Episode 20 Rendezvous

55 13 3
                                    

Gawai di tangan Arka berdering. Tanpa sadar, Mesa mengembuskan napas lega. Hatinya masih terasa gelisah sementara ia bukan orang yang suka menyembunyikan apa yang ia rasa.

"Mas Arka angkat aja. Aku permisi, mau kerja dulu."

Tanpa memedulikan respons lelaki itu, Mesa memutar tumit, berbalik menjauhinya. Ia butuh sesuatu yang bisa menjernihkan pikiran. Lagipula apapun yang ia katakan, masih bisa ditunda. Tidak saat ini, bukan sekarang. Mungkin nanti.

Arka menatap layar ponselnya dan menghela napas. Jantungnya kini berdenyut nyeri seakan disayat sembilu. Benarkah dia sudah melupakan perempuan ini? Mengapa seakan aliran darahnya bergejolak mengirimkan sinyal amarah setiap nama perempuan itu muncul lagi dalam hidupnya?

***

Di dalam kamar hotel, pikiran Mesa bercabang. Ia ingin sekali mengutarakan perasaannya sebelum tur tidak resminya berakhir. Di sisi lain, perkataan lelaki itu mengenai Luna membuatnya terganggu. Mengapa sih mantan Arka itu tidak melanjutkan keinginannya menikah dan hidup tenang selama-lamanya tanpa harus mengganggu lelaki itu lagi?

Hati Mesa memburu. Ia cemburu. Baginya, Arka memiliki ketulusan hati yang tidak berhak dipermainkan begitu saja oleh perempuan yang hanya memikirkan diri sendiri. Bibir gadis itu mendecih. Tangannya mengepal di sisi badannya, sementara dadanya naik turun karena amarah.

Secepat kilat, Mesa membereskan barang, kemudian mengikuti rombongan rekan-rekan kerjanya. Tidak terlihat Arka di mana pun. Mendadak saja, rasa cemas merambati pikirannya mengirimkan jutaan dugaan dalam kepala. Apakah lelaki itu sedang bertemu dengan Luna sekarang? Apakah mereka akan menjalin hubungan lagi? Tepat di hari di mana perempuan itu seharusnya menikah?

Sepanjang hari, gadis berambut gulali itu tidak fokus. Berulang kali, ia harus merekam untuk laporannya, dan membuat jengkel kawan-kawannya. Namun, profesionalitas di atas segalanya. Jadi Mesa segera mengenyahkan pikiran tentang Arka dan menyudahi perkerjaannya. Setelah itu, ia bertekad untuk menemui lelaki berkacamata yang sudah merajai hatinya itu. Ia harus mengatakannya sekarang, sebelum terlambat.

***

Pada akhirnya, setelah beberapa hari jauh dari rumah, Arka memutuskan untuk kembali. Anehnya, jika pada hari pertama ia merasa merindukan kediamannya yang nyaman di Surabaya, sekarang ia malah enggan meninggalkan kota ini. Di mana ia merasa senang, khawatir, cemas dan panik dalam waktu bersamaan. Ia menyukai sensasi itu, dan ingin mengulanginya lagi. Namun, Mesa sudah hendak pergi hari ini. Apakah setelah ini ia bisa menemui gadis itu lagi?

Lelaki itu kembali bergulat dengan pikirannya sendiri. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, membuatnya semakin terjebak dalam dilema dan kegalauan. Saat Bu Sekar menghubunginya untuk memberikan tiket pulang, lelaki itu masih saja bimbang. Ia bisa saja membeli tiket pesawat yang tidak akan butuh waktu dua puluh empat jam di atas kapal, tetapi kesempatan bertemu Mesa untuk yang terakhir kalinya akan hilang. Namun, ia belum tahu apa yang ingin ia katakan kepada gadis itu.

Detik demi detik berlalu, meninggalkan Arka semakin dalam situasi pelik. Koper dan tasnya telah tertata rapi, bahkan kamar hotel ini pun sudah nyaris seperti saat ia pertama masuki. Lelaki itu menggigit bibir bawah, semakin lama di dalam kepalanya semakin kosong, tak lagi tersisa kata-kata. Arka mendesah.

Ponsel di saku celana berdering. Arka menghela napas, lalu mengangkat semua bawaannya keluar kamar. Ia masih punya satu hari untuk berpikir. Mungkin esok, ia akan sanggup menyusun kata-kata yang terbaik untuk Mesa sebelum mereka meninggalkan pelabuhan Tanjung Perak. Lelaki itu pun meninggalkan hotel dengan taksi menuju pelabuhan Lembar. Ia berjanji akan menemui Bu Sekar di sana, untuk mengambil tiketnya. Lelaki itu merasa bersyukur karena perempuan paruh baya itu masih memedulikannya meskipun ia tidak mengikuti tur yang ia selenggarakan.

Di pelabuhan, sudah banyak orang berlalu lalang, dengan bawaan mereka masing-masing. Arka tidak menemukan Mesa atau kru TV9 di mana pun. Lelaki itu menanti di musala tempat ia pertama kali sampai di pelabuhan ini, berharap bahwa ia bisa menemukan Mesa. Bu Sekar segera menghampiri Arka, memberikannya tiket dan mengucapkan semoga beruntung dengan kisah cintanya.

"Kisah cinta apa, Bu? Saya masih begini-begini aja, lho." Arka menyentuh kacamatanya dengan gugup.

"Alah, arek enom. Wes biasa. Mati satu tumbuh seribu, kata pepatah Mas. Jadi jangan terpaku sama masa lalu. Masa depan Mas Arka masih panjang," tutur Bu Sekar sembari menepuk bahu lelaki itu perlahan.

Setelahnya, mereka bersalaman dan berpamitan. Arka masih menanti kehadiran gadis berambut gulali yang sudah mengajaknya bertamasya dan membuatnya lupa akan sakit hatinya. Namun, saat ia teringat mengenai telepon Luna pagi tadi, seakan ada es yang menyentuh jantung, hingga ia bergidik.

"Mas Arka!" Suara cempreng yang menyapa pendengarannya, membuat Arka menoleh. Akhirnya gadis itu muncul. Dengan ransel yang dicangklong di belakang punggung, Mesa berlari menghampiri Arka dan berdiri di depannya. "Aku mau ngomong sesuatu."

Senyuman kembali hadir dalam wajah lelaki berkacamata itu. "Iya, aku juga. Kamu tenang dulu. Gimana kalo kita masuk ke kapal? Kamu jadi pulang hari ini, kan?"

Gadis itu menggeleng. "Nggak ada waktu. Aku mesti cepet ngomong ini."

"Oke, apa?" Arka menatap wajah gadis itu dengan semringah.

Dengan napas yang masih tersengal-sengal, Mesa memusatkan tatapannya ke arah lelaki itu. Tangannya beberapa kali menepuk dada, demi meredakan jantungnya agar tidak berdegup terlalu kencang. "Aku ... suka sama Mas Arka."

Mimik lelaki itu berubah menjadi terkejut. Matanya terbelalak, sementara tangannya yang hendak mengambil botol minum seakan membeku di udara. Hanya beberapa detik. Setelahnya, tangan Arka beralih ke kepala, menggaruk rambutnya dengan gelisah. Rasanya sungguh aneh.

Tanpa memdulikan reaksi lelaki itu, Mesa melanjutkan, "Aku beneran suka sama Mas Arka. Aku tahu kita cuma bareng-bareng sebentar aja, tapi ... karena perjalanan yang kita lakukan, semua yang Mas Arka lakukan, membuatku memikirkan rumah. Sebuah rumah yang bisa memberikan kenyamanan, setelah kita berlari dalam perjalanan panjang. Rumah adalah seseorang yang kita rindukan, setiap kali kita jauh darinya, ya kan, Mas? Dan bagiku ... sekarang, rumah itu adalah Mas Arka."

Tangan Arka segera terangkat. Setiap perkataan yang diucapkan oleh gadis itu seakan mengobrak-abrik pikirannya, hingga ia tidak tahu harus merespons seperti apa. "Tu-tunggu, Mesa."

Gadis berambut gulali itu berhenti berbicara, memberikan kesempatan kepada Arka untuk mencerna kata-katanya. Ia tahu bahwa lelaki itu pasti merasa bingung karena ini adalah hal di luar rencana. Namun, Mesa hanya ingin mengungkapkan perasaannya sebelum mereka akan berpisah beberapa jam lagi.

"Aku tahu ini mendadak, dan rasanya mungkin terlalu cepat, tapi ... aku cuma mau jujur sama perasaanku sendiri, Mas Arka."

"Mesa ... aku ... sebenarnya ...."

"Tata!" Sebuah suara mengagetkan mereka, hingga serempak menoleh ke sumbernya. Seorang perempuan mengenakan gaun berwarna peach lembut, menghampiri mereka. Sejak awal kali melihatnya, Mesa merasa seolah dunia Arka disedot ke arah perempuan tersebut, tanpa jejak. Lelaki itu seolah terhipnotis, seiring dengan jarak di antara mereka berdua yang kian terkikis.

Perempuan bergaun peach itu memeluk Arka dengan erat, mengabaikan Mesa yang kini harus menelan ludah karena menyadari telah melakukan kesalahan.

"Luna ...." bisik Arka saat gadis itu berada dalam pelukan. Lelaki itu bingung dengan situasi yang dihadapinya, hingga akhirnya ia menatap Mesa memutar tumitnya dan berlari ke arah kapal tanpa bisa ia cegah.

*episode20*

Nah akhirnya ketemu juga deh Arka, Mesa dan Luna.

Padahal, Mesa sudah menyiapkan diri buat nyatain perasaannya, tapi si Arka malah ngang ngong nggak jelas nih.

Akan jadi apakah kisah cinta ini?

travelove (Diterbitkan oleh Karos Publisher)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن