16

52 4 3
                                    

“LO SERIUS, NATHAN KECELAKAAN?!!”

Aurora baru saja rebahan di kasur setelah menyelesaikan tugas sekolah, tapi Revan menelpon dan memberinya kabar tentang Nathan.

Aurora duduk. Wajahnya berubah cemas.

“Terus gimana? Parah enggak lukanya?” Aurora menggigiti kuku jarinya.

Di apartemen Nathan, Revan yang me-loudspeaker telepon tersenyum miring pada Jerry, Varel, dan Nathan.

“Parah banget, Ra. Kepalanya bocor!”

Nathan melotot, sedangkan Jerry dan Varel tertawa tanpa suara. Di kamar, air mata Aurora menetes.

“Kakinya diamputasi!” lanjut Revan.

“REVAN! Hiks!”

Di apartemen, Nathan, Revan, Varel, dan Jerry menutup mulut rapat-rapat biar enggak kelepasan.

“Van! Lo pasti bohong, kan?! Nathan enggak papa, kan?! Iya, kan?! Lo bohongin gue, kan?! Hiks!”

“HAHAHAHAHA!!” Tawa empat cowok itu meledak.

“KALIAN NGERJAIN GUE YAAAA??!!! GUE PANIK TAUUUUU!!” seru Aurora kesal. Dia mengusap kasar air matanya.

“Ra, masa lo nangis denger Nathan luka parah, sih. Bukannya selama ini lo pengin Nathan mati,” ucap Varel.

“DIEM LO, REL!”

“Ra, Ra, sebegitu cintanya lo sama Nathan sampe nangis gitu,” celetuk Jerry.

“ENGGAKLAH!”

“VAREL! JEMPUT GUE SEKARANG!” teriak Nathan.

Varel itu saudara sepupu Aurora, makanya Aurora percaya sama Varel. Papa Varel dan mama Aurora itu kakak adik.

“Katanya nggak cinta tapi minta gue jemput.”

“BERISIK! CEPETAN JEMPUT GUEEEE!!”

“Enggak! Kena gampar bokap lo yang ada kalau bawa lo pergi tengah malam gini. Auto tinggal nama gue bawa lo cabut malem-malem,” jawab Varel.

“Rel, ih! Jemput gue sekarang!”

“Besok aja.”

“BESOK SEKOLAAAHHHHHH!”

“Gampang itu. Entar gue atur. Lagian gue sama yang lain mau nginep, emang lo mau cewek sendirian di sini, mana di apartemen cowok lagi.”

Aurora menggeleng pelan meskipun Varel tidak melihatnya.

“Ya udah, tapi itu Nathan gimana?”

“Cieee khawatir banget sama gue ya, Bi,” goda Nathan.

“Nathan cuma lecet doang, Ra. Lo tidur aja gih,” ucap Varel.

“Lah! Enggak seru lo, Rel!” sungut Revan.

***

P

agi harinya, seperti biasa, Aurora dijemput Julian. Bukannya ke sekolah, Aurora malah meminta Julian untuk mengantarkannya ke apartemen Nathan.

Aurora turun dari motor, lalu menyatukan kedua tangan di depan bibir.

“Yan, jangan ngomong siapa-siapa ya? Plis. Nathan kemaren kecelakaan gue mau temenin dia, Yan. Iyan baik deh. Ya ya ya?”

“Sekolah lo?”

“Varel udah siapin semuanya,” jawab Aurora pelan.

“Lo mau bohongin bokap lo?”

“Yan, plis lah. Sekali doang ini. Ayolah.”

“Lo udah pernah ngelakuin ini sebelumnya, Ra.”

Aurora diam. “Sekali doang lagi, Yan. Sueeerrrrr.” Aurora menunjukkan jari tengah dan telunjuknya.

“Waktu itu lo juga bilangnya sekali doang, Ra. Tapi malah jadi kebiasaan kan sekarang."

“Ayolah, Yan. Masa lo nggak mau bantuin gue sih,”  pinta Aurora pelan dengan nada memohon.

Julian menghela napas pelan. Dia tidak tega melihat wajah Aurora yang memelas. “Oke,” ucap Julian malas.

Sebenarnya Julian tidak suka Aurora bolos sekolah apalagi karena Nathan. Julian sudah diberi amanah oleh papa Aurora untuk mengantar Aurora ke sekolah, jika seperti ini Julian kan jadi merasa tidak enak pada papa Aurora. Tapi Julian juga tidak tega melihat Aurora.

Aurora tersenyum lebar. “Makasih, Iyan. Babai!” Aurora berlari menjauh dari Julian yang hanya bisa geleng-geleng kepala.

Aurora berjalan memasuki apartemen. Di jalan, Aurora mengeluarkan ponsel, lalu menelpon Varel.

“Rel, gimana?” tanya Aurora.

“Beres. Gue tinggal kasih Lesley aja.”

Sebelumnya, Varel juga pernah melakukan hal ini, memalsukan tanda tangan Hardi di surat izin Aurora. Kalau soal meniru tanda tangan Hardi, Varel ahlinya.

“Makasih, Rel. Gue masuk dulu ya.”

“Iya, inget. Mentang-mentang cuma berdua, jangan ngapa-ngapain.”

“Emangnya mau ngapain, heh?!” seru Aurora.

Varel tertawa pelan sebelum mematikan sambungan teleponnya.
Aurora membuka pintu apartemen Nathan. Aurora sampai melongo melihat isi apartemen Nathan yang super duper berantakan. Sisa makanan dan bungkusnya berserakan dimana-mana.

Wajar saja, semalam apartemen ini dihuni manusia-manusia bukan human.

“NATHAAAANNNNN!!!” teriak Aurora kencang.

Nathan yang tadinya masih tidur, langsung terjaga mendengar teriakan Aurora.

Aurora berjalan cepat ke kamar Nathan.

“Gue lagi sakit, lo malah teriak-teriak,” sungut Nathan saat Aurora sampai di kamar Nathan. Nathan menguap lebar tanpa mau repot-repot menutupinya.

“Salah sendiri sakit! Salah sendiri apartemen berantakan! Ngeselin lo ih!”

“Lo kan tahu sendiri, Bi, gimana empat tiga manusia jadi-jadian yang semalem nginep di sini.”

“Kayak lo beneran human aja!”

Nathan menghela napas pelan. Dia meminta Aurora mendekat. Nathan merangkul Aurora yang duduk di sebelahnya sambil mengamati lutut Nathan yang dibalut perban.

“Lo kebut-kebutan ya, makanya jatoh,” celetuk Aurora.

“Enak aja. Ini tuh gara-gara emak-emak sialan itu. Main nyebrang seenak jidat.”

“Lo nabrak?”

“Gue menghindar makanya nyungsep.”

“Bener gak kebut-kebutan?”

“Ah elah! Bener, Bi, ngapain juga gue bohong?”

“Iya, iya, gue percaya,” pasrah Aurora. “Ini perbannya udah diganti?”

“Belum.”

Aurora berdiri, lalu keluar. Aurora kembali dengan membawa kotak P3K. Dengan hati-hati, Aurora melepas perban di lutut Nathan.

“Tan, lo itu cewek apa cowok sih? Kok bisa mulus gini, mana putih lagi. Bulunya mana?” tanya Aurora polos.

“Nih! Mau lihat?” Nathan memegang pangkal celana boxer yang dipakainya.

Buk!

Aurora melempar guling ke muka Nathan. Nathan tertawa pelan.

“Makanya jangan nanya aneh-aneh,” ucap Nathan.

“Tapi, kok-“

“Gue bibit unggul, Bi. Makanya lo entar nikah aja sama gue buat memperbaiki keturunan lo.”

“Sialan!”

Nathan tersenyum kecil. Nathan sebenarnya ingin membahas masalah semalam, soal Aurora yang panik dan menangis. Tapi, nanti Aurora malah ngambek terus pergi.

Enggak usah deh.

“Ini cuma kaki yang luka?” tanya Aurora setelah selesai mengganti perban di lutut Nathan.

Nathan menunjukkan lengan kirinya yang juga lecet. “Tapi, cuma luka kecil.”

“Luka kecil your eyes! Tetep aja harus diobatin biar enggak infeksi.”

Aurora menarik tangan Nathan, lalu mulai mengurus lukanya. Sesekali, Aurora meniup luka Nathan agar tidak terasa perih.

“Kerjaan gue selama jadi pacar lo itu kalau enggak beresin apartemen lo ya ngobatin lo kayak gini. Ngeselin banget!” sungut Aurora.

“Itu artinya lo berguna jadi pacar.” Nathan mengetuk kening Aurora dengan jarinya.

Aurora mendengkus.

“Eh, lo udah mandi belum?”

Nathan menggeleng.

“Jorok lo!”

“Masih perih.”

“Lemah!”

“Mulutnya.”

“Udah selesai.” Aurora melepas tangan Nathan. “Lo belum sarapan, kan? Gue masakin dulu.”

Aurora berdiri. Dia keluar sambil membawa kotak P3K. Nathan tersenyum senang. Iya lah senang, orang sakit diurusin pacar.

Sambil menunggu masakan buatannya siap, Aurora juga sekalian membersihkan apartemen Nathan. Dengan hati yang legowo, Aurora juga memberi makan si Baby. Baby menggonggong meminta keluar saat diberi makan, tapi Aurora tidak akan membiarkan Baby keluar.

Repot!

Yang ada Nathan malah lebih peduli sama Baby daripada Aurora.
No! Aurora tidak akan membiarkan itu terjadi.

Madu Aurora itu tidak boleh ganggu.

Setelah selesai, Aurora kembali ke kamar Nathan.

“Pertanyaannya, kenapa harus bubur?” tanya Nathan saat Aurora akan menyuapinya.

“Banyak protes lo! Masih mending gue mau masakin.”

“Iya iya,” jawab Nathan pasrah.

Nathan membuka mulutnya. Kapan lagi bisa disuapi sama Aurora? Jarang-jarang Aurora punya inisiatif untuk menyuapinya. Diajak romantisan aja enggak mau.

“Tan, lo itu jangan keseringan makan fast food, enggak baik buat kesehatan. Masa lemari makanan isinya fast food semua, di kulkas adanya cuma softdrink.”

“Biar praktis, Bi.”

“Tapi enggak sehat. Sekali-kali diisi sayur kek, apa kek yang lebih bergizi.”

“Njih, Bi.”

“NATHAAAANNNNNN!”

Suara teriakan melengking mengambil alih atensi Aurora dan Nathan. Aurora menoleh pada Nathan.

“Siapa?” tanya Aurora pada Nathan.

“Mama.”

Benar saja, Siska–mama Nathan sudah berdiri di ambang pintu, lalu mendekati Nathan. Aurora menyingkir. Sedangkan Reno berjalan santai di belakang.

“Kamu gimana keadaannya? Apanya yang sakit? Kok kamu di apartemen sih, enggak di rumah sakit? Kita ke rumah sakit aja ya? Terus juga ini kenapa bisa kecelakaan sih? Kamu ditabrak sama orang apa gimana? Apa-“

“Ma, tanyanya satu-satu elah. Jangan diborong semua. Pertanyaan enggak lagi diskon, Ma.” Nathan menyela pertanyaan Siska yang hanya dalam satu tarikan napas.

“Mama itu khawatir sama kamu.”

“Nathan enggak papa, Ma. Cuma lecet aja, itu juga tadi udah diurusin.”

Nathan melirik Aurora yang diikuti oleh Siska. Aurora tersenyum canggung.

“Ini siapa? Pacar kamu? Kapan putusnya?”


***

Mantan! Balikan Yuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang