Bridesmaid

4.3K 88 0
                                    

Karin mematut diri di depan cermin sudah hampir setengah jam, setidaknya itu yang ku lihat dari jam tangan.

Sesekali dia menghadap samping sambil membusungkan dada dan berpose bak model dengan satu kaki ditekuk. Terlihat samar dari balik gaun merah muda pastel yang dikenakannya, kakinya yang jenjang dan begitu serasi dengan sepatu stiletto berwarna senada dengan manik-manik berkilau di atasnya.

Tak lama dia bisa berubah pose lagi, seperti berkacak pinggang sambil mendongak angkuh. Menunjukkan kebanggaannya dengan bold makeup karyanya sendiri.

Beberapa menit sekali dia mendekatkan wajah ke arah cermin untuk memeriksa ketidaksempurnaan riasannya dari dekat. Jika dirasa ada yang kurang, dia pulas lagi lipstik atau bedaknya.

Karin, sahabatku sejak SMA ini, memang tampak begitu cantik hari ini. Yah, memang dia sudah cantik tanpa berdandan dan punya tubuh yang langsing karena lima tahun terakhir jadi seorang vegan.

Sayangnya, bintang hari ini bukan dia. Karin cuma bridesmaid. Sama seperti aku.

"Udah cantik, rinn," kataku bosan.

Duduk setengah jam tanpa melakukan apapun kecuali memandangi seorang perempuan yang bercermin sambil berdandan ternyata merupakan salah satu kegiatan paling membosankan di dunia.

Aku sendiri hanya berdandan seadanya, mungkin tak ada bedanya dengan riasan wajah ke kantor. Hanya saja selain BB cream, bedak tabur, lipstik, dan eyeliner, hari ini aku pakai maskara. Begitupun dengan sepatu. Sepatu hak tinggi yang ku kenakan ini adalah satu-satunya hak tinggi yang ku punya, yang selalu ditertawakan Karin karena dia punya berlusin-lusin sepatu hak tinggi.

"Duh... Sebel, deh. Ini tuh base-nya nggak cocok sama kulit gue. Jadinya bedak tuh nggak nempel. Belum lagi nanti kan gue keringetan, huhh gimana ya," Karin menggerutu sambil memajukan wajahnya ke cermin. " Tahu gitu gue bawa base sendiri, nggak pake yang dikasih MUA."

Aku cuma merespons dengan menaikkan alis. Soalnya sepengelihatanku tak ada bedanya dengan riasan yang biasa dia gunakan.

Ku intip kembali jam di tangan. Ternyata sudah pukul 10.00, waktunya resepsi dimulai. Aku melongok ke arah pelaminan yang sudah rapi dihiasi bunga-bunga segar dan tanaman rambat.

Terlihat sahabatku Elsa, dengan gaun putih gading dan rambut cepolnya yang tampak begitu flawless, menggandeng tangan suaminya. Keduanya menyapa hangat tamu-tamu yang sudah duduk manis di meja-meja panjang di hadapan mereka. Kursi-kursinya nyaris terisi penuh. Semua tamu memancarkan aura bahagia. Energi positif mereka tumpah ruah dan jadi membuatku lebih bersemangat.

"Hayuk rin cepetaan."

Aku bangkit dari kursi dan meninggalkan ruang tunggu tamu VIP. Karin buru-buru menyusulku sambil susah payah berjalan dengan stiletto bermanik-maniknya. Kami menghambur ke arah meja, mengisi kursi yang kosong.

Kinna, sahabatku yang lain, langsung sigap membantu menarik kursi untuk Karin yang ribet dengan gaunnya. Riasan wajah Kinna tampak sedikit menor, dengan lipstik merah menyala dan blush on yang tampak belang bentong. Di pangkuannya duduk putrinya yang berusia 3 tahunan.

Seolah tak cukup sibuk, Karin buru-buru mengangkat teleponnya yang berisik. Lalu berbisik pada seseorang di seberang telepon sambil mengatakan dia sedang berada di pernikahan teman.

Sahabatku yang lain lagi, yang juga memakai gaun bridesmaid merah muda, Lia, duduk di sebelahku. Ia menyenggol lenganku sambil menyapa dengan senyuman. Tanpa mengeluarkan suara karena enggan bikin ribut di tengah pidato mempelai, aku langsung membalasnya dengan pelukan. Di sebelahnya duduk seorang laki-laki yang mengangguk ramah. Suami Lia. Rambutnya terlihat klimis, seperti baru dicukur sebelum datang ke resepsi ini.

Tak butuh lama buatku untuk langsung melempar pandangan ke arah pelaminan. Ke arah sahabatku Elsa yang jadi bintangnya hari ini dan tampak begitu bahagia. Para tamu langsung bertepuk tangan riuh saat Elsa dan suaminya selesai menyapa. Mempersilakan para tamu menikmati hidangan yang tersaji.

Elsa teman lamaku. Sudah lama sekali kami berlima bersahabat, lebih dari 15 tahun. Kami berlima adalah sahabat sejak SMA. Melihat Elsa bahagia membuatku terenyuh. Apalagi mengingat kisah cintanya selama ini yang naik-turun dan banyak diwarnai drama. Rasanya aku seperti seorang ibu yang bangga.

Selintas, aku tiba-tiba memikirkan usia yang nyaris kepala tiga, belum menikah, dengan teman-teman di sekitarku yang sudah menikah. Kecuali Karin, yang sudah setua ini masih hobi putus-nyambung dengan kekasih-kekasihnya dan tampaknya bahagia-bahagia saja. Sementara aku, meski saat ini tidak sendiri, tapi tak pernah membayangkan akan naik ke pelaminan dengan kekasihku yang sekarang. Memikirkan hal ini membuatku semakin galau.

"Seneng banget ya liat Elsa," tiba-tiba Karin memecah lamunanku. Aku mengangguk pelan.

"Tinggal kita berdua deh sar yang masih single... Siapa ya yang kira-kira duluan?" tanya Karin sambil tertawa jahil. Seolah bisa membaca pikiranku.

"Duluan duluan, emangnya balapan?" jawabku singkat.

"Idih kok ketus. Padahal mah mungkin lo yang duluan. Gue kayaknya, haduhh, si Kevin tuh susah deh diajak ngobrol serius. Sibuk kerjaan mulu. Ntar kali ya gue tanya pas anniversary," Karin terus nyerocos.

"Paling bentar lagi udah ganti nama baru lagi," sindirku, yang langsung dibalas Karin dengan tatapan tajam.

"Nikah tuh nggak usah ditarget," sahut Lia yang ternyata dari tadi mencuri dengar.

"Lahh lo mah udah nikah, nggak valid opininya," jawab Karin. Lia cuma tertawa.

"Baru juga gue nikah empat bulan," kata Lia. "Ini tuh nggak ditarget. Ya tiba-tiba aja. Kalian juga nggak usah lah target-target, ntar malah dapatnya asal-asalan, kalo nggak cocok malah bisa masalah. "

Kalau nggak cocok malah bisa masalah...?

"Tuh, sar. Kalo nggak cocok jangan dipaksa," Karin menggoda sambil menyenggol lenganku.

Aku sedikit tersentak di tengah lamunanku. "E-enak aja... Kalo gue sama Galih nggak cocok nggak bakal pacaran sampai dua tahun."

"Eh..kan cocok bukan dari durasi kalii," kata Karin.

Kalimat yang keluar dari mulut Karin seringkali asal-asalan, bukan untuk direnungi. Tapi kali ini, kalimat itu tak bisa pergi dari pikiranku, selama berhari-hari...

Bersambung

My Client is My Ex-FWB [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang