Episode 12 Secangkir Teh dan Semburat Fajar

51 17 0
                                    

"Mas Arka belum tidur?" tanya Mesa keheranan. Ia terbangun dan merasa kehausan, tetapi tak menemukan botol air minum dalam tendanya. Saat keluar, ia melihat Arka di depan api unggun, sendirian sembari menyesap sesuatu dalam cangkir. Ada beberapa orang yang masih terjaga dan duduk di depan tenda mereka, tetapi bukan kru TV9.

Arka melempar senyum dan kembali menyesap minumannya. "Tadi udah. Kebangun terus belum bisa tidur lagi. Belum biasa."

"Kebiasaan tidur di kasur yang empuk ya? Harusnya Mas Arka nginep hotel deket sini aja." Mesa menghampiri lelaki itu lalu duduk di sebelahnya. Arka bergegas menawarkan teh dalam teko yang baru saja dibuatnya. "Hah? Ini teh kapan?"

"Barusan saya bikin. Tadi sempet ngelihat Ucok bikin buat teman-teman kamu yang liputan." Lelaki itu mengelap kacamatanya yang mulai berembun. "Bentar lagi matahari terbit. Tanggung kalau mau tidur lagi. Toh, teman-teman kamu bentar lagi juga pada bangun, mau ngerekam katanya," lanjut Arka tanpa diminta.

Mesa meraih cangkir yang tersedia di hadapannya, perlengkapan yang dibawa kru untuk berkemah di bukit. Mereka sudah terbiasa berbagi cangkir satu sama lain, karena meliput biasanya harus siap dengan berbagai macam medan dan tantangan. Saat Mesa menyeruput cairan kecokelatan itu, ia takjub dengan rasanya. "Kok enak banget?"

"Makasih. Ini racikan spesialku kalau lagi begadang kerja, tapi pas nggak mau ngopi."

"Wah, bahan-bahannya?"

Alis Arka terangkat. "Aku bawa lah dari Surabaya. Jaga-jaga aja sih. Sebelum ini aku nggak pernah pergi jauh dan lama, apalagi bukan urusan kerja. Jadi ya, gitu deh. Aku tuh bukan nggak bisa tidur di kemah, aku cuma nggak suka aja keluar rumah."

"Emang pas di rumah, Mas Arka tidurnya di kemah?" lontar Mesa dengan nada bercanda. Arka hanya menimpali dengan senyum. "Kalau aku sih, bahkan sebelum gabung dengan TV9 ini pun, udah jarang tinggal di rumah. Seringnya jalan-jalan, entah sama temen, atau nginep di kampus. Eh, ketemu kerjaan yang kayak gini. Makin seneng sih. Kapan lagi jalan-jalan tapi dibayarin."

Arka manggut-manggut. "Hmm. Kamu nggak pernah mikir gitu, suatu saat kamu berhenti menggeluti pekerjaan ini, terus harus stay di rumah setiap hari?"

Mata Mesa menatap Arka dengan serius. "Belum, belum kepikiran. Banyak yang bilang, ya ntar kalo aku udah nikah, bakal susah dengan kerjaan ini. Tapi biarin lah. Kayak ... masih lama aja gitu. Entah. Hari esok itu ... seperti misteri yang menyenangkan untuk diselami. Tapi nggak untuk ditakuti."

"Serius? Kamu nggak mikir besok nikahnya pake adat apa, atau dilamar dengan konsep apa, atau minimal berapa tahun lagi gitu?" tanya Arka dengan kedua tangan rapat memeluk cangkirnya.

"Aduh, ampun. Kejauhan, Mas. Pacar belum ada, calon suami apalagi. Aku tuh cuma mau mikir yang udah di depan mata. Kalau sesuatu yang abstrak dan masih misteri, ya udah lihat aja nanti."

"Termasuk pas kita nyasar kemarin kan ya?" Arka tergelak. "Kamu main lompat aja ke angkutan umum, nggak pake nanya dulu, atau mastiin dulu bener apa nggak itu mengarah ke tujuan kamu."

Mesa menggeleng dengan tegas. "Kalau nyasar, ya udah. Bisa cari jalan keluar kan? Lagian perjalanan selama kita nyasar juga bisa dibilang pengalaman yang ... cukup menyenangkan juga."

"Karena ngeliat aku mabuk nangisin mantanku?"

Bibir Mesa terkatup rapat. Namun saat matanya menangkap mimik geli yang terpancar di wajah lelaki berkacamata itu, ia ikut tertawa. "Yah ... salah satunya itu. Mas Arka abis itu masih nangis di pundak aku ngomongin banyak hal lho, Mas. Sori kalo aku jadi mengungkit ... sakit hati Mas Arka lagi."

"Ya udahlah. Udah kejadian. Aku belum mati gara-gara ini, itu yang kupelajari selama berada di sini." Arka mengusap rambutnya, kemudian kembali menyesap tehnya. Terdengar bunyi dering memekakkan telinga dari salah satu tenda, diikuti dengan suara gemerisik kain dan keluhan yang sayup-sayup. Tak lama, bunyi nyaring itu berhenti, tetapi aktivitas di tenda di dekat mereka berdua duduk semakin ramai.

"Kayaknya Mas Arka jauh lebih santai ya sekarang? Padahal pas pertama ketemu, juteknya minta ampun."

Bibir Arka melengkung samar. "Sekarang gini lho. Aku orangnya anak rumahan banget. Mageran. Lembur pun harus di rumah. Terus, sahabatku yang biadap ini, daftarin aku ikut tur seminggu lebih, bahkan dia bela-belain ngajuin cuti ke bos, terus pas udah nganter aku ke pelabuhan, nomerku diblokir sama dia. Biar aku nggak bisa hubungi dia dan kantor. Siapa sih yang mau dalam situasi kayak gitu?"

"Wah, kalau itu aku, ya aku mau aja, Mas. Lumayan kan jalan-jalan ke Lombok." Mesa menyeringai, memamerkan deretan giginya yang rapi. "Tapi emang kita berdua beda banget ya karakternya."

Sebagian kru TV9 sudah bangun dan bersiap-siap. Meskipun wajah mereka tampak kusut, tetapi demi tugas, mereka harus terjaga dan bekerja. Rani sudah tampil rapi dengan riasan lengkap, kemudian mengikuti arahan dari Reza. Mesa pun pamit sebentar dan bergabung bersama teman-temannya. Ucok membersihkan spot untuk Rani, agar bisa disorot tanpa halangan.

Arka hanya memandangi kesibukan kru TV9, merasa canggung karena tidak bisa membantu. Namun, itu pekerjaan mereka, pasti akan sangat mengganggu kalau Arka bergabung dengan mereka sekarang. Lagipula, bisa mengikuti mereka tanpa banyak ditanya saja sudah cukup. Kemudian Arka tersadar mereka sudah tahu masalahnya karena aksinya kemarin. Lelaki itu mendengkus tetapi akhirnya tergelak. Semuanya kan memang murni kesalahannya.

Cahaya lembut berwarna jingga dan sedikit semburat merah muda saling berkelindan di hamparan warna biru dan hitam yang pelan-pelan memudar, sungguh indah memanjakan mata. Arka merasakan kehangatan sinar matahari itu menelusup masuk ke dalam hatinya. Ia baru tahu, bahwa melihat fajar terbit, bisa sesyahdu dan seharu itu. Seharusnya ia bisa menikmati itu setiap hari.

Arka menikmati tetes teh yang terakhir di cangkirnya, kemudian bangkit dan menggeliat. Sudah cukup hangat untuk beraktivitas, bergeliat di tengah suasana yang mulai ramai. Lelaki itu membereskan semua perlengkapannya, kemudian untuk membalas budi karena sudah diizinkan tidur di tenda Ucok, ia membuat teh lebih banyak untuk para kru yang akan menyelesaikan pekerjaan mereka. Ia mencuci cangkir-cangkir yang mereka gunakan tadi malam, yang hanya digeletakkan begitu saja di dekat api unggun. Setelah itu, ia ke tenda Ucok dan mengambil pakaiannya. Ia butuh mandi dan membersihkan diri.

Sayangnya kamar mandi yang tersedia di sana, terkesan seadanya. Arka menghela napas. Memang tidak ada yang sebaik rumah, dan ia pun merindukan betapa nyamannya hunian yang ia tinggalkan beberapa hari ini. Namun, kali ini ia hanya diam dan segera membersihkan badan sebisanya. Ia yakin hari ini mungkin ia akan mengalami peristiwa gila yang lainnya lagi. Yang membuatnya sampai menunda pertemuannya dengan rumah yang sangat ia cintai. Ia ingin menjadi gila kali ini. Hanya untuk beberapa hari ini saja. Demi mewaraskan hatinya sekali lagi.

*episode12*

Hola, setelah ini, kegilaan apa lagi yang bakal dilakukan Mesa dan Arka?

travelove (Diterbitkan oleh Karos Publisher)Where stories live. Discover now