14. The Darkness

992 192 11
                                    

Bandar udara Ouagadougou yang tidak seberapa besar ini penuh sesak. Orang-orang dengan berbagai warna dan negara memenuhi tempat ini, menunggu untuk dievakuasi. Aku berjalan melintasi kerumunan mereka, tanpa tahu harus menuju ke mana.

"Linaa. Linaa." Teriakan dari suara yang sangat familiar. Aku menoleh untuk mencari tahu dari mana datangnya suara. Patric sedang berlari ke arahku. Penampilannya tampak kacau dan lelah. Dia segera meraihku begitu aku berada dalam jangkauannya. "Lina, aku sangat khawatir. Kenapa kamu begitu lama sampai ke sini? Di mana William?"

Mendengar nama William disebutkan, meruntuhkan tembok ketegaran yang aku bangun. Tangisku keluar, disertai napas yang bergetar. Aku memandang Patric, tersedu tanpa suara, hanya tubuhku yang gemetaran.

"Oh, no no no no." Dia meraihku, memelukku erat.

Membutuhkan waktu beberapa saat untuk menata diriku, sampai akhirnya aku bisa mengeluarkan suara. "Kamu harus menemukannya, Patric. Hidup atau mati. Dia tertembak. Dia jatuh. Kamu harus menemukannya. Kamu harus berjanji untuk menemukannya," racauku.

Selama lima hari aku bertahan di Bandar udara Ouagadougou, sampai mereka memaksaku untuk keluar dari sana. Bersama beberapa ratus orang lain, kami diangkut dengan pesawat militer ke Perancis.

Beberapa orang dari organisasi tempatku bekerja sudah menungguku ketika aku tiba di airport, berikut Patric. Mereka langsung membawaku ke rumah sakit. Merawat semua luka yang terjadi pada fisikku, tapi jiwaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan jiwaku, seperti ada lubang yang semakin lama semakin membesar di sana. Lubang yang membuatku hampa, gelap yang membuatku tidak ingin bertemu dengan hari esok.

Papa dan Mama sampai di Perancis di hari kedua aku di rumah sakit. Mama memelukku begitu melihatku, aku membalas pelukannya, tanpa satu suara yang berhasil keluar dari mulutku. Jiwaku kosong, seperti sebuah rumah tanpa penghuni. Aku hidup bagaikan sesosok zombie, otak di kepalaku seperti hanya memerintahkan organ vital di tubuhku untuk menjalankan kehidupan, sedangkan hatiku perlahan-lahan mengering, mengkerut, mungkin suatu saat lagi akan benar-benar hilang dari sana.

"Kita pulang ke Jakarta ya, Nak. Dokter bilang luka-luka kamu tidak berbahaya," kata Ibu, tangannya mengelus punggung tanganku.

Aku menoleh ke arah beliau. Melihat tangan beliau yang sedang mengelus punggung tanganku, aku ingin bersuara tetapi seperti ada tali temali tak kasat mata yang menahanku. Aku kembali mengalihkan kedua mataku, memandang plafon rumah sakit yang berwarna putih bersih, dengan pijar lampu neon yang menyilaukan mata. Will I ever get through this? Atau mungkin aku tidak pernah ingin pergi dari perasaan ini. Karena di sini aku bisa melihat William, walaupun hal terakhir yang aku lihat adalah dia yang roboh. Aku tidak ingin melupakannya, walaupun hal terakhir yang aku ingat semakin menarikku ke dalam gelap, maka aku akan membiarkan diriku berada di ruang hitam tanpa sinar, sepanjang aku masih bisa mengingatnya.

Aku membalikkan badan, bergelung, kedua tanganku memeluk lutut, aku mulai mengayunkan badanku sendiri, mencari kenyamanan di gerakan statis yang aku buat. Aku kembali mendengar suara tembakan, semakin lama seperti semakin mendekat, William yang roboh menimpaku. Tubuhku mengayun semakin kencang, setiap suara tembakan di kepalaku membuat badanku terlunjak. Aku memeluk lututku semakin erat.

Aku bisa mendengar Mama yang menangis, serta Papa yang terdengar panik memanggil tim medis. Mereka datang, tidak banyak yang mereka bisa lakukan, karena luka yang ada pada diriku bukan berada di fisikku, tetapi jiwaku dengan lubang yang semakin lama semakin menganga.

Mama tidak pernah pergi, dengan kesabaran yang hanya dimiliki oleh seorang Ibu beliau selalu berada di sisiku, mengajakku berbicara, walaupun tidak satu respon pun yang berhasil keluar dari mulutku. Membacakan buku, termasuk Harry Potter yang menjadi kisah favoritku ketika aku memasuki masa remaja. Beliau melakukannya seperti membacakan bedtime story, meninabobokan aku ketika aku masih kecil.

¨Lina belum mau pulang, Ma,¨ kataku tiba-tiba, ketika dia baru saja membaca beberapa lembar buku kedua Harry Potter. Papa sedang tidak berada di dalam kamar.

Beliau menoleh ke arahku, semburat bahagia tergambar di wajahnya mendengar aku berbicara untuk pertama kalinya setelah pertemuan kami. ¨Kamu masih ingin di sini?¨

Aku mengangguk.

¨Ada sesuatu atau ... seseorang yang kamu tunggu?¨

Aku hanya memandang Mama tanpa ada satu katapun yang keluar dari sana. Aku tahu semuanya sia-sia, tetapi aku masih ingin mendapatkan kabar tentang William. Hidup atau mati, aku ingin mengetahuinya. Dan pulang ke Jakarta seperti menjadi simbol berpisahnya diriku dengan laki-laki itu.

"Lina. Yo wis, kalau kamu belum mau pulang. Kita bisa di sini. Sampai kamu siap untuk pulang." Suara Mama terdengar lembut.

¨Ma.¨

¨Opo, Nduk. Mau ngomong apa?¨

¨Lina, pengen bicara dengan Patric.¨ Aku ingin mengetahui kabar tentang William, dan Patric mungkin mempunyai kabar tentang dia.

Patric datang menemuiku sebelum dia kembali pulang ke negara asalnya di Belgia. Dari dia aku mengetahui tidak kabar tentang William. Tidak dari organisasi tempatnya bekerja, atau dari kedutaan Inggris. Dari dia pula aku mengetahui bahwa perang sipil semakin tidak terkendali di Burkina Faso, pasukan Perancis sudah ditarik dari sana sedangkan pasukan PBB masih belum diketahui kapan akan bisa memasuki negara itu. Harapan untuk menemukan William hidup atau mati menguap, pergi bersama hilangnya intervensi asing di negara yang sedang dilanda perang sipil tersebut.

****

Jadi William ginama ini nasibnya??

RESTRAINTWhere stories live. Discover now