28: Rumit

225 41 0
                                    

Awan tak berhasil mengejar Bella. Belum sempat ia menyusul gadis itu, bel berbunyi sebagai tanda jam pertama akan dimulai. Dengan berat hati Awan bawa langkahnya kembali ke ruang kelasnya.

Sedangkan Bella kembali ke kelas. Ia yang biasanya merusuh, mendadak hanya duduk anteng menunggu guru bahasa Indonesia datang ke kelas.

Semua orang pasti merasa heran. Apalagi saat melihat Bella meletakkan kepalanya di meja, lalu wajahnya ditutup dengan topi upacara.

Viona mendekati Bella, dipegangnya pelipis Bella, memastikan apakah gadis itu sedang kurang enak badan. "Bel, lo sakit?"

Gelengan pelan Viona dapatkan sebagai jawaban.

"Gue ngantuk, Vi. Nanti kalo ada guru, lo bangunin ya?" balas Bella lirih.

Merasa iba melihat teman sebangkunya itu, Viona pun hanya mengangguk menyetujui meskipun Bella tak dapat melihatnya.

Viona menoleh ke belakang saat dirasa ada tepukan di bahunya. Itu Haris yang menanyakan kondisi Bella tanpa mengeluarkan suara.

Viona pun membalas dengan memberi gestur tidur. "Ngantuk," ucapnya dengan pelan.

"Bilangin Bella, nanti istirahat suruh ke tempat kemarin. Ada yang mau diomongin lagi," kata Haris lagi.

Bella sebenarnya mendengar obrolan Viona dan Haris. Ia hanya berpura-pura tidur karena terlalu malas untuk berbicara dengan orang lain.

Jauh dalam hati Bella merasa sangat sedih kalau ternyata Awan hanya menganggapnya sebagai teman biasa.

Meskipun begitu, gadis itu tetap mengikuti kegiatan belajar mengajar sampai bel istirahat terdengar. Meskipun ia hanya menjadi pendengar pasif.

"Bel, Haris tadi nyuruh lo ke tempat kemarin," ucap Viona.

Bella menganggukkan kepalanya. Ia berpamitan pada Viona sambil melirik Haris yang juga sudah berdiri ingin menghampirinya.

Bella berjalan lebih dulu dari Haris yang membuntuti satu meter di belakang.

"Ada apa?" tanya Bella tanpa basa-basi.

"Kenapa?"

"Apa?"

"Lo,"—Haris menyadarkan tubuhnya di tembok—"ada masalah?"

Gelengan pelan Bella berikan pada Haris. Ia turut menyandarkan tubuhnya di tembok, mengikuti apa yang Haris lakukan.

Bella mengikis jarak antara dia dan Haris. Entah keberanian dari mana, ia sandarkan kepalanya yang terasa berat di bahu kokoh Haris. "Bentar aja ya, Ris," pintanya.

Haris tak memprotes. Ia membiarkan bahunya dijadikan sandaran gadis yang berstatus mantannya itu, sedangkan ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang mengganggu mereka.

"Ada masalah sama Awan?" tebak Haris yang ternyata dibalas anggukan lemas di bahunya.

"Diapain?" Lalu gelengan brutal dirasakan Haris.

Anak laki-laki itu berdecak sebal. Ia memang sudah merelakan Bella, tapi tetap saja ia kesal bukan main jika bocah kelas sepuluh itu hanya main-main dengan Bella.

"Bilang, Bel. Lo diapain sama dia?" paksa Haris yang masih tak direspon Bella.

"Kalau lo gak bilang, biar gue aja yang tanya tuh bocah," ancam Haris membuat Bella segera menjauhkan kepalanya.

"Gak ya! Lo paling ujung-ujungnya adu tonjok sama dia," protes Bella.

Haris menghembus napas kasar mendengar balasan Bella. "Kalau gitu bilang, Bel. Lo diapain sama bocah songong itu?"

"Songong dari mananya? Lo tuh yang songong."

"Udah disakitin pun lo tetep belain dia? Bucin banget lo sama dia?"

Bella berjongkok. Menumpu kepalanya dengan kedua tangan sambil memandang Haris dengan tatapan sebal. "Bukan disakitin," koreksinya.

"Ya terus?"

Kini ganti Bella yang menghela napas berat. "Gue-nya aja yang terlalu ngarep."

Haris mengulurkan tangannya pada Bella, meminta gadis itu berdiri karena ia memakai rok selutut.

"Lo gak akan berharap kalau dia gak ngasih harapan."

Gadis berambut sebahu itu menggerutu dalam hati. Ia memisuhi Haris berkali-kali karena ucapannya benar.

Hah ... Rumit sekali percintaan anak remaja.

PUTIH ABU-ABU [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang