1. Permintaan

12 2 9
                                    

Mona tidak terbiasa dengan kehilangan. Agaknya, semua orang pun begitu.

Dia pernah kehilangan Uun, kucing kampung yang dia rawat sejak kecil. Mona baru berumur 7 tahun kala itu. Dia hanya bisa menangis bak anak kecil pada umumnya saat melihat tubuh Uun yang terbujur kaku. Bahkan perlahan digerogoti oleh semut dan lalat. Dia sampai menangisi peliharaannya seminggu lebih. Makan malas-malasan, berangkat sekolah pun hanya diam. Itu adalah kali pertama dirinya ditinggalkan oleh sosok yang Mona sayangi. Rasanya sakit.

Setelah puluhan tahun hidup, dia melewati beberapa kali kehilangan. Entah itu ayam warna-warni yang mati, kucing peliharaannya-bukan Uun-hilang dan tidak balik lagi, ikan cupang yang kelelahan adu jotos hingga akhirnya mengambang. Sakit selalu hadir ketika menyadari Mona tidak bisa lagi bersama mereka.

Pada suatu hari, saat dia pulang setelah kuliah. Tiba-tiba rumahnya sudah dikerubungi oleh tetangga. Dirinya linglung, tentu saja. Matanya mengerjap pelan kala menyadari bendera kuning terpasang di sudut rumah. Mona menjerit ketika tahu kalau Neneknya meninggal dunia. Meskipun dia sudah melalui banyak fase kehilangan, tetapi yang kali ini rasanya lebih mengerikan. Dirinya seperti ditikam panah bertubi-tubi.

Sayangnya, setelah beberapa tahun absen dari yang namanya kehilangan, perempuan itu harus merasakannya saat ini. Sakitnya bahkan tidak bisa dijabarkan. Apalagi penyesalan yang menyertainya.

Andai saja Tuhan memberikan waktu sedikit lebih lama.

Andai saja dia tahu semuanya akan berakhir sakit.

Andai saja situasi antara dirinya dan Candra sedikit berbeda.

Andai saja tidak serumit ini.

Tidak, Mona menggeleng dramatis. Dirinya tidak boleh memberatkan langkah Candra untuk pergi. Dia tidak boleh menjadi beban. Candra tidak suka memiliki beban.

Maka dari itu, yang bisa dilakukannya sekarang ialah berusaha kuat dan terus merapalkan doa untuk Candra.

Namun, hal yang mengganjal itu tak lekang oleh waktu.

Terhitung sudah puluhan malam dia lewati dengan kata andai, tetapi tetap saja tidak ada yang berubah. Hidupnya tetap monoton. Perbedaannya kali ini tidak ada Candra di dalamnya.

Di saat semua orang perlahan bangkit dan menata hidupnya yang sempat porak poranda, Mona hanya terpaku. Membiarkan keporakporandaan menyertai setiap langkahnya. Membiarkan bayang-bayang senyum Candra menghiasi setiap harinya. Membiarkan kenangan itu menyeruak perlahan-lahan, hingga membuatnya gila.

Sekali lagi, Mona menggeleng. Ini tidak baik. Pikirannya sedang kacau. Dia segera memejamkan mata dan menggeram. Otak sialan!

Atau, hati sialan?

Matanya menerawang langit-langit kamar yang putih bersih. Suara hujan kembali turun. Padahal tadi sudah sedikit reda. Mona mengembuskan napas pelan, akhir-akhir ini memang sering hujan.

Tatapannya jatuh pada tembok di sebelah kanannya. Mona menahan napas ketika melihat sesosok laki-laki di pigura. Candra. Foto itu diambil sekitar dua tahun lalu, saat kantor mereka ada acara di puncak. Sosok itu terlihat tampan dan gagah dengan Mona yang nyengir lebar di sampingnya.

"Mon, lo tuh pendek. Minum susu peninggi badan, kek," cetus Candra sesaat setelah mereka mengabadikan momen.

"Eh, gini-gini gue dibesarkan sama masih sayang Mama, ya."

Lantas, mereka terbahak bersama.

Mona kembali memejamkan mata.

Tangannya meraba kasur untuk mencari benda pipih, kemudian dia pencet beberapa tombol agar suhu ruangan tidak terlalu dingin. Dia menarik selimut hingga sebatas dagu. Namun, matanya masih menatap nyalang segala arah. Dirinya belum mengantuk. Jadi, langkah selanjutnya yang diambil ialah meraih ponsel di sampingnya.

Rindu dan Ruang TabahnyaWhere stories live. Discover now