13. The Fall

998 205 31
                                    

Matahari sepertinya sudah mulai kembali ke ruang tidurnya, gelap perlahan-lahan menyelimuti tempat ini. Kami tidak mendengar suara apapun selama beberapa jam, hanya rentetan tembakan yang terdengar cukup jauh dari tempat ini. Si pemilik rumah memberikan komunikasi tanpa kata ke arah kami, lalu dia perlahan-lahan berdiri, mendorong pintu kayu di atas kami, kedua matanya memindai ruangan untuk memastikan keadaan benar-benar aman, lalu dia naik.

William membantu sang Ibu untuk naik, aku memberikan bayinya begitu dia sudah sampai di atas, disusul si anak kecil, lalu dia menyanggaku untuk naik, keluar dari ruang bawah tanah.

Kami mendorong pintu perlahan-lahan, suasana di luar begitu lengang, begitu gelap, bulan sabit temaram di atas sana tidak mampu memberikan penerangan di bawah sini, di negara yang sekarang sedang dilanda kegelapan.

William meraih tanganku. "Aku tidak akan pernah melepaskanmu," bisiknya. Aku menggenggam erat tangannya, berjanji tidak akan melepaskannya, apapun yang terjadi, tanganku akan tetap menggenggamnya.

Kami mulai berjalan, berlindung di balik gelapnya malam. Dua orang lelaki memimpin di depan kami, lalu si Ibu dan bayinya, si pemilik rumah menggendong sang anak. Aku dan William berjalan paling belakang. Kami melangkah sesenyap mungkin, tidak ingin menimbulkan suara sekecil apapun.

Mungkin kami sudah berjalan selama satu jam? Dua jam? Entahlah, waktu terasa sangat panjang. Dari kejauhan kami mendengar suara beberapa orang berbicara, tawa terdengar di sela-sela perbincangan mereka. Kami semua terdiam. Membeku, mencari tahu dari arah mana datangnya suara. Semakin lama mereka terdengar semakin mendekat.

"Courir!" (lari!) kata seorang dari kami.

William segera menarik tanganku. Aku mengikutinya, mengayunkan kedua kakiku secepat mungkin. Si bayi dalam gendongan sang Ibu mendadak menangis, membuat siapapun yang berada di belakang kami tahu keberadaan kami.

Aku bisa mendengar langkah-langkah mereka yang memburu mengejar kami.

"Run, Alina!" William memerintah.

Berlari. Never look back! Apapun yang terjadi. Tangan William menggenggamku dengan erat. Kita akan bisa keluar dari tempat ini. Kita akan selamat. Kepalaku membayangkan sinar matahari. Kami terbaring di sisi pantai, di atas kasur putih dengan sepoi tiupan angin laut. Kita akan keluar dari ini. Hatiku tak henti-hentinya merapalkan mantera itu, berharap semakin aku rapalkan kenyataan akan semakin dekat. Bandara tidak jauh lagi dari tempat ini. Kami akan bisa mencapainya.

Lalu terdengar suara tembakan.

Si bayi menangis semakin kencang. Suara tembakan kedua menyusul. Kami masih berlari, tanpa arah, yang menjadi tujuan kami hanyalah satu, pergi dari orang-orang di belakang kami.

Ledakan tembakan terdengar lagi, lalu aku merasakan tubuh William roboh.

"William!" teriakku. Dia jatuh terduduk. Sontak aku menyangga tubuhnya yang terduduk di tanah.

"Berdiri, William. Kamu harus berdiri. Kita harus lari." Aku menarik tubuh William, kepalaku berputar dengan keras. Aku tahu apa yang terjadi, tetapi aku menyangkalnya. Dia hanya terjatuh. Dia akan bangkit lagi. Kami akan berlari, karena kami berdua akan pergi dari tempat ini.

Suara tembakan terdengar lagi, kali ini berat badan William tertumpu semuanya ke tubuhku yang menyangganya. "William!" Aku menjerit. Menangis. Kedua tanganku berusaha menyeret tubuhnya. "Wake up. Please, William. Wake up!" jeritku. Tapi tidak terjadi apa-apa, badannya tetap berat, seperti tidak mempunyai daya bahkan untuk sekedar berdiri. "No no no no. William, you've promised me. Wake up!"

Dalam kegelapan aku bisa melihat wajahnya mendongak. Memohon. "Run, Alina.

"William, noo." Aku masih mencoba menarik tubuhnya.

Tiba-tiba dua buah tangan meraihku dari belakang. "Mademoiselle. Courez. Aller" (Nona. Lari. Pergi!" Dia menghentakkan tubuhku dengan keras, melepaskan genggaman tanganku dari tubuh William. Aku memberontak ingin kembali, tetapi dia terus menyeretku. "Kita harus pergi, nona. Kita harus pergi dari sini." Dia terus-terusan berkata di telingaku.

Aku masih meronta untuk kembali, lalu aku teringat janjiku ke William untuk berlari dan tidak menengok kebelakang. Aku akan menepati janji itu, itu yang aku ucapkan ke seseorang yang aku cintai. Never look back. Aku berlari, sekencang yang aku bisa. Aku harus keluar dari tempat ini. Untuk William. Karena itu adalah satu-satunya hal yang dia inginkan.

Kami menghabiskan sisa malam dengan berlari, aku bahkan tidak lagi bisa merasakan kedua kakiku. Mereka seperti kebas, atau mungkin aku sudah tidak lagi mempunyai kaki. Napasku hanya tinggal satu-satu, lalu di kejauhan kami bisa melihat jajaran tank.

Pasukan Perancis.

Seorang tentara berbaju loreng menyambut kami. Aku menyebutkan organisasi tempatku bekerja diantara napasku yang tersengal-sengal.

"You are safe now, Mam. You are safe." Dia menggiringku untuk masuk, melalui celah di antara tumpukan pasir di dalam sak. Aku menoleh ke belakang, mereka menahan si Ibu dengan tiga laki-laki lain.

"Kalian harus mengizinkan mereka untuk masuk!" teriakku. Setelah apa yang kami lalui, aku tidak bisa membayangkan orang-orang ini berlarian lagi di luar sana.

"Maaf, Mam. Kami hanya ditugaskan untuk mengevakuasi para expat yang masih tertinggal di negara ini."

"Mereka akan mati di luar sana!" teriakku, namun tentara di depanku seperti tidak bergeming. "Tolong, paling tidak si Ibu dengan anak-anak mereka. Tolong." Aku duduk, memohon ke tentara di depanku. Dia terdiam beberapa saat, wajahnya terlihat tanpa emosi, lalu dia berbicara di walkie talkie.

Sesaat kemudian dia menoleh ke arahku. "Hanya Ibu dengan anaknya."

Aku mengucapkan terimakasih, sejenak kemudian kegetiran kembali menemuiku. Tiga laki-laki yang sudah bersama kami tidak bisa masuk ke tempat ini. Aku menghampiri mereka.

"C'est bon, mademoiselle. Nous pouvons prendre soin de nous." (Tidak apa-apa, Nona. Kami akan bisa menjaga diri.

"Maafkan saya." Karena aku tidak bisa membuat mereka masuk ke tempat aman ini. Karena mereka harus kembali berlarian di luar sana, dengan moncong senjata di belakang mereka yang siap meledak kapan saja.

" C'est notre pays, nous ne le quitterons pas." (Ini adalah negara kami. Kami tidak akan meninggalkannya.

Aku menurunkan ransel dari punggungku. Mengeluarkan sling bag kecil yang berisi dokumen-dokumen penting milikku. Masih ada dua botol air minum yang belum aku sentuh, serta tiga boks kecil energi bar. Mereka lebih membutuhkannya dari pada aku. Aku mengulurkannya ke lelaki di depanku.

"Merci beaucoup." (Terimakasih banyak) Aku memeluknya, terimakasih tidak cukup untuk mewakili rasa syukur yang aku punya.

Kami mengucapkan selamat tinggal dalam diam, aku benar-benar berharap mereka akan selamat, kekacauan ini akan segera selesai, tidak perlu lagi ada orang-orang yang menjerit ketakutan dan dentuman tembakan.

Kami segera digiring untuk masuk ke area Bandara, setelah selesai mengucapkan selamat tinggal ke tiga laki-laki yang bersama kami. 

****

Author's note :

William tertembak? Mati?

See you tuesday and happy weekend.

Xoxo

Asoka Biru

RESTRAINTWhere stories live. Discover now