Bab 47

963 20 0
                                    

Adzkiya menarik tangannya dan terlepas dari genggaman Abi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Adzkiya menarik tangannya dan terlepas dari genggaman Abi. "Kenapa diam? Jika memang tidak bisa katakan saja, Bi. Tapi kamu harus memilih dengan yakin. Aku atau istrimu? Kamu tidak bisa mendapatkan keduanya!" Dengan tegas Adzkiya mengatakannya. Meski sekarang resiko untuk ditinggalkan lebih besar, tapi apa gunanya juga terus bertahan bila Abi tidak lagi mencintainya? Lebih baik pergi dengan kenangan bahagia saat dulu Abi mencintainya daripada bersama, tetapi hati Abi sudah bukan miliknya.

"Kembali ke pertanyaan awal. Apakah saat kita kembali bertemu kita masih sama?"

Adzkiya yang tidak mengerti arah pembicaraan Abi bingung. "Apa kamu menyalahkanku karena mengusik kehidupan barumu dengan istrimu itu? Apa di sini hanya aku yang bersalah? Bagaimana denganmu? Bukankah ada sisi dalam dirimu juga menginginkan kita bersama? Lalu Mamamu? Bukankah beliau juga turut andil dengan pertemuan kita saat ini?" Karena perasaan wanita mudah tersentil. Adzkiya merasa disalahkan. Memang jika publik tau ia akan dihujat, tapi jangan lupa kalau Abi juga mau. Jangan salahkan wanitanya saja, lol.

"Kamu benar, aku juga salah. Harusnya dari awal aku sadar. Pertemuan kembali kita, sudah banyak yang berubah. Terutama aku dengan statusku. Saat kamu kembali statusku adalah suami orang. Tapi aku tidak bisa menahan perasaan yang mungkin bisa dibilang euforia melihat cinta pertamaku ada di depan mata." Abi tidak mengelak, ia salah. Seperti ungkapan klise, bukankah manusia memang tempatnya salah? Ingin rasanya Abi berlindung pada ungkapan itu, tetapi terlalu pasaran. Tidak kreatif bukan?

"Apa kamu merasa setampan itu, Bi? Sampai-sampai diperebutkan dua wanita?" tanya Adzkiya dengan satire.

"Aku memang tampan, Adzkiya. Buktinya kamu masih menginginkan aku. Tapi ada yang lebih penting kenapa aku mempertimbangkan kebersamaan kita kembali." Abi menjawab dengan diakhiri penasaran oleh Adzkiya. Di situasi seperti ini tetap saja narsis.

Adzkiya sempat tersenyum di awal. "Dasar, kamu memang tidak berubah, hanya statusmu yang berubah."

Abi tersenyum, setidaknya suasananya sedikit lebih cair. Ia lelah suasanya tegang melulu. Rahangnya tidak taha  berekspresi sama dengan waktu yang lama. Bagaimana jika ketampanannya terpengaruh? Maka dari itu pancingan humor tidak terlalu masalah.

"Alasan aku mempertimbangkan untuk kembali adalah ketulusanmu. Kamu tulus mencintaiku tidak seperti gadis lain yang menginginkan harta juga kedudukan. Keunikanmu juga membuatmu menarik di mataku. Dulu aku berpikir sangat bersyukur mendapatkan wanita seperti dirimu. Sekarang, aku juga melihat hal yang sama pada Ceana. Bedanya aku lebih tua, sementara dulu kita seumuran. Mungkin itu yang mengakibatkan aku ragu. Dan soalnya jatuh cinta. Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Kamu tahu sendiri soal perasaan aku sulit mengerti," ungkap Abi. Ya, baik Ceana ataupun Adzkiya salah satu kesamaannya adalah ketulusan dalam mencintai.

"Tidak bisakah kita hidup bertiga?" tanya Abi polos.

Bola mata Adzkiya membesar. Gila. Tidak mungkin. "Jangan berpikir macam-macam. Itu kegilaan yang tidak akan pernah terjadi. Memangnya kamu sesepesial itu? Jangan berpikir yang tidak mungkin terjadi, Bi!" tegur Adzkiya.

Mendadak Jadi PasutriWhere stories live. Discover now