Bali

2.3K 68 0
                                    

Ingatanku tiba-tiba mundur 10 tahun ke belakang. Ketika semuanya bermula pada Maret 2013.

Saat itu aku benar-benar impulsif karena beli tiket pesawat dari Jakarta ke Bali dua hari sebelum keberangkatan. Membobol tabunganku untuk membeli tiket pesawat dan sebagian bekal untuk tinggal di sana.

Apalagi, jujur, saat itu aku belum tahu akan menetap berapa lama di Bali. Aku hanya tahu Bali begitu menyenangkan untuk disinggahi, jadi masalah tinggal berapa lama urusan belakangan saja.

Tidak ada alasan spesifik. Hanya ingin saja dan aku sedikit stres dengan rutinitas kuliah. Aku baru mau memulai skripsi dan setelah lulus tentu bakal bekerja. Bayangan tentang dunia kerja membuatku khawatir bakal tak lagi punya waktu untuk benar-benar bebas. Jadi ku rasa ini waktu yang tepat.

Tapi, ada alasan lain kenapa aku tiba-tiba ke Bali. Ada beberapa orang yang mau ku temui di sana.

Mereka orang-orang yang ngobrol denganku selama sekitar tiga bulan terakhir lewat aplikasi pesan anonim. Entah kenapa, di aplikasi pesan itu banyak ku temui orang-orang yang mencari teman kencan semalam atau sekadar butuh rekan bertukar pesan vulgar. Tapi pada akhirnya, ya, aku jadi bagian dari mereka dan itu cukup membuat ketagihan.

Tapi selama itu aku tidak pernah memperlihatkan wajah pada mereka. Kami hanya ngobrol lewat pesan singkat atau aku mengirimi foto, tanpa menampakkan wajah.

Meskipun, pada akhirnya tiga orang yang akan ku temui ini nantinya bakal melihat wajahku juga.

Mereka berasal dari tiga negara berbeda. Semuanya secara kebetulan sedang dan akan liburan di Bali.

Saat itu ku pikir, kenapa tidak ketemuan saja di sana? Jika mereka macam-macam toh aku tinggal kabur, kembali ke Jakarta. Aku hanya harus sebisa mungkin menjaga rapat-rapat identitasku agar tidak repot di kemudian hari.

Entah apa yang ku pikirkan saat itu, pertemuan dengan dua orang pertama, Harry dan Paul, tidak berjalan mulus. Meski akrab saat ngobrol di dunia maya, kami seperti orang asing saat bertemu langsung. Belum lagi perbedaan budaya yang bikin kami semakin sulit cocok.

Imajinasi liarku buyar.

Pertemuan kami menguap begitu saja.

---


Jujur, aku jadi semakin malas ketemu dengan laki-laki terakhir yang janjian denganku. Bule Swedia bernama Alex, yang tinggal di kota kecil di sana dan rumahnya sangat dekat dengan hutan. Nama kotanya sangat susah dilafalkan apalagi diingat.

Dari ceritanya, setelah lulus kuliah, yang tak pernah disebutnya kuliah apa, atau aku yang lupa, dia bekerja di rumah saja. Mengumpulkan kayu dari hutan untuk dikirimkan ke berbagai perusahaan yang membutuhkan pasokan kayu.

Kegiatan yang terdengar kurang menarik bagiku. Tapi bukan semata karena pekerjaannya. Saat awal berkenalan, aku yang begitu menggebu-gebu dan rajin mengirimkan foto-foto vulgar, tak pernah mendapatkan respons serupa. Dia lebih rajin mengirimi foto sudut-sudut rumahnya yang berdinding kayu, anjing peliharaan, atau suasana hutan saat dia sedang olahraga.

Hal itu juga yang membuat pesan-pesan darinya selalu ku balas terakhir, setelah yang lainnya sudah tidak lagi membalas. Itupun dia relatif pasif dan lebih sering merespons cuma dengan emoji. Sesekali ia mengirimi pesan agak panjang jika kami sedang membicarakan suatu topik yang agak serius. Aneh sekali.

Dia pernah bilang katanya aku berbeda dari perempuan lain yang juga diajaknya ngobrol lewat pesan. Alasannya karena aku bisa diajak berbincang beragam topik.

"Pujian" yang sama sekali tidak membuatku tersipu.

Selama ini, aku bertahan untuk terus berkirim pesan dengannya hanya karena Alex selalu ada. Dia tidak pernah tiba-tiba hilang. Jika percakapan kami berhenti, tak lama dia selalu menyapa duluan.

Singkat cerita, Alex ke Bali untuk berlibur sekalian bertemu dengan beberapa teman sekolahnya yang juga sedang berlibur di Bali saat itu. Semuanya laki-laki. Tapi salah satu di antara mereka membawa kekasihnya.

Satu hal yang membuatku malas adalah dia baru akan ke Bali sekitar dua minggu lagi, sehingga aku harus menunggu.

Tapi ternyata, di luar dugaan, kami ternyata cukup nyambung. Meskipun, awalnya dia orang yang kaku, menghindari kontak mata, dan sulit membuka percakapan. Yah, tak jauh berbeda dari yang ku kenal selama chat.

Ngobrol dengan dia pada awalnya terasa canggung sekali.

Suasana mulai semakin cair setelah *fika pertamaku dengan Alex dan teman-temannya. Terima kasih Hans, salah satu teman Alex yang paling luwes dalam bersosialisasi karena dia kuliah di Inggris dan sering bertemu orang-orang dari berbagai negara. Dia juga sudah pernah ke Bali.

Di usia ini, Hans yang tampaknya anak orang kaya itu sudah membantu bisnis ayahnya dan begitu santai berbincang dengan siapa saja. Karismanya meluap-luap. Tak heran dia bisa menggaet Beth, kekasihnya yang seorang perempuan London. Saat itu juga ikut dalam liburan ini.

Sejak saat itu, aku selalu hadir pada saat mereka mengadakan fika. Alex dan aku, secara mengejutkan, ternyata semakin nyambung dan semakin sering membicarakan topik acak yang seru.

Meskipun, kami punya hobi dan ketertarikan yang berbeda, seperti dia yang suka sekali main di alam, terutama hutan, dan aku tidak. Tapi aku jadi tahu banyak karena dia dan mulai tertarik memperbanyak waktu main ke alam.

Nyaris seminggu aku pergi bersama mereka, hingga pada suatu hari mereka akan pindah tempat menginap dan keluar dari Sanur.

"Sarah, teman-temanku dan aku bakal pindah ke daerah Ubud besok. Kamu ikut?" tanya Alex pada suatu sore, dengan Bahasa Inggris.

Aku tak langsung menjawab karena sebetulnya saat itu aku baru memperpanjang sewa penginapan lamaku hingga tiga hari ke depan. Lagipula, aku bisa saja kan ke Ubud untuk bertemu mereka? Meskipun butuh waktu lumayan dari Sanur dan aku kemungkinan jadi malas sering-sering.

"Kami sewa vila," katanya buru-buru. Bola matanya yang coklat kehijauan menatapku. "Ada beberapa kamar di sana dan teras luas, kolam renang. Mungkin akan menyenangkan. Kamu...nggak masalah tinggal denganku, kan?"

Entah kenapa tanpa berpikir panjang aku langsung mengiyakan.

Sejak sore itu, hari-hariku selama sebulan ke depan tak lagi biasa-biasa saja. Bahkan, bagiku menjadi momen yang tidak akan bisa dilupakan seumur hidup.

Bersambung

*fika = tradisi minum kopi atau teh yang dilakukan orang-orang Swedia untuk bersosialisasi.

My Client is My Ex-FWB [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang