Bali 2

1.3K 30 0
                                    

Maret, 2013

Hari-hari pertama pindah dari Sanur ke Ubud bisa dibilang momen paling bikin canggung sepanjang aku tinggal di Bali. Memang benar, ya. Tinggal satu atap selama 24 jam bikin kita lebih kenal dengan seseorang, daripada sekadar bertemu untuk ngobrol beberapa jam saja.

Meskipun sempat beberapa kali nongkrong bersama Alex dan teman-temannya, tapi sekarang wajah-wajah itu tidak cuma kutemui saat ngobrol di kafe atau bar tepi pantai, tapi orang paling sering kutemui setiap harinya. Belum lagi mereka semua orang Swedia dan aku sama sekali tidak paham bahasa swedia, kecuali "tack (terima kasih)" dan "hej då (bye)", jadi aku sering tidak tahu apa yang mereka obrolkan selama menggunakan bahasa Swedia.

Tapi terkadang mereka cukup peka dengan ngobrol menggunakan Bahasa Inggris saja ketika ada aku, atau Beth. Beth ini pacarnya Hans dan orang Inggris. Sama sekali tidak tahu Bahasa Swedia juga. Dia dan Hans bertemu di kampus mereka di Inggris.

Hal canggung lainnya adalah pada hari pertama aku dan Alex tidur di satu kamar yang sama.

Jadi, vila yang kami sewa adalah sebuah rumah di tengah-tengah sawah, dengan satu bangunan rumah berlantai dua dan kolam renang bersama, tapi dengan tiga kamar terpisah yang masing-masing cukup luas. Semua kamar ada di lantai dua, sementara lantai bawah hanya dapur, ruang makan outdoor, ruang tamu, dan satu kamar tukang bersih-bersih vila (yang hanya datang pagi ke siang hari).

Sebetulnya salah satu alasan aku mau ikut adalah Beth, jadi aku bisa satu kamar dengan Beth. Tapi saat kami tiba di sana, Hans memohon-mohon agar dia bisa satu kamar dengan pacarnya itu.

"Nggak apa-apa, kan?" aku masih ingat kata-kata Hans saat memohon supaya dia satu kamar dengan Beth dan aku sama Alex saja. "Kamu dan Alex juga sudah saling kenal, kan? Kamu..tahu kan selama ini Beth dan aku pacaran jarak jauh setahun terakhir."

Aku mengiyakan saja. Toh, tak bisa ku tolak.

Sebetulnya, aku sudah menduga akan begini. Apalagi sebelum pergi Alex juga tanya, "kamu nggak apa-apa kan kalau tinggal denganku?". Dengan "aku". Bukan "kami". Tapi tetap saja aku degdegan. Segala sesuatu yang "pertama kali" memang selalu bikin khawatir, bukan?

Aku masih ingat tidak bisa tidur pada malam pertama tinggal di vila. Ya bayangkan saja, malam itu aku satu tempat tidur dengan laki-laki yang selama tiga bulan terakhir ngobrol denganku lewat aplikasi pesan dan pernah kukirimi foto-foto vulgar, lalu sekarang kami satu kamar dan satu tempat tidur.

Seolah siapapun bakal tahu ke mana arah ini semua. Tapi pikiranku tidak sekotor itu, lho.

Saat pertama kali bertemu Alex, sebetulnya aku merasakan kecanggungan yang sama. Tapi jujur, kemarin-kemarin kami tidak pernah ada di situasi hanya berdua saja. Selalu ada teman-temannya. Kami sebelumnya juga cuma ngobrol-ngobrol biasa, jadi situasi mudah cair.

Malam itu, aku yang tidur di sisi kanan tempat tidur, berbaring membelakangi Alex. Sebetulnya, lama-lama badanku pegal juga, tapi rasanya canggung sekali kalau harus tidur terlentang, apalagi menghadap ke arahnya. Dan lagi, kami sebetulnya mematikan lampu saat tidur, tapi kamar tidak benar-benar gelap karena ada cahaya lampu tembus dari beranda.

Tapi sepertinya Alex biasa-biasa saja, tidak merasa canggung sama sekali. Tak lama setelah menyentuh tempat tidur, sepertinya dia langsung terlelap. Sementara aku, rasanya sudah lebih dari satu jam memejamkam mata, tapi tak juga terlelap.

Hingga sekitar jam 1 pagi, yang ku lihat dari jam dinding meskipun samar-samar, aku masih juga terjaga. Saat itu ku rasakan lengan Alex memeluk pinggangku dari belakang. Meski pelukannya renggang, tapi aku bisa merasakan nafasnya berembus di tengkukku dan membuatku berdebar. Tapi, entah kenapa, tidak ada niatan untuk memindahkan lengannya dari sana.

My Client is My Ex-FWB [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang