30. PANIK

239 48 9
                                    

Suara ricuh dari luar sekolah membuat beberapa dari mereka merasa terganggu. Para wartawan, merekalah yang membuat kericuhan di sebuah sekolah yang tengah heboh karena kasus menghilangnya 20 murid. Ya, SMA Cakrawala, di mana sekolah tersebut adalah tempat yang dijadikan untuk menuntut ilmu oleh Geng A6 dan Gadis Kembang.

Beberapa satpam yang bekerja menjaga sekolah pun sedikit kewalahan untuk menghalangi wartawan supaya tidak masuk ke area gedung SMA Cakrawala. Bahkan, tukang kebun dan guru laki-laki di sana sampai turun tangan untuk bisa menjaga sekolah supaya para wartawan itu tidak menghalangi jalan masuknya gerbang utama.

Dua sosok lelaki yang sedari tadi menjadi incaran wartawan baru saja memarkirkan mobil di parkiran sekolah. Arion, lelaki tersebut menoleh ke sepupunya dan bertanya, “Lo udah siap ditanya-tanya?”

“Nggak. Kalo bisa kabur, kenapa enggak?” ucap Abyan—sepupu Arion--dengan santainya.

“Jadi, lo mau biarin tuh wartawan di depan sekolah kita gitu?” tanya Arion. Jujur saja, dia sudah sangat panik karena kejadian yang telah diperbuatnya.

Abyan menghela napas jengah. Dia menoleh dengan tatapan datar sekaligus berdecak kecil, “Terus lo mau gimana? Jawab semua pertanyaan gak jelas dari wartawan itu? Emang lo berani? Kalo keceplosan gimana?”

Arion menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Menyandarkan tubuh di kursi mobil, dan sedikit mendongak ke atas serta meraup wajahnya karena merasakan sedikit stress. “Ck, tau gini bolos aja kita, Yan.”

“Sampe kapan?”

“Sampe gosipnya berhentilah!”

“Daripada lo pusing-pusing, mending kita turun. Lo ke kelas, gue ke kelas. Gue yakin wartawan juga gak mungkin masuk sampe ke dalam kelas,” ucap Abyan sembari memegang tangan kanan Arion. Lelaki itu juga merasa khawatir, karena dia juga terlibat dalam masalah ini. Teman sekelasnya pasti bertanya tentang mereka.

Mungkin … itu akan lebih horor daripada pertanyaan yang diajukan para wartawan. Bisa jadi teman-temannya nanti akan memojokkan mereka? Mengira bahwa mereka adalah pembunuh? Bisa jadi, ‘kan?

Isi kepala Abyan dan Arion sama. Sama-sama khawatir akan apa yang terjadi selanjutnya.

“Lo tenang, ada gue. Kita harus saling support. Kalaupun emang harus masuk penjara, kita bareng-bareng,” kata Abyan dengan sedikit getir saat mengucapkannya. Bagaimana tidak? Jika kasus ini terus diusut, maka keduanya akan tetap berurusan dengan pihak berwajib. Gea pun mungkin akan terkena juga karena gadis berusia 13 tahun itu mendukung dua abangnya. Walau hukuman Gea pasti tidak akan seberat dua lelaki itu.

Setelah dirasa cukup tenang, alhasil Abyan dan Arion turun dari mobil mereka. Benar saja, para wartawan masih sibuk memaksa untuk masuk ke area sekolah mereka, padahal jelas-jelas sudah dilarang oleh pihak sekolah.

“Ayo! Malah ngelamun,” ajak Abyan. Mereka sempat melihat ke arah gerbang, memastikan keadaan. Dan, Arion malah menatap kosong karena kepalanya lebih berisik daripada para wartawan itu.

Arion menghela napasnya, kemudian melangkahkan kaki mengikuti Abyan menuju kelas masing-masing. Kelas Arion lebih dulu sampai, karena lelaki itu masih kelas 11, sedangkan Abyan kelas 12. Sesampainya di depan kelas Arion, Abyan pun berkata kepada sepupunya itu.

“Kalo ditanya teman sekelas lo, bilang aja lo gak tau apa-apa. Kita kehilangan jejak pas pulang karena mereka masuk ke hutan,” kata Abyan sembari menepukkan bahu Arion.

Arion menatap Abyan lamat-lamat, setelah itu memeluknya. “Lo tetap bakal di sisi gue, ‘kan, Yan? Gue takut, gue gak bisa sendirian. Gue … nyesal udah bun—”

“Sssttt, jangan dilanjutin. Ntar kedengaran yang lain,” sela Abyan sebelum Arion selesai berbicara. Pelukan pun terlepas. Arion menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan, sedangkan Abyan tersenyum menyemangati sang sepupu. “Udah sana, masuk! Sekalipun harus tanggung jawab, kita laluin bareng-bareng. Yang penting dendam lo udah terbalas, ‘kan?”

