16.2 Komitmen Untuk Tidak Berkomitmen

726 156 11
                                    

Mengapa hari libur terasa begitu cepat berlalu adalah sebuah misteri yang belum terjawab sampai saat ini. Rasanya, baru kemarin Sue menginjakkan kakinya di tanah kota Sault yang tenang dan sunyi, ketika sekarang ternyata ia sudah harus pulang.

Kembali ke hiruk pikuknya kota New York. Kembali ke rutinitasnya mengajar setelah liburan musim dingin usai. Dan kembali berada di apartemen Zac. Kali ini, Zac ikut pulang bersamanya dan Mary. Pria itu berkata jika ia harus segera kembali bekerja dalam beberapa hari.

Itu memang bukan masalah besar, toh, mereka pulang ke tempat yang sama. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah, Zac seakan tidak ingin menjauhkan dirinya dari Sue semenjak malam natal.

Mereka memang masih bertemu diam-diam saat Zac menginap, atau Sue akan berpura-pura olahraga untuk pergi ke rumah Zac. Dan sebenarnya itu sudah cukup berhasil tanpa ada yang mengetahuinya.

Namun, setiap kali ke rumah, Zac selalu berada dekat-dekat dengannya. Pria itu selalu duduk di dekatnya saat sarapan. Memberikan bagian daging yang tidak Zac sukai padanya. Mengambil kacang polong yang tidak ingin Sue makan dari piringnya. Dan bahkan, sekarang ini, meminta pada Mary untuk duduk di sebelah Sue saat mereka berada di dalam pesawat.

Jika pandangan curiga dari Zoe tidak berarti apa-apa, maka kerutan di kening Mary seakan menuliskan jika gadis itu mencium sesuatu yang tidak beres di antara mereka berdua. Sue tahu ia akan segera disidang nanti begitu mereka berdua berkesempatan bertemu di studio.

"Zac, kau benar-benar berlebihan kali ini. Semua orang memandang kita dengan curiga."

Kepala Zac melongok ke lorong di mana semua penumpang sibuk dengan urusan mereka masing-masing atau tertidur. "Tidak ada yang memperhatikan kita." Lalu ia menoleh pada Mary yang duduk di baris samping mereka. "Bahkan Mary, aku rasa sedang bermimpi indah."

Sue mencibir. "Kau tahu bukan itu maksudku, Bodoh! Seharusnya kau tidak berada dekat-dekat denganku ketika kita masih di rumah. Zoe pasti sudah berspekulasi macam-macam sekarang."

"Biar saja. Dia memang suka sekali berspekulasi tentang hal yang tidak-tidak. Yah, kurasa itu karena dia seorang penulis," jawab Zac santai sambil menaikkan bahunya.

Gerutuan Sue kembali tertelan saat ia mendengar cara menjawab Zac yang santai itu. Pria ini seperti bukan Zac. Orang yang duduk di sampingnya ini adalah orang asing yang tidak Sue kenal. Zac tidak mungkin sesantai ini.

Seumur hidup mengenal Zac, pria itu tidak pernah berubah sejak dulu. Zac selalu menjadi pria dingin, serius, dan kaku. Namun, pria yang tidak mau jauh-jauh darinya ini adalah pria ceria, santai, dan selalu tersenyum. Sesuatu yang sangat jarang Sue lihat.

"Boleh aku tahu mengapa kau tampak begitu bahagia?"

"Kita akan segera pulang ke rumah," jawab Zac dengan ceria.

Kata-kata itu, pulang ke rumah, membuat hati Sue menghangat. Seandainya memang seperti itu adanya. Seandainya mereka benar-benar pulang ke 'rumah', tentu itu adalah suatu hal yang sangat membahagiakan.

Namun, konsep 'rumah' dalam bayangan Zac tentulah berbeda dengan 'rumah' yang Sue bayangkan. Rumah bagi Zac adalah apartemen luas, dingin, dan mewah di pusat kota Manhattan yang sangat jarang ia tinggali kecuali saat sedang libur bekerja. Sementara rumah bagi Sue adalah Zac.

Ya, Zac adalah rumahnya. Seseorang yang pernah memiliki hati Sue di masa-masa remajanya, dan kini kembali memiliki hatinya. Seseorang yang tidak ingin Sue tinggalkan, tetapi ia tahu suatu saat ia harus pergi. Bukankah semua orang pada akhirnya akan pergi dari rumah mereka? Senyaman apapun rumah itu baginya.

