22

945 45 6
                                    

Aku menunggunya. Dengan tidak sabar. Jika ada yang harus bertemu pertama kali dengannya, sudah pasti aku orangnya. Aku menawarkan diri dan ini memang penting bagiku. Aku menunggunya di bandara. Menjunjung tinggi kertas yang bertuliskan namanya.

Saat dia mendekat, aku dapat mengenalinya. Calvert Webster. Dia tersenyum padaku dan menyingkirkan kacamata hitamnya. Tanpa sungkan dia langsung memelukku dan membuat aku melotot tidak percaya.

Berusaha aku lepas dari pelukannya yang sedikit mengangkat tubuhku.

"Cal!" seruku setengah merengek.

"Aku tahu kau akan menungguku."

"Kau tahu aku ada di kota ini? Apa kau sungguh datang ke sini karena aku?"

Dia melepaskan aku. Dia menatap aku dengan seringain yang selalu membuatnya tampan. Ah, aku tidak tahu kenapa aku menolak pria seindah ini dulu. Tapi meski sekarang, aku sangat yakin kalau aku tidak menyesalinya.

"Jangan besar kepala." Dia menjentik dahiku gemas.

"Cal!" seruku lagi.

"Bukan karenamu. Aku mencari seseorang yang aku harap ada di kota ini. Dan sekalian aku mau menjalin kerjasama dengan Alatas Harris. Kami memiliki tujuan yang sama. Jadi aku tidak ingin melewatkan kesempatan. Saat aku mendengar namamu dari Alatas, aku tahu kalau aku tidak mengenali orang yang salah."

Aku mencibirnya. "Siapa yang kau cari? Aku bisa menemukannya untukmu."

"Seorang perempuan."

Aku menatap tidak yakin. "Apa aku mengenalnya?"

"Sangat."

"Daisy Ryan?"

Mata Calvert tampak berbeda. "Kau bisa langsung menebaknya."

Aku mengangkat bahu santai. "Tidak ada wanita lain yang bisa bertahan denganmu cukup lama selain dia. Dan jika dia pergi, aku yakin itu kesalahanmu. Seorang Daisy tidak mungkin pergi kalau kau tidak melakukan kesalahan fatal."

"Benar. Salahku."

Aku bersedekap. "Jadi, apa yang terjadi?"

"Mari lewatkan itu untuk nanti."

Aku setuju. Sudah lama kami tidak bertemu. Membahas hal yang sensitif untuknya bukan sesuatu yang ingin kulakukan di pertemuan kembali kami ini.

"Ajak aku makan?"

"Bukankah aku harusnya menawarkan lebih dulu?"

Dia tersenyum lebar. "Menunggumu akan cukup lama. Jadi aku menawarkan, apakah kau akan mengajakku makan? Aku lapar." Calvert memegang perutnya dengan berlebihan.

Aku mendengus dan segera berjalan meninggalkannya. Dia mengejar dengan senyuman kami yang saling dilemparkan untuk satu sama lain.

Aku membawanya ke restoran yang dekat dengan kantor Alatas. Itu akan memudahkannya pergi menemui Alatas.

"Kita harus membahas beberapa hal terlebih dahulu. Aku ingin tahu poin mana yang tidak akan kau setujui. Jadi, Alatas tinggal memberikan pertimbangannya."

"Bukankah kita ke sini untuk makan? Haruskah membahas masalah pekerjaan? Kau seperti biasa."

"Aku tidak mengerti maksudmu seperti biasa." Aku memandang dia memicing.

"Mengutamakan pekerjaan. Bukan perasaan. Bukankah kau selalu seperti itu?"

Aku mendengus. Mengabaikannya. Aku malah mengeluarkan laptopku dan membukanya. Aku mendorong laptop ke depannya dan dia hanya memandang aku dengan merana.

"Kau memang wanita yang kejam."

Aku hanya memberikan gerakan agar dia fokus menatap laptop sambil makan. Dia tidak mengatakan apa pun dan hanya melakukan apa yang aku minta.

Kami makan dengan Calvert yang terus membahas soal beberapa hal yang ingin dia rubah. Aku mendengarkannya dan mencatatnya. Kami melakukannya sambil makan dan itu memang sudah menjadi kebiasaan. Dulu saat aku hamil, aku bertemu dengan Calvert. Dia memberikan aku pekerjaan yang membuat aku berhutang budi padanya.

Calvert adalah pria yang dengannya aku berusaha menjalin asmara. Tapi pada akhirnya itu tidak berhasil. Saat Calvert coba menciumku, aku seperti orang gila yang ketakutan. Aku tidak dapat mengendalikan kekuataanku sendiri. Dan aku memukul Calvert. Mengingat itu cukup memalukan. Calvert juga tampaknya merasa malu, makanya kami tidak pernah membahasnya.

Dan sejak saat itu, aku tidak pernah mau lagi terlibat hubungan dengan siapa pun. Aku menghindari kesalahan yang sama.

Hamil Anak Kakak Tiri Where stories live. Discover now