35

1K 40 2
                                    

"Dari mana kamu?"

Raden yang terduduk sembari memejamkan matanya, perlahan membuka matanya melihat siapa yang mengajaknya mengobrol.

"Nganterin temen," ucap Raden.

"Kamu pikir, dengan seenaknya pergi dari rumah sakit gitu keren hah?"

"Saya mencari kamu karena saya khawatir sama kamu! Saya khawatir sama tubuh kamu Raden!"

"Gue gak papa," ucap Raden santai.

"Iya gak papa menurut kamu, tapi menurut saya sebagai dokter kondisi kamu itu udah memburuk, bahkan jika saya kasih tau secara kasarnya tubuh kamu itu udah gak layak di gunain berlebihan seperti ini!"

Raden berdiri dari duduknya, dan menatap Seiji dengan tajam, ya meskipun Raden harus sedikit mendongak karena tubuhnya yang kurang tinggi.

"Gak layak gimana hah?! Gue masih bisa berjalan, gue masih bisa ngomong, ngeliat, bahkan seluruh anggota tubuh gue masih bisa berfungsi dengan normal, terus gak layaknya di mananya hah?!"

"Asal Lo tau, gue bela-belain babak-belur kaya gini tuh karena gue membela temen gue ya meskipun dia gak pernah menganggap gue temennya, gue gak bisa tinggal diem aja saat temen gue di  gituin sama pacarnya! Kalo sekolah tau dia hamil di luar nikah sekolah kita bisa tercemar, bahkan yang lebih parahnya lagi kelas gue bisa hancur Ji!"

"Tapi gak harus sampai babak belur kaya gini Raden! Kamu terus mikirin orang lain, tapi kamu gak pernah mikirin diri kamu sendiri yang sekarat!"

"Ya gue ngaku kalo gue emang udah sekarat, tapi selagi tubuh gue masih bergerak, gue bakalan bantuin mereka apapun caranya."

"Setidaknya hidup gue sedikit berguna Ji," lirih Raden di akhir kalimatnya.

"Sudah lah terserah kamu! Saya sudah jengkel dengan sikap kamu yang susah di atur seperti ini!" Seiji pergi dari hadapan Raden.

Mungkin Seiji benar-benar marah dengan sikap Raden yang susah di atur, tapi Raden tidak memperdulikan nya, dia malah berpikir jika Seiji bersikap seperti itu, itu berarti Seiji belum mengenal Raden lebih jauh. Seiji hanya mengenal Raden luarnya saja tapi tidak dengan dalamnya.

Sebenernya Raden juga tidak mau seperti ini, tapi mau bagaimana lagi jika takdir yang menyuruhnya seperti ini, Raden hanya bisa menjalani saja tanpa memikirkan apa yang selanjutnya akan terjadi. Raden tidak memikirkan itu.

Biarlah Seiji marah kepadanya, sekarang Raden hanya memikirkan bagaimana caranya menyelesaikan permasalahan yang temannya alami. Bahkan tadi waktu Raden mengantarkan dia ke rumahnya, dia tidak bicara apapun kepada orang tuanya dan hanya diam seolah tidak ada apa-apa. Raden tau mungkin dia takut akan di marahi tapi bagaimana bisa dia menyembunyikan ini semua dari orangtuanya, bahkan temannya sendiri.

Dia terus memaksa Raden yang harus tanggungjawab dan menikahinya karena cowok tadi juga menolak untuk bertanggungjawab karena dia merasa bukan dia yang menghamili si cewek itu. Raden juga yang di paksa untuk menikahi wanita itupun hanya menolak mentah-mentah, karena bagaimanapun juga Raden masih punya masa depan, masih ada mimpi yang harus dia wujudkan di masa mudanya ini.

Jika Raden menikahi dia, bagaimana dengan nasibnya selanjutnya? Putus sekolah, dan bekerja yang hanya lulusan SMP? Mungkin iya di luaran sana yang tidak sekolah bisa sukses tapi, nasib semua orang itu berbeda-beda. Alhamdulillah jika Raden menjadi sukses nantinya bisa membahagiakan anak dan istri nya, tapi bagaimana jika Raden malah sengsara, mau di kasih makan apa istri dan anaknya nanti. Kebutuhan Rumah tangga bukan hanya soal beras dan susu saja tapi juga harus punya rumah, kendaraan, usaha untuk mereka bertahan hidup.

"Saudara Raden?"

"Iya, ada apa?" Tanya Raden kepada suster.

"Dokter Seiji meminta anda untuk kembali ke kamar secepatnya," ucap suster itu.

"Baiklah saya ke sana," ucap Raden.

Raden berjalan lesu menuju kamarnya, di sepanjang jalan Raden terus melamun hingga dia tidak memperhatikan jalannya dan berakhir dia bertubrukan dengan orang lain. Tapi bukannya minta maaf Raden malah menutup mulutnya rapat dan kembali berjalan.

Setelah sampai di pintu kamarnya, Raden langsung masuk dan berbaring di kasurnya, menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut.

Seiji yang sedari tadi mengikuti Raden hanya bisa terdiam, Seiji tau jika Raden membutuhkan waktu untuk sendiri jadi dia tidak berani untuk menghampiri Raden, biarkan dulu dia sendiri sampai nanti sudah baik-baik saja Seiji akan menemuinya kembali.

Saat ini Seiji tengah menemui salah satu dokter yang baru kembali lagi setelah lama bertugas di luar kota. Beliau adalah kakak kelasnya dulu ketika sekolah sekaligus seniornya di rumah sakit ini.

"Bagaimana dengan pasien pasien mu sekarang ji?"

"Ya seperti itulah dok. Tapi saya punya salah satu pasien saya dia masih sekolah SMA tapi kelakuannya itu bikin saya darah tinggi," ucap Seiji dengan ekspresi wajah yang sangat konyol.

"Hahaha saya kita di dunia ini kamu yang paling tengil ji."

"Yeh saya mah anak baik dok, paling cuma---"

"Cuma maling Daleman nenek saya?" Ucap dokter itu sembari tertawa dan Seiji yang tersindirpun hanya menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal.

"Udah lah dok, itukan cuma masa lalu ya, lagian nenek dokter udah maafin saya kok."

"Oh ya dok, gimana kalo saya suruh dia buat ketemu sama dokter, ya sedikit Konsul lah biar dia mau berobat."

"Boleh, kapan kamu mau bawa dia ke sini?"

"Saya gak nentuin dok, soalnya dia keras kepala, susah banget di atur, tadi aja dia kabur."

"Hemm... Bagaimana kalo saya aja yang menemui dia?" Ucap dokter itu dan di balas anggukan dari Seiji.

"Ide bagus tuh, dokter kapan ada waktu luangnya?"

"Mungkin besok saya bisa."

"Baiklah."











____________________________________

RADEN Where stories live. Discover now