Awal

12 3 8
                                    

Gadis dengan rambut sebahu itu tersenyum masam saat menyadari hujan mulai mengguyur bumi. Atap mulai berisik dengan titik-titik air yang jatuh semakin deras. Tumbuhan mulai dibasahi dan daun nampak bergoyang mengikuti arah angin dan air. Suara klakson kendaraan dan umpatan pengendara menambah suasana kali ini.

Ini sudah pukul setengah lima sore, agaknya dia harus berdiam diri di sini sampai hujan benar-benar pergi.

Hujan dan kebisingannya sudah menjadi hal yang paten. Mungkin juga dengan kenangannya yang tidak bisa lekang oleh tumpukan memori lain.

"Hujan gini enaknya makan mie nggak, sih?"

Suara itu tiba-tiba muncul sehingga menidstraksi lamunannya. Suaranya masih sama, terdengar berat dan lembut sekaligus. Bahkan Mona bisa merasakan sosok itu ada di sini. Menemaninya memandang hujan. Lalu, mereka akan melemparkan guyonan receh ala budak korporat Jakarta.

Sesederhana itu, tetapi mustahil untuk dilakukan sekarang—ataupun suatu hari di masa depan.

Mona menghela napas, menyebalkan. Pikirannya mendadak penuh pada satu kata: andai.

Matanya mengerjap kala bahunya ditepuk dua kali. Dia segera menoleh kepada si pelaku.

"Belum pulang?"

Baskara. Salah satu karyawan di divisi marketing. Mona sudah mengenalnya sekitar lima tahun lalu, saat dirinya baru pertama kali bekerja di sini. Dia laki-laki yang baik, pengertian, dan yang terpenting tahu caranya memperlakukan seorang wanita.

Dagunya mengedik ke jalanan yang terlihat penuh. Perlahan, dirinya mulai bisa mencium bau hujan dan suasana dinginnya. "Hujan, macet."

Baskara tersenyum maklum. Tatapannya terlihat menerawang ke langit. Hujan semakin deras dan dirinya malas beranjak dari kantor.

"Gimana perasaan lo?"

Mona menoleh bingung.

"Lo sempet libur tiga hari 'kan kemarin?"

Perempuan itu tersenyum miris. Bahkan di saat dia harusnya sedih, semesta seperti tidak memberikannya waktu untuk itu. Dia sibuk mengurusi segala macam rangkaian acara kemarin. Jujur saja badanya sakit, perasaannya jauh lebih sakit.

"Gue baik-baik aja."

Seakan itu adalah kalimat template yang selalu dikatakan ketika ada orang yang bertanya.

"Nggak. Lo nggak baik-baik aja. Wajah lo nggak bisa ngebohongin itu."

Tangan Mona mengepal erat. Matanya berkilat marah. Napasnya naik turun. Namun, sedetik kemudian mimik wajah perempuan itu berubah sendu. Iya, dirinya memang tidak baik-baik saja.

"Candra pasti sedih liat lo begini di sana."

Satu minggu lalu, sebuah tragedi terjadi. Hal yang tidak pernah disangka oleh siapa pun, sekalipun oleh Mona. Gadis itu mendengar kabar duka. Candra pergi selama-lamanya. Apakah laki-laki itu sadar kalau dia juga membawa perasaan Mona ke alam sana?

Mereka sudah mengenal sejak lima tahun lalu, sama seperti dirinya mengenal Baskara. Mereka satu kantor.

"Gue nggak lebih sedih dari Rara," ucap Mona.

Ranastasia Rahayu, atau yang biasa disapa Rara. Dia adalah pacar Candra sejak dua tahun lalu. Kisah klise dua orang yang cinlok di kantor-agaknya sama seperti Mona, bedanya ialah Mona yang mencintai sendirian. Mereka akan melangsungkan tunangan satu bulan lagi. Namun, Tuhan berkehendak lain.

Tawa kecil lolos dari lawan bicaranya. Baskara menatap Mona jengah sekaligus kasihan. Sudah menjadi rahasia umum kalau Mona menyukai sahabatnya itu.

"Lo kenapa nggak pernah nembak dia dari dulu?" tanya Baskara.

Rindu dan Ruang TabahnyaWhere stories live. Discover now