•✿ Part 02 ✿•

45 6 2
                                    

•───────•°•✿❀✿•°•───────•

Donny datang untuk berbela sungkawa. Ia mengusap rambut Vienna. "Yang kuat, ya, Nak."

Vienna mengangguk pelan.

"Ayah!!" Seorang gadis berambut pendek dan berkulit eksotis memasuki Gereja dan menangis sambil memeluk peti mati Ivan.

Vienna menatap gadis itu yang bahkan masih memakai jaket atlet untuk datang ke Gereja. Ya, gadis itu adalah Rhea O. Braden, ia adalah kakak kandung Vienna, putri sulung Ivan Braden.

Rhea seorang atlet jet ski profesional yang waktu itu beritanya muncul di toko Donny saat Vienna datang untuk membeli pensil dan penghapus.

"Ayah!!" Rhea menangis histeris.

Seorang wanita bergaun hitam masuk. Ia berhenti dan berdiri di belakang Vienna dan mengusap rambut gadis itu dengan lembut.

Vienna menoleh. "Ibu."

Wanita itu memeluk Vienna dengan erat sambil mengusap rambut gadis itu. "Sayangku."

Vienna membalas pelukannya.

Wanita itu adalah Mira, ibunya Rhea dan Vienna. Mira dan Ivan berpisah sejak Rhea dan Vienna masih kecil. Rhea ikut ibunya dan tinggal di kota, sementara Vienna ikut ayahnya dan tinggal di bukit dekat pedesaan.

Sebelum Ivan dikuburkan, Vienna memasukkan kalung tentara ke dalam peti mati ayahnya.

Teman-teman Vienna dan wali kelasnya juga datang untuk turut berbela sungkawa. Ayahnya Fernaldi dan rekan-rekan ayahnya sewaktu masih bersatu dalam keanggotaan tentara juga hadir dalam upacara pemakaman.

🌴🌴🌴

Di dalam mobil yang terparkir di depan Gereja, Rhea tampak melamun.

Sementara di depan Gereja, Mira memeluk putri bungsunya, Vienna. "Tinggalah bersama kami di kota. Ibu mencemaskanmu, karena sekarang kau tinggal sendirian di rumah itu."

"Ada penilaian tengah semester minggu depan, aku tidak bisa pindah ke kota sebelum mengikuti penilaian tengah semester dan penilaian akhir semester," ucap Vienna.

Mira melihat ke arah Rhea yang melamun di dalam mobil. "Ibu juga tidak bisa meninggalkan Rhea. Dia sedang mengalami masa-masa sulit yang membuatnya tertekan."

"Kalau begitu, Ibu tetaplah bersama Kak Rhea. Aku tidak apa-apa sendirian di sini. Aku sudah terbiasa. Setelah penilaian akhir semester dilaksanakan, aku akan pindah ke kota dan tinggal bersama kalian," ucap Vienna.

Mira menangkup wajah Vienna. Ia mengecup kening dan kedua pipi putri bungsunya itu.

Sore harinya, Vienna duduk di balkon lantai dua kamarnya. Miky menghampiri Vienna
Anjing itu meringik pelan seolah mengerti dengan keadaan dan turut bersedih atas kematian Ivan.

Vienna menatap gelang kelinci di tangannya. Polisi menemukan gelang tersebut dalam genggaman tangan jenazah Ivan.

Beberapa hari kemudian setelah kematian ayahnya, Vienna mengetahui dari polisi bahwa empat dari lima orang tewas dalam kecelakaan tersebut, termasuk ayahnya. Sementara ada satu orang yang selamat. Saat ini orang itu mendapatkan perawatan khusus di Rumah Sakit, karena koma.

Setelah penilaian tengah semester selesai, sekolah memberikan waktu libur selama satu minggu.

Vienna mendengar kabar kalau teman ayahnya yang selamat dalam insiden kecelakaan itu telah siuman dari koma selama 3 hari. Dengan begitu, Vienna memanfaatkan hari liburnya untuk pergi ke rumah teman ayahnya tersebut.

Rumahnya berada di luar kota, sehingga ia harus naik bus dan taksi.

Sesampainya di tempat yang dituju, istri dari teman ayahnya menyambut kedatangannya. "Kami turut berduka atas apa yang terjadi pada ayahmu dan teman-temannya yang lain."

Vienna mengangguk.

"Lewat sini," kata wanita itu yang mempertemukan Vienna dengan suaminya di ruang keluarga.

Terlihat pria paruh baya duduk di kursi roda menghadap ke jendela. Ia masih memakai penyangga leher. Dengan susah payah, ia menoleh pada Vienna.

"Oh, Vienna."

Vienna melihat bingkai-bingkai foto di dinding. Sama halnya dengan Ivan Braden, pria itu juga seorang pensiunan tentara. Ada beberapa foto muda pria itu yang memakai seragam prajurit bersama Ivan dan beberapa rekannya yang lain.

"Apa keadaanmu sudah membaik, Paman Jack?" tanya Vienna sambil duduk di sofa.

"Kecelakaan itu terjadi karena Sam mengemudi dalam keadaan mabuk. Saat aku terbangun, aku panik dan takut melihat teman-temanku tidak bernapas," ucap Jack.

Vienna tidak merespon. Ia menatap lurus ke depan.

"Selain kehilangan teman-temanku, aku juga harus kehilangan kakiku," imbuhnya.

Vienna baru menyadari kalau kaki Jack diamputasi dan masih diperban. "Apakah... mungkin ada seseorang yang ingin mencelakai kalian? Seandainya ini kasus pembunuhan, aku akan melaporkannya pada polisi."

Jack menjawab, "Entahlah, tapi kurasa ini murni kecelakaan. Kami tidak bertabrakan dengan mobil lain atau ditabrak mobil lain. Kami mengalami kecelakaan, karena mobil yang kami tumpangi menabrak pohon dan jatuh ke jurang."

Vienna mencerna ucapan Jack.

Setelah mendapatkan jawaban yang tidak pasti, Vienna kembali ke rumahnya. Ia masih berpikir jika kecelakaan yang terjadi pada ayahnya bukanlah suatu kecelakaan murni.

Vienna bergumam, "Mungkin saja seseorang menyabotase mobil yang ditumpangi oleh mereka, sebelum akhirnya mereka mengalami kecelakaan."

Vienna yang merasa janggal dengan kematian ayahnya pun melaporkan kejanggalan pada polisi. Namun, bukti kuat mengatakan kalau Ivan dan teman-temannya mengalami kecelakaan murni, bukan karena sabotase. Karena tidak ada tanda-tanda jika mobil yang ditumpangi Ivan dan teman-temannya disabotase.

Vienna kecewa dengan hasil penyelidikan polisi.

Saat tidur sendirian di kamarnya, Vienna teringat dengan sesuatu. Ia mengambil ponselnya lalu mencari sebuah alamat di Google Maps.

Setelah menemukannya, ia pun tidur.

Keesokan paginya, Vienna pergi ke toko Donny. Ia memakai jaket tebal, karena suhu pagi itu sangat dingin.

"Pagi-pagi begini sudah rapi. Kau mau pergi ke luar kota?" tanya Donny sambil memasukkan barang-barang yang dibeli Vienna ke dalam kantong belanjaan.

"Iya," jawab Vienna sambil memberikan uangnya.

Donny memberikan uang kembalian. "Pagi ini kabutnya tebal sekali."

"Terima kasih, Paman."

"Hati-hati di jalan."

Vienna memasuki bus. Ia berniat mendatangi alamat yang semalam dicarinya di Google Maps. Entah siapa yang akan didatanginya.

Vienna menggeser jendela bus untuk menutupnya, karena cuaca semakin dingin. Ia menatap gelang kelinci yang saat ini melingkar di tangan kirinya.

Bus berhenti di pinggir kota. Vienna turun dari bus. Ia berjalan sambil melihat ke Google Maps di ponselnya.

Vienna harus berjalan lagi untuk sampai ke rumah yang dituju olehnya. Ia melewati gang kecil.

Terlihat ada tiga pemuda di seberang sana. Vienna memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya saat melihat tatapan ketiga pemuda itu padanya.

Ketika semakin dekat, Vienna melewati mereka begitu saja.

"Sepertinya kau bukan orang yang tinggal di sekitar sini. Apa kau tidak berniat berkenalan dengan kami?" tanya salah satu dari ketiga pemuda itu.

Vienna tidak mempedulikan mereka. Ia tetap melanjutkan langkahnya seolah tidak mendengar apa pun.

Namun, salah satu dari mereka menarik bagian belakang jaket Vienna. "Kami sedang bicara padamu!"

•───────•°•✿❀✿•°•───────•

08.17 | 1 Januari 2021
By Ucu Irna Marhamah

SISTERHOODWhere stories live. Discover now