“Hm. Thanks, Yan.”

Tanpa keduanya ketahui, seseorang sudah mengintai dari dalam kelas yang berada di lantai 2 melalui jendela. Dia, lelaki penuh luka yang memiliki bukti untuk mengungkap kejahatan Abyan dan Arion. Namun, memang belum saatnya dia memunculkan wajah.

“Setelah jam pelajaran pertama selesai, lo berdua pasti bakalan kaget,” gumam seseorang penuh luka itu dengan senyum sedikit miring.

***

Jika pagi tadi SMA Cakrawala dipenuhi wartawan di depan gerbang, kini suara sirene dari mobil polisi mampu menyita perhatian murid-murid di sana.

Baru satu hari 24 jam, tetapi pihak berwajib sudah gerak cepat. Ya, itu berkat si pelapor yang sekarang tengah berada di ruang kepala sekolah juga. Dia sudah siap menerima apa pun yang akan terjadi jika dirinya berbohong. Namun, ini semua adalah fakta. Bukti yang ada di tangannya adalah sebuah kenyataan.

“Selamat pagi semua. Bagi siswa bernama Abyan Yanuar Alexander dan Arion George Danuarta, dimohon untuk ke ruang kepala sekolah sekarang. Sekali lagi saya minta untuk siswa bernama Abyan Yanuar Alexander dan Arion George Danuarta diharapkan untuk ke ruang kepala sekolah sekarang. Terima kasih.”

Suara dari speaker yang tersedia di setiap kelas terdengar memberikan informasi untuk memanggil dua siswa yang memang tengah bersangkutan dengan berita-berita terkini.

Seseorang di mana adalah si pelapor yang tengah duduk di kursi tamu ruangan kepala sekolah pun menunduk hormat untuk berterima kasih kepada kepala sekolah yang telah memanggil dua siswa bermasalah itu. Lalu, tiga menit kemudian bersamaan dengan datangnya para polisi, datanglah Abyan dan Arion lalu masuk ke ruang kepala sekolah setelah diberikan izin.

Betapa terkejutnya Abyan dan Arion ketika melihat siapa seseorang yang sudah duduk tenang di ruangan tersebut. Matanya tidak bisa berbohong bahwa lelaki yang kini tengah duduk diam sembari menyunggingkan senyum sedikit miring itu memendam sebuah dendam.

"Baik, Bapak polisi dan Abyan serta Arion dipersilakan duduk," ucap kepala sekolah SMA Cakrawala.

Dua polisi dan dua siswa bermasalah itu pun duduk, di mana Arion duduk di sebelah siswa yang membuat jantungnya kini berdegup kencang.

K-kok ... dia bisa masih hidup? batin Arion.

Bagaimana tidak? Arion merasa bahwa siswa ini sudah pasti mati dan tidak mungkin hidup kembali.

Abyan yang merasa kalau ada kepanikan di dalam diri Arion pun langsung meraih tangan saudara sepupunya itu untuk digenggam. Lalu, keduanya sama-sama menoleh hingga bersitatap, di mana ada sirat ketakutan yang mendalam dari mata Arion, sedangkan Abyan mencoba untuk menenangkannya. Wajah Arion tidak bisa dielak bahwa lelaki itu benar-benar merasakan takut.

Kehadiran siswa itu benar-benar ancaman bagi mereka.

"Baiklah. Daripada membuang waktu lama, saya akan bertanya basa-basi kepada Nak Arion dan Abyan. Sebenarnya sangat basa-basi, tapi saya rasa ... kalian berdua mengerti maksud saya," ujar kepala sekolah karena dirasa suasana di ruangannya menjadi tegang.

Peluh Arion sedikit demi sedikit keluar dari pelipis. Tangan yang digenggam oleh Abyan itu gemetar, merasakan panik yang tidak mungkin ia tunjukkan langsung kepada mereka. Namun, sepertinya hari ini bukanlah keberuntungan keduanya dan cara bermain mereka bukan balas dendam yang berhasil, tetapi membawa mereka ke jurang yang lebih dalam.

Kepala sekolah tersebut menatap penuh curiga ke arah Arion, sedangkan Abyan tampak biasa saja. Setelah menatap dua siswanya itu, kepala sekolah beralih kepada satu siswa lain yang membawakan barang bukti kepadanya.

Mulutnya terbuka sembari menyodorkan ponsel milik si siswa yang melaporkan, lalu berkata, "Irham, coba tunjukin video itu ke mereka, supaya mereka bisa jelasin itu semua."

Siswa yang diketahui bernama Irham itu tersenyum tipis dan mengambilkan ponsel itu dari tangan kepala sekolah. "Baik, Pak."

[Bersambung]

13 ANAK REMAJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang