Pamit

498 27 0
                                    

"Hah, Galih mau ketemu? Nggak ah. Ngapain, sih?"

Aku memasukkan barang-barang ke dalam tas untuk bersiap pulang. Karin, dengan kemeja merah muda menyala dan rambut dikuncir kuda seperti Barbie berdiri di samping mejaku.

"Lagian kalo memang mau ketemu, yaudah bisa bilang ke gue langsung, ngapain sih lewat lo," kataku kesal.

"Yah, dia segan kali, sar. Takut ditolak."

"Mau ngomong langsung, nggak langsung juga gue tolak."

Karin berjalan membuntutiku yang berjalan meninggalkan meja. Sesekali aku melambaikan tangan ke beberapa teman satu divisi yang masih ada di kantor sore itu.

"Ya ampun galak banget sih, sar," ucap Karin, sembari ikut mengangguk pada rekan-rekan kerjaku. "Mungkin emang ada yang mau dia tanyain atau jelasin. Gue capek dikontakin mulu sama dia."

"Ya emang Galih mau ngontak lo aja kali?" tanyaku ketus.

"Yehh sar. Mana ada."

"Gue suka mikir kok dari dulu, kayaknya Galih lebih cocok sama lo deh. Sama-sama pesolek, doyan tampil di medsos..."

"Ih, kok jadi gue kena."

Aku mempercepat langkah dan menyelipkan tubuh ke dalam lift yang pintunya nyaris menutup. Karin mengikuti dan berdiri di sebelahku.

"Ketemuannya gue temenin, deh?" katanya setengah berbisik.

"Nggak."

Karin mengikutiku di belakang saat kami keluar lift. Sepatu haknya yang berisik tiba-tiba terasa bikin telinga pengang.

"Ehm, sar. Kalo...orangnya udah di sini, gimana?"

"Hah??"

Belum sempat aku bertanya pada Karin, sosok laki-laki necis dengan kemeja polos biru dongker, celana chino, dan sepatu Vans catur itu sudah berdiri di hadapanku.

Dia lalu tersenyum canggung dan aku, mungkin memasang ekspresi terkejut dan heran sampai-sampai dia jadi ikut heran juga.

"Hai, Sarah. Apa.. kabar?"

---

Sudah sekitar 10 menit aku dan Galih duduk satu meja di coffee shop kantor tanpa bicara apa-apa. Sejak "digiring" ke sini oleh Karin, aku pura-pura sibuk dengan ponsel atau dokumen yang kubawa.

Atau, aku asyik menonton orang-orang pulang kerja berlalu-lalang. Situasi yang tidak terasa asing, karena beberapa bulan terakhir Galih dan aku memang tak banyak ngobrol saat berdua bahkan saat masih berpacaran.

Karin, yang kupaksa duduk di meja yang sama, terlihat susah payah membangun obrolan dan memecah kecanggungan. Aku juga cuma merespons seadanya, seringkali dengan anggukan. Akhirnya dia cuma bertanya soal topik-topik standar pada Galih, seperti macet, cuaca, dan kerjaan.

Karin tidak bisa kabur untuk pura-pura pesan minuman karena minumannya sudah kupesan duluan sebelum duduk di meja. Pokoknya jangan sampai aku dan Galih cuma berdua.

Meski tidak bicara apa-apa, tapi aku terus mengamati. Tampilan Galih, tentu saja, masih sama seperti yang kukenal. Hanya saja dia sedikit lebih pendiam dan kaku.

Sedari tadi, aku menebak-nebak apa yang mau dia bicarakan sekaligus menyiapkan jawaban.

"Eh, rin! Sarah!"

Tiba-tiba sebuah suara yang ku kenal menyapa dari samping coffee shop. Ternyata Anton.

"Eh, Mas Anton!" Karin melambaikan tangan, aku ikut mengangguk. "Eh iya, jadi inget nih ada yang mau gue omongin sama Mas Anton. Sar, gal, gue tinggal sebentar nggak apa-apa, ya?"

My Client is My Ex-FWB [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang