🍁 Dua Puluh Empat | Mereka yang Tak Selamat 🍁

47 7 142
                                    

Mumpung otak lagi lurus, nih aku kasih update an terbaru😊

Mumpung otak lagi lurus, nih aku kasih update an terbaru😊

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

"Aku berangkat dulu, Ma." Nara sudah selesai sarapan dan berdiri menyandang tasnya.

Di ruang makan hanya ada Nara dan Fadira karena Alvin sudah berangkat ke kantor sejak pagi.

"Eh, eh, tunggu, tunggu," cegah Fadira saat Nara mau melenggang pergi.

Nara menoleh dengan tak sabar. "Apa lagi sih, Ma? Aku lagi buru-buru, nih. Takut telat."

"Kamu jangan pura-pura lupa ya, sama janji kamu."

Nara bingung. "Janji? Janji apa sih, Ma?"

Fadira menatap Nara dengan tatapan sedikit kesal karena pasti anak gadisnya itu melupakan janjinya---atau pura-pura lua. "Mana katanya kamu mau kenalin pacar kamu ke Mama sama papa? Kok belum diajak ke sini juga?"

Nara baru ingat tentang janjinya supaya diberi izin pergi ke Puncak waktu itu. Bukannya dia sengaja melupakannya, tapi memang benar-benar lupa. "Oh ... soal itu. Maaf ya, Ma. Aku lupa."

"Kamu ini kalo menyangkut hal-hal yang penting buat Mama, gampang banget dilupainnya?" dengkus Fadira. "Jadi kapan kamu mau ajak pacar kamu ke rumah?"

Nara memutar bola matanya plus memutar otaknya. Sampai sekarang dia belum berhasil membicarakan hal ini dengan Marvin. "Ya ... ya nanti deh, aku kabarin, Ma."

"Bener, ya? Mama mau dapet kabarnya hari ini juga. Nggak bisa nunggu kelamaan lagi."

"Iya, iya, Mama. Ya udah, aku berangkat dulu. Ntar kalo telat bisa dihukum sama pak Ridho hormat bendera sampe jam pulang sekolah."

"Ya sudah sana. Hati-hati," pesan Fadira.

🍁🍁🍁

Nara berjalan santai di teras sekolah dengan wajah yang ceria seperti biasanya. Namun, wajah cerianya berubah menjadi berlibat-lipat lebih ceria saat sepasang netranya menangkap sosok yang sangat dikenalnya sedang berjalan beberapa meter di depannya. Dengan wajah berbinar, gadis itu langsung berlari dan memeluknya dari belakang.

"Papa Marvin." Nara menyapa dengan penuh percaya diri.

Marvin tentu terkejut mendadak ada yang memeluknya dan menyapanya dengan nama panggilan yang membuatnya merinding itu. Tanpa melihat siapa orangnya, laki-laki itu sudah tahu pelakunya. "Ayo putus."

Nara melepaskan pelukannya dan berpindah berdiri di depan Marvin. Menatap pacarnya itu dengan wajah cemberut. "Marvin, jangan mulai, deh."

Marvin Untuk NaraDonde viven las historias. Descúbrelo ahora