"Dan kita tidak perlu sembunyi-sembunyi seperti kemarin," bisik Zac di telinganya. "Aku sudah ingin menidurimu di sofa tahu," tambahnya dengan nakal.

Diam-diam, Sue menahan gumpalan emosi yang tiba-tiba menyerangnya itu. Benar kan bahwa apa yang mereka pikirkan itu sama sekali berbeda? Apa yang ada di kepala Zac hanyalah menidurinya. Tidak ada hal lain yang menyertainya.

Ia tersenyum, semanis mungkin, pada Zac, dan berkata, "Yah, aku juga sudah tidak sabar untuk itu."

Mata hijau Zac menatapnya dengan padangan panas yang biasanya membuat sekujur tubuh Sue seperti dialiri listrik. Akan tetapi, tidak kali ini. Ia merasa kecewa karena Zac hanya berpikiran seperti itu tentang dirinya.

Namun, Sue juga tahu jika ini bukan salah Zac. Zac tidak tahu apa-apa tentang perasaannya, dan tidak boleh sampai tahu. Sue hanya perlu bertahan sebentar lagi dengan kesakitannya, lalu setelah itu ia akan pergi meninggalkan Zac dan semua perasaannya.

Seharusnya, dulu Sue tidak boleh menerima kesepakatan itu. Seharusnya, Sue pergi menjauh sebelum ia terlanjur jatuh. Seharusnya, ia menolak segala macam kontak fisik dengan Zac. Seharusnya...

Sue menggelengkan kepalanya hanya untuk menghilangkan urutan kata 'seharusnya' yang sudah siap berbaris di kepalanya. Tidak ada yang perlu ia sesali sekarang. Semua sudah terlanjur terjadi. Sue hanya perlu menjalaninya sekarang. Dan berharap, benih Zac akan benar-benar tumbuh di rahimnya sehingga...

"Kau merasa pusing?"

"Hah?" kata Sue dengan linglung ketika tiba-tiba suara Zac menembus lamunannya.

"Kau menggeleng-gelengkan kepalamu sejak tadi. Kau pusing?"

Sue menggeleng gugup. "Hanya merasa sedikit pegal." Lalu, ia berakting menggerakkan lehernya seolah ia benar-benar merasa pegal.

"Tidurlah. Penerbangan kita masih lama," kata Zac dengan sangat lembut.

Tidak boleh! Zac seharusnya tidak boleh berbicara selembut itu padanya!

"Aku akan baik-baik saja. Aku tidak terlalu suka terbang," dustanya kemudian.

Zac terkekeh. "Sayang sekali. Padahal seumur hidupmu selalu dikelilingi para penerbang. Bagaimana jika nanti aku mengajakmu terbang dari satu negara ke negara lain?"

Itu tidak akan terjadi, batin Sue pilu. Sebelum Zac melakukan hal itu, ia sudah akan pergi lebih dulu.

"Yah, mungkin aku harus puas menunggumu pulang."

Pria itu kembali terkekeh. "Kau akan menyesali itu, Sayang."

Ia sudah menyesal sekarang karena tahu itu tidak akan terjadi.

"Hei..." Zac menangkup pipinya. "Aku perhatikan kau selalu tampak sedih sejak kita berangkat. Ada apa?"

"Aku hanya sedih berpisah dengan Zoe."

Itu memang benar jadi dia tidak sepenuhnya berbohong.

"Meskipun menyebalkan, gadisku itu memang mudah sekali untuk dirindukan. Karena itulah aku selalu menyempatkan diri untuk ke sana."

Zac sangat beruntung karena memiliki saudara yang begitu luar biasa seperti Zoe. Seandainya ia juga memiliki seorang kakak yang menyayanginya, tentu saat ini ia tidak akan merasa iri pada mereka.

"Kalau kau ingin ke sana, bilang saja padaku. Aku akan mengajakmu."

Suara Zac yang terdengar begitu serius membuat Sue menatap pria itu dengan seksama. Pria itu tidak bercanda. Zac bersungguh-sungguh saat mengatakan itu.

Yah, mungkin bagi Zac itu tidak berarti, tetapi bagi Sue, itu sangat berarti. Itu akan semakin membahayakan bagi hatinya. Dan sebelum semua terlanjur hancur, lebih baik ia mengakhirinya sekarang.

"Zac?"

"Ya?"

"Aku...aku ingin kita mengakhiri hubungan ini."

My Dear Mr. Pilot - Spin Off REVERBERE (TAMAT)Where stories live. Discover now