2. Kesempatan

5 1 0
                                    

Waktu kecil, Mona pernah berandai-andai pergi ke masa lalu.

Dulu saat nilai ulangannya jelek, Mona berandai bisa mengerjakan ulang. Bukan dalam bentuk remidi atau perbaikan nilai, tetapi benar-benar mengerjakan ulang. Dia ingin kembali ke masa lalu dan belajar lebih giat, agar bisa mendapatkan hasil yang bagus. Toh, dia sudah mendapatkan bocoran soal jadi tidak terlalu susah.

Saat Mama masuk rumah sakit gara-gara jatuh dari tangga, Mona menangis kencang. Dia merasa sedih sebab Mama harus mendapati jahitan yang cukup bnyak di kepala. Perempuan itu tidak tega melihat pahlawannya terbaring lemah di ranjang pasien.

Maka dari itu, Mona menjadi salah satu manusia yang berdoa dengan sungguh di tempat ibadah rumah sakit. Dia mengeluarkan semua keluh kesahnya. Bahkan Mona sampai berandai-andai. Andai dia tahu kalau Mama akan jatuh, maka semua tidak akan menjadi seperti ini. Saat itu, terlintas dalam otaknya untuk kembali ke masa lalu.

Sayangnya, teori hanyalah teori. Semuanya berubah total ketika dipraktekkan. Mona hanya bisa membatu di depan pintu kamar kala mendengar seseorang memanggilnya cukup keras. Mona kenal suara itu. Dia sangat familiar. Matanya terpaku pada satu titik.

Pada Nenek yang sedang berjalan dengan kursi roda. Menuju ke arah Mona.

"Nah, anaknya udah bangun. Kamu, tuh, sering banget ngumpet di kamar. Sini bantuin Nenek ke depan. Kita liat langit bareng-bareng."

Kelopak Mona mengerjap. Dia menatap tidak percaya pada sosok di depannya. Tangannya meraup kencang pegangan kursi roda Nenek. Tatapannya menelisik, tanpa sadar tangan kanannya mencubit daging kenyal di siku. Sakit.

Ini bukan mimpi.

Ini nyata.

Dia ada di masa lalu, bersama Nenek yang masih tampak ceria meskipun kemana-mana harus dengan bantuan orang lain.

Maka, langkah impulsif yang dilakukan Mona selanjutnya ialah membekap mulut. Tatapannya menengadah, berusaha mengahalau air mata turun. Namun, percuma. Sebab sekarang pipinya sudah banjir oleh air mata.

"Ne-nek? Ini Nene-knya Mo-na...?" Di tengah sesenggukan yang berusaha dia redam, di tengah mata Mona yang memburam, tangannya bergetar. Mona meraih jemari yang sudah tampak keriput itu. Ini benar-benar Neneknya.

Sedangkan di lain sisi, Nenek hanya mampu menjawab dengan tatapan bingung. Keningnya berkerut dan bibirnya mengerucut. Namun, tangannya terus mengusap punggung tangan Mona.

"Kamu kenapa?"

Agaknya hormon adrenokortikotropik yang ada dalam diri Mona memproduksi kortisol dengan berlebih. Rasanya campur aduk. Antara sedih, bahagia, haru... dan rindu. Maka dari itu, beberapa detik setelah Nenek menyampaikan pertanyaan tersebut, tangis Mona tidak bisa dikendalikan. Dia kalah.

Suaranya melengking.

Mungkinkah ini adalah ledakan yang selama ini dia tahan?

Bahwasanya menahan rindu bukanlah perkara enteng. Jadi, ketika kita bertemu pada sosok yang membuat perasaan tersebut eksis, rasanya... lega.

Mama sampai tergopoh-gopoh dari dapur. Tangan kanannya masih memegang pisau. Mata Mama menatap khawatir Mona yang sedang tantrum. Tanpa banyak bicara, Mama memeluk Mona erat. Sangat erat.

Mona tidak bisa melakukan apa-apa selain menumpahkan air matanya di dekapan Mama. Dia beberapa kali menengok ke arah Nenek, memastikan kalau ini benar-benar nyata.

"Nek, Mona minta maaf karena nggak bisa jagain Nenek. Mona anak nakal. Mo-Mona nggak ada di saat nenek lagi butuh Mona. Maaf, Nek."

Mama masih mengusap punggung Mona yang tampak bergetar. Napasnya tersendat-sendat. Pengendalian dirinya memang sangat lemah.

Rindu dan Ruang TabahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang