jendela kamarnya setelah hujan turun di malam hari. Aroma rerumputan yang basah seumpama aromaterapi menjadi penambah semangat. Beranjak usia pubertas, sebuah kejadian yang membekas di hati membuat suasana Subuh menjadi favoritnya. Tidak berubah hingga detik ini.

Sejak selesai menunaikan salat Subuh di minggu akhir bulan Maret, Najmi duduk menghadap jendela besar hotel bintang 6 yang menyuguhkan pemandangan ibukota. Kabut masih tampak menyelimuti beberapa daerah, akibat hujan deras tadi malam. Seharusnya suasana ini bisa melenyapkan penat yang dirasakan sejak dia keluar dari bandara Soekarno Hatta kemarin.

Mood-nya tak karuan karena meninggalkan setumpuk pekerjaan di Singapura yang belum terselesaikan. Pria itu sempat meminta untuk menunda pernikahan, tetapi ditolak abah. Konsekuensinya, malam ini mau tak mau dia harus terbang lagi ke Singapura menggunakan penerbangan terakhir.

Keputusan ini sempat mendapat pertentangan dari umi. Wanita yang telah melahirkannya itu mengusulkan agar Najmi membawa serta Anya ke Singapura meski hanya beberapa hari. Namun, seperti dapat membaca pikirannya, Anya menolak usulan umi. Wanita itu memiliki alasan yang sama dengan Najmi. Pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.

Hingga saat ini Najmi belum pernah sekalipun menanyakan di perusahaan mana Anya bekerja. Begitu pun sebaliknya. Akan tetapi, mereka sudah sepakat untuk hidup tanpa saling mencampuri urusan masing-masing. Jadi, tidak penting bagi Najmi untuk menanyakan hal tersebut pada Anya.

"Ciieee ... yang bentar lagi jadi suami," celetuk Lea yang sudah mengenakan gamis berwarna merah muda. Kerudung pashmina dengan motif bunga berwarna krem yang dikenakan, membawa kesan berbeda pada penampilannya. "Eh, Aa, kok masih belom ganti baju, sih? Akadnya, kan jam delapan."

Najmi menghampiri Lea. "Masih jam setengah tujuh."

"Ih, sok tahu!"

Dengan tersenyum lebar, Najmi menunjukkan jam yang melilit pergelangan tangannya. "Tumben udah jadi cewek."

Tanpa peringatan, Lea memukul lengan Najmi. "Aku emang cewek!"

"Oh, cewek ... alhamdulillah. Aa sempet ngeraguin soalnya. Kamu keseringan pake celana panjang. Kayak cowok."

"Mana ada cowok berkerudung? Ngarang!" Lea mencebik. "Udah mandi belom?"

"Udah. Nggak liat Aa makin ganteng?"

Lea bertingkah seperti orang hendak mengeluarkan isi perutnya. "Pede banget, sih jadi orang! Dari sejak dua minggu yang lalu, waktu abis nganter Teh Anya sama Umi keliling, muka-nya masih gini-gini aja. Pas-pasan."

"Jelas. Pas dibilang ganteng, terbukti ganteng."

Kali ini Lea mencubit lengan Najmi. "Ini lengan atau apaan, sih? Tebel banget."

Najmi memegang kepala Lea dengan sedikit membungkuk agar bisa mensejajarkan wajahnya dengan sang adik. "Ini namanya otot, ya, Maryam." Kemudian Najmi berjalan melewati Lea menuju mini walk in–closet.

Longevity Base : Secretly CloselyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang