Bab 44

1K 29 6
                                    

"Sebenernya apa rencana Om waktu nikah sama aku? Apa cuma biar menghindari perjodohan tanpa berpikir lebih panjang?" tanya Ceana menyudutkan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


"Sebenernya apa rencana Om waktu nikah sama aku? Apa cuma biar menghindari perjodohan tanpa berpikir lebih panjang?" tanya Ceana menyudutkan. Dipikir-pikir, saat saling bertanya alasan kenapa mau menikah, Abi mengucapkan demikian. Apakah benar tanpa rencana lebih lanjut?

"Maafkan saya, Ceana. Jujur, alasan awalnya memang itu. Saya lelah disuruh menikah, kamu tahu sendiri bagaimana mama saya. Beliau memilihkan calon istri sesuai dengan keinginan dan agar menguntungkan dari segi materi. Saya tidak ingin berakhir seperti papa. Papa menikah lagi dengan wanita yang ia cintai. Meskipun mama dan papa tidak bercerai, keluarga saya tidak baik-baik saja, Ceana. Saya tumbuh dengan kekosongan, mama saya mungkin tau, tapi lebih memilih reputasi yang menjadikannya bertahan sampai sekarang. Bukan demi saya. Bisa kamu bayangkan selama ini saya hidup seperti apa? Kedatangan Adzkiya seperti angin segar, di mana ia mengerti bagaimana harus mengisi sisi yang kosong dalam hidup saya. Tapi lagi-lagi mama berulah, beliau yang memisahkan kami saat itu. Latar belakang keluar Adzkiya yang bisa dibilang tidak setara menjadikan kami harus berpisah. Tapi kami tidak pernah putus. Kesalahan saya adalah tidak berusaha mencarinya. Alih-alih mencari cinta saya yang hilang, saya justru memilih kamu untuk saya nikahi. Saya memang pengecut, Ceana. Maaf sudah merusak masa depanmu," ujar Abi penuh emosi. Diakhir terdengar tangisan Abi.

Kepala Abi tertunduk. Ceana mendekat dan memeluknya. "Maaf, maaf terlalu keras, Om. Tapi aku harus tegas. Ini juga untuk kebahagiaan Om. Untuk sejenak, menangis lah, Om."

Ceana memeluk tubuh yang ukurannya lebih besar daripada badannya. Abi terisak, emosi yang ia tahan akhirnya keluar juga. Marah, sedih, kecewa, menjadi satu. Ia sama sekali tidak menyalahkan Ceana. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Bagaimana bisa seorang lelaki yang sudah berkepala tiga mengambil keputusan tanpa berpikir panjang.

Setelah lebih tenang, Ceana membuka suara lagi. "Kalau memang kebahagiaan Om ada padanya. Aku akan mundur, Om. Mungkin memang benar, orang lama akan tetap menjadi pemenang. Mungkin memang sudah cukup sampai di sini usahaku untuk mempertahankan rumah tangga kita. Karena untuk mempertahankan hubungan butuh dua orang, tapi sepertinya hanya aku yang ingin bertahan. Daripada dipaksakan lebih baik kita akhiri sampai di sini. Untuk masalah ayah dan bunda, aku akan mengatasinya," ucap Ceana menyimpulkan. Karena sepertinya usahanya tidak membuahkan hasil. Jadi quotes yang mengatakan orang lama akan selalu tetap menjadi pemenang apakah ada benarnya?

Ceana mengambil jarak. Ia berdiri di sisi lain tempat tidur. Sementara Abi mulai mengakat kepalanya. "Om benar, waktu tidak bisa digantikan. Baik waktu dimasa yang lalu ataupun di masa depan nanti. Seumur hidup terlalu lama jika aku memaksakan Om untuk bersamaku. Bahagia Om ada padanya. Mungkin benar katanya, sejak awal aku sudah kalah. Harusnya aku tidak mengambil langkah sampai sejauh ini. Karena pada ujungnya, aku menyakiti diriku sendiri dan Om Abi," ujar Ceana memilukan.

"Terima kasih untuk beberapa bulan yang sangat berarti, Om. Untuk resepsi, mungkin lebih baik dibicarakan dengan wanita Om saja. Aku mundur, Om. Sekeras apapun aku berusaha, tidak akan bisa mengantikan dia. Hati dan tubuh Om sudah dimilikinya. Aku kalah, aku akan mengatakan pada ayah ketika beliau pulang nanti. Om engga perlu khawatir soal aku. Engga ada yang perlu dikhawatirkan, ayah pasti paham. "

Abi membiarkan Ceana melangkah pergi. Dengan hati-hati Ceana menutup pintu kamar mereka. Sebelum melangkah lebih jauh. Ditatapnya pintu kamar itu. "Sejak awal aku tau bahwa aku tidak akan menang. Lagi-lagi keras kepalaku yang menghancurkan diriku sendiri. Terima kasih, Om. Sudah mengajariku banyak hal, ternyata menjadi dewasa serumit ini," gumam Ceana kemudian turun. Ia menuju kamar mandi di bawah untuk menghilangkan jejak air matanya.

Di kamar, Abi bingung, bukankah harusnya bahagia Ceana tidak terluka lebih dalam lagi? Tapi mengapa ada ketidakikhlasan dalam dirinya. Sebenarnya apa yang ia inginkan?

Ponsel Abi berdering, dengan terpaksa Abi berjalan gontai ke meja rias di mana ponselnya berada. Adzkiya, nama yang tertera di sana. Nama yang tiba-tiba muncul lagi dan mengobrak-abrik kehidupannya. Jadi, apakah ia kembali hadir untuk menjadi pasangan hidupnya? Atau sebatas sebagai penguji saja?

"Halo, Bi. Terima kasih sudah memilihku. Aku yakin kamu tidak salah pilih. Mari kita lanjutkan mimpi kita yang tertunda, Bi. Bisa kita segera bertemu? Aku tidak sabar untuk memelukmu," oceh Adzkiya riang di seberang sana. Ya, Ceana memberitahukan pada wanita itu. Jika dirinya tidak bisa membuat Abi bahagia dengan kehadirannya, ia masih bisa membuat Abi bahagia dengan mempersatukan mereka bukan?

"Halo, Bi. Kamu dengerin aku kan? Halo." Alih-alih menjawab sapaan Adzkiya. Abi memilih mematikan sambungan telepon tanpa merespon. Ia perlu mencari Ceana sekarang.

Langkahnya dengan cepat mencari Ceana, ketika sampai di bawah. Ia melihat Ceana yang barusaja keluar dari toilet. Segera menghampiri dan bertanya adalah hal yang dilakukan Abi sekarang.

"Kenapa kamu memberitahunya? Apakah kamu benar-benar akan mengakhiri pernikahan ini? Coba pikirkan lagi, Ceana. Bagaimana dengan respon keluarga kamu nanti?" tanya Abi cemas. Entahlah, rasanya tidak menyenangkan mengetahui kenyataan bahwa Ceana akan segera pergi dari hidupnya.

Dengan mata yang masih memerah khas orang sehabis menangis. Ceana memaksakan bibirnya untuk tersenyum. "Apa lagi yang harus dipertahankan, Om? Pernikahan pura-pura kita? Apa yang mendasarinya? Bukankah akan terlalu menyakitkan bila terus dilanjutkan? Apa bedanya Om Abi dengan Papa kalau begitu? Aku hanya membantu agar Om Abi bisa bahagia tanpa harus seperti papa. Ini keputusan terbaik yang bisa kita ambil, Om."

Lagi-lagi bukannya merasa lega ada beban berat yang dirasakan Abi. "Kamu bagaimana? Saya sudah menghancurkan masa depanmu. Biarkan kita bertahan, ya? Biar saya menebus kesalahan saya yang tidak berpikir panjang dalam mengambil keputusan. Jangan berpisah, ya?" tawar Abi.

Mungkin terdengar menggiurkan, tetapi rasanya justru menyakitkan bagi Ceana. "Bertahan untuk apa, Om? Untuk saling menyakiti? Apa yang harus dipertahankan? Bertahan hanya akan membuat kita berdua menderita. Biarkan aku yang pergi, ini semua juga akibat kecerobohan aku masuk kamar tamu waktu itu. Jadi Om engga perlu bertanggungjawab penuh. Karena aku juga ikut andil dalam kekacauan ini."

Hening, ya. Bahkan anginpun engga lewat diantara ketegangan sepasang insan berlainan jenis itu. Ceana dengan senyum palsunya, dan Abi dengan rasa bersalahnya.

"Ada baiknya Om segera mengurus surat perceraian kita. Biar bisa secepatnya Om menikah dan bahagia bersamanya. Kalau begitu aku pamit," ujar Ceana ingin pergi untuk mengambil tasnya di kamar. Namun, tangan Abi mencengkal tangannya.

Ditariknya tubuh istrinya sehingga menubruk badannya. "Haruskah kita berakhir seperti ini, Ceana?" tanya Abi berbisik sembari mendekap tubuh mungil istinya.

1025 kata

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

1025 kata

Mendadak Jadi PasutriWhere stories live. Discover now