18. The Irony

1K 208 17
                                    

Aku memerintahkan kedua mataku untuk membuka, kedua pelupuk mataku terasa berat. Kedua mataku menyapu sekeliling ke ruangan yang sangat familiar olehku. Aku berada di ruang tamu apartemenku, di lantai. Semalam aku pasti jatuh tertidur di sini, atau tidak mempunyai daya untuk membawa diriku ke tempat tidur.

Perlahan-lahan aku bangkit berdiri, badanku terasa remuk akibat tidur di lantai dingin dan keras. Aku menyeret kakiku ke kamar mandi, membasahi tubuhku di bawah siraman air dingin, berharap akan bisa menurunkan panas yang seperti membakar di kepalaku. Ke kantor, menenggelamkan diri dengan pekerjaan, itu adalah pilihan lebih baik dari pada aku bergelung sendirian.

Aku tiba di kantor sangat pagi, bahkan ketika office boy belum sampai, menuju ruangan kerja, menutup pintunya dan langsung mengubur diriku dengan pekerjaan. Tidak akan ada yang berani menggangguku ketika pintu tertutup. Aku tidak ingin bertemu dengan siapapun hari ini. Bekerja akan membantu, biasanya begitu, ketika aku sibuk, aku tidak perlu mengingat hal yang aneh-aneh.

Aku melirik jam di sudut laptop, sudah lewat jam 11 siang. Perutku meraung keras, hanya secangkir kopi yang aku masukkan ke sana semenjak tadi pagi, tidak ada hal yang lain. Aku mencoba untuk tidak mengabaikan protes yang keluar dari dalam perutku, tetapi semakin lama raungan itu semakin keras. Mengurut pelipis yang terasa pening, aku menyandarkan punggung di sandaran kursi. Mungkin sudah waktunya aku mengisi perut.

Aku baru saja hendak berdiri ketika suara dering telepon di meja mengagetkanku.

"Alina Paramitha," sapaku.

Hanya sepi selama beberapa saat, lalu suara itu. "Alina."

Tubuhku kaku, hawa dingin teramat sangat seperti menyerang tubuhku. Aku tidak bisa bergerak, bahkan bernapas pun seperti menjadi sebuah pekerjaan berat.

"William?" suaraku hampir terdengar seperti cicitan.

Sunyi. Untuk beberapa saat tidak ada balasan di ujung sana.

Tiba-tiba rasa marahku menggunung, beribu pertanyaan kenapa kembali memenuhi kepalaku. Kenapa dia tidak pernah mencariku? Kenapa dia bisa melupakan aku begitu saja, dan kenapa orang lain yang berada di sisinya, menyandang status sebagai istri. Kenapa? Kenapa? Kenapa?

"Maaf, aku sedang sangat sibuk, dan saat ini sedang sangat dibutuhkan."

Klik.

Aku menutup sambungan telepon, tidak berani mengeluarkan ribuan kenapa yang memenuhi kepalaku. Karena aku tahu itu hanya akan menyeret rasa tenang yang sudah lima tahun aku bangun dengan susah payah.

Seperti semalam, jantungku bertalu, udara di ruangan ini terasa sangat padat, aku mencoba menggapai oksigen yang seperti tidak lagi berbentuk gas, melainkan masa padat yang menusuk paru-paruku ketika aku berusaha menghirupnya. Kedua tanganku mencengkeram ujung meja dengan erat. Aku bisa merasakan gemetar yang perlahan-lahan muncul.

"Lina. Lina, ya Tuhan Lina. Kamu kenapa?" Suara seseorang terdengar sangat khawatir, aku mendongak dan menemukan wajah Cami di sisiku. Tanpa sadar aku menggeleng. Diantara semua orang, dia adalah orang terakhir yang ingin aku temui saat ini. "Kamu kenapa, Lina. Wajah kamu pucat sekali?" Dia mencari-cari sesuatu di atas mejaku. "Help! Somebody. Help!" teriaknya panik. Beberapa stafku menyerbu masuk ke dalam ruangan. "Tolong ambilkan air. Sekarang. Air!"

Salah satu dari mereka datang dengan segelas air, Cami meraihnya dan langsung menyodorkannya ke arahku.

"Drink, Lina."

Kedua mataku menatap ke arahnya, ingin mengabaikan perkataan yang baru saja keluar dari mulutnya, tetapi itu bukan perbuatan bijaksana. Aku meraih gelas dari tangannya, dengan gemetaran meneguknya sampai sampai hanya tersisa setengah.

"Aku tidak apa-apa. Kalian jangan bikin scene," kataku mencoba mengatur kembali napas yang sepertinya tinggal satu-satu.

"Tidak apa-apa gimana? Wajah kamu pucat pasi begini."

"Aku cuman ... tadi pagi aku tidak sempat sarapan." Seandainya dia tahu apa yang menyebabkan aku menjadi seperti ini.

"Ya Tuhan, Lina. Kamu perlu istirahat. Ada sofa besar kan di ruangan menyusui? Kamu bisa ke sana, berbaring sebentar. Aku akan membelikanmu makan siang."

Cami, please. Saat ini kamu adalah orang terakhir yang aku inginkan untuk berbuat baik kepadaku. Kamu memang tidak melakukan kesalahan apapun, tetapi kamu menjadi salah satu alasan lubang menganga di dadaku. "Aku nggak apa-apa."

Cami melemparkan pandangan tidak percaya, mungkin aku memang benar-benar terlihat sangat menyedihkan saat ini. "Tarik napas, keluarkan." Dia memberikan komando dengan mulutnya, mengeluarkan desis white noise yang tanpa sadar aku turuti. Perlahan-lahan napasku mulai normal kembali, jarum-jarum runcing yang sebelumnya seperti menusuk paru-paruku perlahan-lahan sirna.

"Thanks," gumamku. Tanganku meraih gelas air untuk kembali meneguknya, dengan sigap Cami membantuku.

"Kamu yakin hanya karena kamu nggak sarapan?" kedua matanya penuh selidik.

Aku mengangguk samar. "I shouldn't skip breakfast," kilahku tanpa berani menatap ke arahnya, karena aku takut dia akan bisa mengetahui alasan sebenarnya.

"Are you sure?" Dia masih tidak menyerah.

Kali ini aku menatapnya, meyakinkannya dengan kedua mataku. Selalu berhasil ketika aku ingin meyakinkan seseorang dan Cami perlahan-lahan mundur, melepaskan keingintahuannya, walaupun aku tahu rasa itu masih ada di sana.

"Let's go get something to eat, then. Can you walk?"

"Aku—"

"Lina, sekarang bukan saatnya untuk membantah. Kamu bilang ini karena kamu tidak sarapan tadi pagi, jadi sekarang kita pergi cari makan. Wajah kamu sudah seperti mayat!"

Aku menarik napas berat. Aku tidak ingin berada hanya berdua saja dengannya, karena dia, keberadaannya, posisinya membuat perihku semakin nyata, tetapi aku juga tidak bisa menemukan cara bagaimana untuk menghindarinya.

*****

Oookay, jadi bener William, bukan kembarannya, atau kloningnya. Jadi ... jadi ... jadi?

Sampai ketemu lagi hari senin yah, jangan lupa beri tanda bintang dan komen.

Xoxo

Asoka Biru

RESTRAINTWhere stories live. Discover now