19

591 38 1
                                    

Jentikan jari di depanku mengejutkan aku. Aku mundur dan Archer sudah berdiri di depanku. Dia memperhatikan aku dengan seksama. Saat dia menempelkan punggung tangannya di dahiku, aku terkejut. Tanpa sadar aku menepis tangannya.

"Ada apa?" tanyaku sewot.

"Wajahmu merah. Kau sakit?"

Aku meletakkan tanganku di pipiku. Berusaha menyembunyikan apa yang seharusnya tidak diketahui Archer. Perubahanku. "Hanya panas di sini."

"Benarkah? Aku merasa dingin."

Aku mendengus. "Kau bisa mengambil apa pun yang membuatmu turun. Dan naik kembali. Aku harus melanjutkan pekerjaanku."

"Aku hanya mendengar suara ketikan. Jadi aku menghampiri. Kau masih bekerja jam segini?'

"Ada yang harus diselesaikan dengan cepat."

"Kenapa tidak di kamar? Ada meja dan kursi di sana."

"Tyler tidur di sana. Aku tidak mau mengganggunya."

Archer menarik kursi ke dekatku. Pelan aku menjauhkan kursinya, tapi tampaknya sedikit gerakan dariku, Archer akan menyadarinya. Dia sudah meraih kembali kursiku dan menariknya kembali ke dekatnya. Pandangan kami bertemu. Aku dengan kekesalanku, dia dengan tantangan di matanya.

Aku cukup pintar untuk tidak menantangnya. Archer nekat dan kadang tidak tertebak. Aku tidak mau mengujinya. Jadi aku membiarkan kursi kami menempel.

"Tidakkah menurutmu kedekatanmu dan Tyler aneh?"

Aku mengerut. "Kau tidak suka aku dekat dengannya?"

"Bukan seperti itu. Hanya saja terlalu mudah bagi Tyler dekat denganmu. Padahal dengan orang lain dia tidak seperti itu. Tapi denganmu dia membuka tangan selebar mungkin."

"Itu mungkin karena orang lain tidak memperlakukannya dengan tulus."

"Benar juga."

"Kudengar dia anak pungut."

Archer terkejut. "Siapa mengatakannya? Mamamu?"

"Tyler memberitahuku. Jadi, kau memungut anak? Kenapa?"

"Ada yang meninggalkannya di depan pintu. Aku menemukannya dan aku tidak bisa lepas darinya. Aku tadinya berniat menyerahkannya ke panti asuhan, tapi dia mengingatkanku padamu. Jadi aku mengadopsinya dan keputusan itu tepat."

"Karena dia mengingatkan aku padamu?"

"Ya."

"Apa kepergianku sangat mengganggumu?"

Archer mengusap kepalaku. Aku berusaha menjauh tapi dia menahan tubuhku dan memberikan usapan lembut di rambutku. Aku terkejut melihat bagaimana dia menatapku. Kelembutan dan kasih sayangnya.

Kurasa dulu aku buta sampai tidak menyadarinya. Archer menyayangiku. Itu begitu jelas tampak dalam pandangannya. Meski dingin, kehangatan itu saat menatapku memang nyata adanya.

"Sangat mengganggu."

"Kau tidak mau bertanya, kenapa aku meninggalkan rumah ini? Meninggalkanmu dan meninggalkan mamaku sendiri? Bahkan sebelum papa meninggal, aku pergi tanpa sepatah kata. Tidakkah kau penasaran?"

"Aku menunggu?"

"Menunggu apa?"

"Kau sendiri mengatakannya. Aku tahu kau memiliki alasanmu sendiri. Cepat atau lambat, kau pasti memberitahuku. Jadi, aku menunggu."

Dia membuat aku tidak bisa berkata-kata. Saat aku sadar, wajah kami malah semakin dekat. Aku tidak tahu siapa yang memulai duluan tapi tiba-tiba saja bibir kami menempel dan aku terkejut dengan responku sendiri. Aku menyukainya. Seharusnya aku membencinya. Bukankah karena sentuhannya yang membuat aku ketakutan? Tapi kenapa sekarang aku mau lebih?

"Megan!"

Aku mendorong Archer dengan sekuat tenaga. Archer yang tidak siap jatuh ke lantai dengan suara keras. Aku meringis. Apalagi saat Tyler sudah datang ke dapur dan menatap papanya yang menatapku jengah.

Segera kubereskan kertas dan laptopku. Aku meraih tangan Tyler dan membawanya pergi.

"Bagaimana dengan papa?"

"Papamu lagi sibuk dengan lantai dapur. Jangan ganggu dia." Buru-buru aku pergi.

"Megan Henderson!" seru Archer.

Aku mengabaikannya. Aku terlalu malu untuk menghadapinya. Apa yang sudah kulakukan?

Hamil Anak Kakak Tiri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang